MINGGU 14 JULI 2024, KHOTBAH KEJADIN 47:18-24

Invocation :   

Pindolah udan man Tuhan tupung paksa merdang. Sabab Tuhan kap si mahanca embun erkilap, dingen IA si pesesursa udan, maka sinuan-sinuan meratah I juma man kerina manusia (Sak. 10:1)

Ogen :   

2 Korinti 9:10-12

Kotbah :   

Kejadin 47:18-24

Tema :   

Benih Guna Ierdangken (Benih Yang Harus Ditabur)

 

I. Pendahuluan

Saudara-saudari yang diberkati Tuhan dalam Yesus Kristus, Minggu pe-VII Kenca Trinitatis atau secara kontekstual adalah minggu Merdang (Menabur) yang pelaksanaan liturginya dalam ibadah minggu dilakukan setelah pelaksanaan Kerja Rani. Namun secara umum, mekanisme ketetapan Runggun-runggun lebih banyak kepada perubahan jadwal pelaksanaan kerja rani sehingga minggu Merdang menjadi tidak secara berdampingan dengan minggu kerja rani.

Kata “Merdang” identik dengan arti menabur benih, menanamkan bibit padi yang telah melewati proses peyemaian. Arti minggu merdang ini di pahami sebagai memberlakukan pola hidup ketaatan dan rasa Syukur kepada Tuhan dalam setiap kehidupan yang telah di jalani, yang sedang berjalan bahkan yang belum terjadi. Konteks pemikiran dan mindset manusia cenderung bahwa Berkat Tuhan yang patut disyukuri hanya soal UANG dan KEKAYAAN. Jake Barnett menyatakan bahwa: “rata-rata lima puluh persen dari hidup kita berhubungan dengan uang.”[1] Hal ini berarti bahwa, lima puluh persen dari waktu kita, perhatian kita, kekuatan mental kita, emosi kita, percakapan kita, keberhasilan kita, kegagalan kita, masalah kita berhubungan dengan uang. Yang seharusnya Allah menghendaki agar segala yang dimiliki oleh umatnya dipakai untuk kemuliaan Tuhan, sebab segala yang dimiliki oleh orang percaya adalah pemberian dari Tuhan, oleh Dia, dan kepada Dia, sehingga segala kemuliaan hanya bagi Dia saja sampai selama-lamanya (Roma 11:36).

Bahan khotbah kita pada minggu ini bercerita tentang Yusuf adalah anak Yakub yang kesebelas. Yusuf merupakan anak pertama Yakub dari Rahel, istri yang paling dikasihinya (Kej. 30:24; 35:24). Dalam teks Alkitab juga menunjukkan bahwa Yusuf adalah anak yang paling dikasihi Yakub (Kej. 37:3; 33:2, 7). Hal ini mungkin karena Yusuf dilahirkan pada usia tua Yakub. Arti nama Yusuf adalah Yahweh telah menambahkan lagi anak laki-laki (Kej. 30:24). Oleh karena ia adalah anak yang paling dikasihi ayahnya sehingga membuat cemburu saudara-saudaranya sehingga ia dijual sebagai budak di Mesir. Kitab Kejadian menggambarkan Yusuf sebagai sosok berintegritas (39:1-20), “cerdas dan bijaksana” tiada tandingnya (41:39). Di usia relatif muda 30 tahun (41:46), ia menjadi penguasa Mesir, negeri adidaya di Timur Tengah pada waktu itu. Jabatannya semacam perdana Menteri/wakil raja (42:6), orang nomor dua setelah firaun (41:40 “kuasa atas istanaku ... hanya takhta inilah kelebihanku dari padamu”).

II. ISI

Latar waktu narasi kita adalah suatu ketika dari masa tujuh tahun kelaparan, ketika rakyat “berteriak meminta roti kepada Firaun” dan mereka disuruh pergi kepada Yusuf” untuk membeli gandum (41:55). Dengan istana menguasai stok gandum secara nasional, semua uang hasil penjualan gandum masuk kas kerajaan (47:14). Setelah makanan dan uang rakyat habis, mereka datang kembali kepada Yusuf dan berkata, “Berilah makanan kepada kami! Mengapa kami harus mati di depanmu sebab tidak ada lagi uang?” (47:15). Yusuf menawarkan pembelian makanan dengan sistem barter: “Jika tidak ada lagi uang, berilah ternakmu ... aku akan memberi makanan kepadamu sebagai ganti ternakmu itu” (ay. 16). Harta bergerak paling berharga dalam masyarakat agraris adalah ternak (kuda, kambing domba, lembu sapi, keledai) yang bisa berfungsi antara lain untuk sarana transportasi, membawa beban, bertani, bahan makanan (dagingnya, susunya), bahan pakaian (kulitnya). Karena mustahil menampung semua ternak rakyat, hewan-hewan itu de facto masih dipakai rakyat tetapi de jure milik Firaun.

Bala kelaparan berlangsung lama sehingga persediaan makanan hasil barter hanya bertahan setahun. Hal ini diperlihatkan dalam pasal 47:18–19 berikut ini setelah lewat tahun itu, datanglah mereka kepadanya, pada tahun yang kedua, “Uang kami habis, ternak kami menjadi milik tuanku, tidaklah ada lagi yang tinggal yang dapat kami serahkan kepada tuanku. Pada konteks ini, makanan masih menjadi isu hidup dan mati, tetapi yang bakal mati kini bertambah: tanah yang tadinya subur akan jadi tandus, terbengkalai tak ditanami, karena yang mengurusnya mati kelaparan. Rakyat pun siap berbuat apa saja untuk bertahan hidup, dengan dua syarat. Pertama, istana menjamin ketersediaan benih tanaman demi kelangsungan pertanian rakyat. Kedua, mereka dipekerjakan di tanah yang tadinya milik mereka. Berbeda dari skema barter pertama, barter kedua berasal dari inisiatif rakyat, tanah dan tenaga mereka ditukar dengan makanan dan benih. Dengan menjual tanah kepada Firaun berarti mereka bukan lagi petani mandiri, menjadi hamba Firaun. Yusuf setuju dengan skema barter yang diinisiasi oleh rakyat, seperti yang terlihat di ayat 20, 23–24 berikut ini Yusuf membeli segala tanah orang Mesir. negeri itu menjadi milik Firaun ... Berkatalah Yusuf kepada rakyat itu, “Pada hari ini aku telah membeli kamu dan tanahmu untuk firaun; inilah benih bagimu supaya kamu dapat menabur di tanah itu. Mengenai hasilnya, kamu harus berikan seperlima bagian kepada firaun dan yang empat bagian ... menjadi benih untuk ladangmu ... makanan kamu dan ... yang ada di rumahmu”

Yusuf membeli semua tanah rakyat yang kini beralih menjadi tanah kerajaan (milik Firaun), tetapi makanan untuk penghidupan mereka dijamin oleh pemerintah, juga ketersediaan benih untuk produksi, dalam suatu skema bagi hasil (bdk. 41:34–36). Apabila panen berhasil, mereka menikmati empat perlima dari hasil dengan satu perlima untuk Firaun. Rakyat hanya memakai pengetahuan dan keterampilan kerja mereka, bermodal waktu dan tenaga; kalau panen gagal, kerugian materiel ditanggung pemerintah. Ini bukan pemajakan dalam arti modern, sebab di sini negara menjamin penghidupan rakyat dan modal kerja mereka untuk bertani. Demikian rakyat Mesir bertani di tanah negara (bukan petani mandiri)[2], sebagai penggarap, dengan sistem bagi hasil. Biasanya, bagian penggarap lebih sedikit daripada pemilik tanah, tetapi di sini bagian penggarap empat kali lebih besar daripada pemilik tanah.

Jadi penyertaan Tuhan menunjukkan kuasa dan kehadiran Tuhan yang tetap menyertai orang percaya dalam setiap fase kehidupan. Keadaan boleh berubah namun Tuhan tetap ada, hadir, dan menyertai. Penyertaan Tuhan merupakan kemahakuasaan Tuhan untuk menjaga, melindungi, dan memberkati umat-Nya dalam kondisi apapun, di mana saja, dalam waktu apapun, dan melalui siapa saja. Penyertaan Tuhan yang muncul di awal dan akhir kisah, menyiratkan bahwa penyertaan TUHAN-lah yang berperan penting dari awal sampai akhir (ayat 2, 23). Hal ini juga dipertegas lagi di Kisah Para Rasul 7:9-10 bahwa Allah menyertai Yusuf dan melepaskannya dari segala penindasan serta menganugerahkan kepadanya kasih karunia dan hikmat. Sehingga frase Tuhan menyertai Yusuf dalam bagian ini juga berkat yang diterimanya menunjukkan bahwa sebenarnya Tuhan, bukan Yusuf, yang adalah karakter utama dalam kisah ini.

Di akhir cerita secara keseluruhan Yusuf pun mengakui bahwa kedatangan dan keberhasilannya di negara Mesir adalah karena TUHAN yang menyuruh dia ke sana (45:5-8). Walaupun saudara-saudaranya mereka-rekakan yang jahat, tetapi Yusuf mengetahui bahwa TUHAN menggunakan semua itu untuk kebaikannya (50:20) Penyertaan Tuhan dalam kehidupan orang percaya pada akhirnya menunjukkan karakter Allah sendiri bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat atas kehidupan umat-Nya. Ia adalah Allah yang setia dan menepati semua janji-janji-Nya. Janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub digenapinya melalui kehidupan Yusuf. Melalui Yusuf maka Tuhan menyatakan penyertaan-Nya sekalipun orang lain bermaksud yang jahat baginya namun justru hal itu menggenapi rencana Allah bagi umat-Nya. Sehingga sama seperti pengakuan Yusuf bahwa orang boleh merancangkan yang jahat namun Tuhan dapat merancangkan itu untuk kebaikan. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyadari bahwa perbuatan mereka tersebut merupakan bagian dari rencana Allah untuk memelihara masa depan suatu bangsa yang besar yaitu Israel. Karakter Allah dinyatakan melalui penyertaan-Nya. Karena Tuhan mengetahui semuanya dan Dia berdaulat. Sehingga ini seharusnya membuat orang percaya untuk tidak khawatir dengan setiap masa kehidupannya melainkan justru menumbuhkan imannya di dalam Tuhan.

Begitu juga dengan bahan bacaan yang pertama yang diambil dari 2 Korintus 9:10-12 menegaskan bahwa, menabur sama dengan memberi. Dan memberi tidak akan kekurangan. Gene Getz mengungkapkan implikasi dari memberi berdasarkan 2 Korintus 9:11-13 sebagai berikut: “Paulus mengingatkan jemaat di Korintus bahwa pemberian mereka yang murah hati bukan hanya mencukupkan kebutuhan umat Allah, melainkan juga akan menyebabkan banyak orang memuji Allah. Orang-orang akan bersyukur kepada Allah karena berkat-berkat materi ini. (2 Kor. 9:11-13).” kita menilai bahwa ketika seseorang memberi untuk Tuhan, maka tindakan tersebut akan membuat orang-orang memuliakan Dia. Oleh sebab itu seharusnya setiap umat Tuhan terus meningkatkan kerinduan dan semangat mereka untuk memberi. William Barcley menjelaskan prinsip memberi dengan sukacita sebagai berikut: “Paulus menegaskan bahwa pemberi yang memberi dengan bersukacitalah yang Allah kasihi. Kitab Ulangan 15:7-11 memberi petunjuk tentang tanggung jawab untuk bermurah hati kepada saudara yang miskin, dan ayat 10 mengatakan, “Engkau harus memberi kepadanya dengan limpahnya dan janganlah hatimu berdukacita, apabila engkau memberi kepadanya, sebab oleh karena hal itulah Tuhan, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu dan dalam segala usahamu.”[3]

Jadi memberi untuk Tuhan adalah sebuah tindakan pemberian kepada Tuhan yang didasari oleh karakter yang terbentuk dalam diri seseorang dan dilakukan terus menerus, makin lama makin meningkat, yang akhirnya akan menjadi sebuah gaya hidup, dengan dilandasi sikap hati penuh sukacita, serta memiliki tujuan untuk memuliakan Tuhan, apalagi jika dilakukan di luar batas kemampuannya hal ini menjadi sangat luar biasa bagi Tuhan.

III. Kesimpulan

Menurut Rhenald Kasali, Yusuf merupakan tipe pribadi pengemudi (driver), bukan penumpang, (passenger).[4] Dia memiliki self driving yang kuat yang ditandai dengan mentalitas pemenang: tidak puas atau pasrah pada keadaannya, memecahkan masalah, belajar hal-hal yang baru, berani menghadapi risiko, tidak mengeluh, tidak banyak komplain dan menyalahkan orang lain, dan sabar menghadapi segala kesulitan. Tuhan menyertai Yusuf telah mengubah Yusuf yang lama (seorang anak kesayangan dengan perlakuan istimewa dari keluarga dan hidup dalam zona kenyamanan) menjadi Yusuf yang baru yang memiliki mentalitas sebagai pemenang, mudah bagi Yusuf karena dia tidak lagi hidup di zona nyaman. Kita sebagai umat Tuhan juga akan memperoleh kebaikan Tuhan jika kita juga mampu untuk menaburkan benih kebaikan bagi orang lain tanpa harus melihat sesuatu yang kita jadikan keuntungan dari orang tersebut. Kita sebagai pelaku kebaikan dalam segala aspek dalam kehidupan kita.

Terjadi perubahan besar pada diri Yusuf. Yusuf berhasil menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan atau kompetensi untuk hidup di negeri asing. Selain kemampuan untuk hidup di luar zona nyaman, penyertaan Allah tidak lepas dari upaya Yusuf yang mengerjakan segala sesuatu dengan berhasil. Penyertaan Allah tidak menghilangkan upaya manusia, sehingga Tuhan membuat berhasil segala upaya tersebut. Campur tangan Allah menjadi nyata pada orang yang bekerja keras. Penyertaan Tuhan tentu menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat. Lloyd Reeb mengatakan, bahwa Yusuf menikmati keberhasilan sebab dia mengikuti bimbingan Allah dalam kehidupannya.[5] Penyertaan Tuhan menjadi sebuah faktor sehingga ia menjadi orang yang berhikmat.[6] Kemampuan yang tidak tertandingi oleh orang Mesir adalah sebuah dampak kompetensi intelektual yang dimiliki Yusuf karena penyertaan Roh Allah padanya. Sebagai umat Tuhan, diri kita sebagai alat Allah untuk menjadi berkat bagi orang lain yang tentunya dengan karya kita sehingga sangat berguna bagi orang lain

Pdt. Anton Keliat-Runggun Bandung Timur

                 

 

[1] Jake Barnett. Harta dan Hikmat (Bandung: Kalam Hidup, 1983), 20.

[2] Dalam sistem agraria di dunia Timur Tengah Kuno, para raja bak tuan tanah negeri. Tanah bisa langsung dikelola istana atau disewakan, bisa juga dipinjamkan kepada para abdi raja untuk digarap dan dipetik hasilnya sebagai ganti gaji mereka (Ing. fief; bdk. tanah bengkok). Ada catatan-catatan dari semua periode di Mesopotamia tentang tanah di seluruh negeri sebagai kepunyaan raja dan praktik sejenis tanah bengkok. Karena raja Mesir adalah titisan dewa, secara teoritis pemilik segala sesuatu di wilayah kerajaannya (penguasa absolut), tetapi dalam praktiknya rakyat juga bisa memiliki tanah pribadi dalam semua periode kuno. Hanya kuil-kuil di Mesir dikecualikan.

[3] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1&2 Korintus, terj. Pipi Agus Dhali dan Yusak Tridarmanto (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009), 411.

[4] Rhenald Kasali, Self Driving: Menjadi Driver Atau Passenger? (Jakarta: Mizan, 2014), 41-44.

[5] Lloyd Reeb, Sukses Saja Tidak Cukup (Jakarta: Metanoia, 2007), 23

[6] Harls Evan Rianto Siahaan, Hikmat Sebagai Implikasi Pendidikan Kristiani Dalam Keluarga: Refleksi 1 Raja-Raja 3:1-15, DUNAMIS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani) 1, no. 1 (2016): 15–30, www.sttintheos.ac.id/ejournal/index.php/dunamis

MINGGU 07 JULI 2024, KHOTBAH 2 KORINTI 8:10-15

Invocatio :

“Hari raya Tujuh Minggu, yakni hari raya buah bungaran dari penuaian gandum, haruslah kau rayakan, juga hari raya pengumpulan hasil pada pergantian tahun” (Kel. 34:22)

Ogen :

Bilangan 28:26-31 (Tunggal)

Kotbah :

2 Korintus 8:10-15 (Anthiponal)

Tema :

Mere Alu Ukur Ersuruh (Memberi Dengan Hati Yang Tulus)

 

 

I. Pendahuluan

Kita sering mendengar atau bahkan mengucapkan kalimat “memberi lebih baik daripada menerima”. Kalimat tersebut kita tafsirkan sebagai tanda bahwa kita sebagai manusia pada umumnya ingin menjadi berkat bagi orang yang membutuhkan. Bahkan kalimat tersebut adalah harapan dan perintah dari Yesus kepada semua orang yang sudah mendapatkan berkat dari Dia (Kis. 20:35b). Tapi pada kenyataannya apakah memang benar seperti itu? Atau jangan-jangan kalimat tersebut menandakan bahwa kita hanya ingin memiliki lebih banyak segala sesuatunya daripada orang lain?. Karena belum tentu semua orang yang memiliki lebih banyak, akan siap untuk memberi kepada orang yang membutuhkan. Bagaimana lagi dengan orang yang pas-pas’an. Pada renungan kali ini, kita tidak hanya membahas tentang bagaimana memberi dalam kelimpahan, tetapi bagaimana kita bisa berkontribusi baik dengan apa yang kita punya kepada semua orang yang membutuhkan termasuk gereja.

II. Isi

  • Khotbah: 2 Korintus 8:10-15

Surat 2 Korintus 8:10-15 memberikan kita pandangan yang mendalam tentang sikap dan prinsip dalam memberi, terutama melalui teladan jemaat Makedonia. Latar belakangnya adalah ketika jemaat di Korintus dipanggil untuk memberikan bantuan bagi saudara-saudara mereka di Yerusalem yang sedang mengalami kesulitan.Paulus menyampaikan suratnya kepada jemaat Korintus agar meneladani iman dalam bentuk pelayanan kasih yang dilakukan jemaat-jemaat di Makedonia untuk membantu jemaat di Yerusalem. Paulus memberikan dorongan dan bimbingan kepada jemaat di Korintus terkait komitmen mereka untuk memberikan sumbangan bagi orang-orang kudus di Yerusalem yang sedang mengalami kesulitan. Jemaat Yerusalem diketahui sedang mengalami kesusahan hidup oleh karena terdampak bencana kelaparan yang terjadi disaat itu. Bencana ini sudah dinubuatkan oleh nabi bernama Agabus (Kis.11:27-28, Luk. 10:1). Surat ini ditulis dalam konteks upaya kolektif gereja-gereja di seluruh wilayah untuk membantu sesama saudara seiman yang membutuhkan. Paulus, sebagai pemimpin dan pendiri gereja-gereja ini, berusaha menggalang dukungan dan solidaritas di antara jemaat-jemaat yang tersebar. Karena itu Rasul Paulus terbeban untuk mengumpulkan bantuan dari jemaat-jemaat yang ia kunjungi dalam misi penginjilannya untuk membantu jemaat Yerusalem. Dan saat Paulus di Makedonia dia dibuat kagum oleh kerelaan hati jemaat disana karena sekalipun dalam kekurangan mereka tetap bersedia untuk memberi bantuan bahkan sampai mendesak untuk melalukan hal itu walaupun mereka sangat miskin.

Mereka mampu melakukannya oleh karena kasih karunia yang telah dianugerahkan Tuhan bagi mereka. Sekalipun mereka miskin dan menderita, tetapi Paulus melihat mereka memiliki sukacita, kaya dalam kemurahan dan bahkan memberi lebih dari yang diharapkan. Oleh karena itu Paulus mengutus Titus kembali ke Korintus untuk mengumpulkan bantuan tersebut. Karna pengumpulan bantuan ke Korintus sudah dimulai sejak setahun yang lalu, tetapi jemaat Korintus bahkan mengabaikannya. Paulus mengajak jemaat Korintus untuk melihat jemaat Makedonia, karena jika dibandingkan dengan Makedonia, Korintus sangat jauh lebih kaya. Paulus juga menyoroti prinsip keadilan dan keseimbangan dalam pemberian. Dia menjelaskan bahwa tujuan dari sumbangan ini adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam kebutuhan, bukan untuk membuat jemaat Korintus menderita demi membantu orang lain. Saat ini, jemaat Korintus memiliki kelimpahan yang dapat mereka gunakan untuk mencukupi kekurangan jemaat di Yerusalem. Paulus juga mengingatkan bahwa suatu saat nanti, keadaan bisa berbalik dan jemaat Korintus mungkin akan membutuhkan bantuan dari orang lain. Dengan mengutip Keluaran 16:18 tentang pengumpulan manna, Paulus menegaskan bahwa dalam komunitas Kristen, tidak ada yang berlebihan atau kekurangan karena Tuhan menyediakan cukup bagi semua orang. Korintus juga sudah mengalami kasih karunia dari Kristus oleh karena itu Paulus menekankan supaya jemaat di Korintus harus meresponnya dengan ucapan syukur yang diwujudnyatakan dalam pelayanan kasih.

  • Ogen : Bilangan 28:26-31

Kitab Bilangan 28:26-31 memberikan instruksi kepada bangsa Israel tentang bagaimana mereka harus mempersembahkan korban-korban pada Hari Raya Pentakosta atau Shavuot (Ibrani). Dirayakan pada hari kelima puluh sesudah Hari Raya Paskah bertepatan waktunya dengan hari raya tuaian; pada hari itu, sehabis "tujuh minggu" (inilah kira-kira waktu penuaian) dipersembahkan "hasil pertama bumi; inilah pesta "buah-buah pertama", atau disebut hari raya ketujuh minggu. Dimana mereka mengumpulkan hasil panen pertama dari tanah yang baru mereka tanami. Ini adalah momen penting dalam siklus pertanian di mana mereka memberikan persembahan kepada Tuhan sebagai ungkapan syukur atas berkat-berkat yang mereka terima. Persembahan yang diberikan bukan hanya sekadar tugas rutin atau kewajiban, melainkan adalah ekspresi nyata dari syukur dan pengakuan akan kemurahan Tuhan atas segala berkat yang telah diberikan kepada umat-Nya. Dengan memberikan hasil panen pertama kepada Tuhan, umat Israel menegaskan bahwa segala yang mereka miliki berasal dari-Nya dan bahwa mereka bersedia memberikan yang terbaik sebagai ungkapan penghargaan tertinggi kepada Sang Pemberi. Kemudian, hari itu dikenal sebagai Hari Raya Pentakosta karena dirayakan pada hari ke-50 dihitung dari hari sabat permulaan Hari Raya Paskah. Hari ini ditandai dengan perkumpulan kudus dan mempersembahkan korban-korban. Ini adalah salah satu dari beberapa perayaan yang diatur oleh hukum Taurat, yang memiliki signifikansi spiritual dan sejarah yang besar bagi bangsa Israel.

Pada Hari Raya Tujuh Minggu, bangsa Israel diingatkan untuk mempersembahkan persembahan-persembahan khusus kepada Tuhan sebagai tanda syukur atas berkat-berkat yang mereka terima dan juga untuk mengingatkan umat Israel akan berkat-berkat Tuhan dan memperkuat hubungan mereka dengan-Nya. Ayat-ayat ini secara rinci menjelaskan jenis persembahan yang harus mereka bawa : dua ekor domba jantan yang berumur setahun, tanpa cacat, yang akan disembelih sebagai korban bakaran bagi Tuhan. Korban bakaran ini adalah simbol dari penyerahan total kepada Tuhan. Api yang membakar seluruh tubuh hewan melambangkan persembahan total tanpa sisa kepada Tuhan, sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian penuh. Mereka juga diminta untuk membawa sajian tepung yang diolah dengan minyak zaitun, sebagai persembahan makanan yang harum bagi Tuhan, serta minuman anggur sebagai hidangan pembakaran yang menyenangkan bagi-Nya. Tepung dan minyak melambangkan hasil bumi dan kerja manusia yang dipersembahkan kembali kepada Tuhan sebagai tanda syukur dan pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari-Nya. Seekor kambing jantan dipersembahkan sebagai korban penghapus dosa. Ini adalah tindakan pendamaian, yang menunjukkan pengakuan bangsa Israel akan dosa-dosa mereka dan kebutuhan mereka akan pengampunan. Pentingnya Hari Raya Tujuh Minggu bukan hanya dalam hal persembahan, tetapi juga dalam merayakan kesetiaan dan berkat-berkat Tuhan. Pada hari yang sama, bangsa Israel diingatkan untuk mengadakan perhimpunan suci, di mana mereka berkumpul bersama-sama di hadapan Tuhan untuk merayakan dan menghormati-Nya. Ini adalah momen yang diharapkan untuk bersyukur kepada Tuhan atas segala yang Dia berikan dan mengingat perjanjian mereka dengan-Nya.

  • Invocatio : Keluaran 34:22

Keluaran 34:22 adalah perintah Allah kepada bangsa Israel untuk merayakan dua peristiwa penting dalam tahun pertanian mereka: Pesta Tujuh Mingguan dan Pesta Pengutipan pada akhir tahun. Dalam konteks agama dan kehidupan sosial masyarakat Israel kuno, perayaan ini memiliki makna yang mendalam. Pesta Tujuh Mingguan, atau Pesta Pengumpulan, adalah waktu bagi umat Israel untuk merayakan hasil panen gandum. Panen gandum adalah momen krusial dalam siklus pertanian tahunan, dan ketersediaannya sangat memengaruhi kehidupan mereka. Merayakan hasil panen merupakan ungkapan syukur kepada Allah atas berkat-Nya yang melimpah. Lebih dari sekadar perayaan sosial, Pesta Tujuh Mingguan adalah wujud pengakuan bahwa Allah adalah sumber segala berkat dan memberikan makanan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup (bdk.Bil. 28:26-31/khotbah). Sementara itu, Pesta Pengutipan pada akhir tahun adalah momen terakhir dalam siklus pertanian. Pada saat ini, hasil panen yang tersisa di ladang dikumpulkan. Ini adalah kesempatan terakhir dalam tahun itu untuk mengumpulkan segala yang telah diberikan Allah. Pesta ini bukan hanya tentang menyelesaikan siklus pertanian, tetapi juga tentang refleksi atas kerja keras dan berkat-berkat yang diberikan Allah sepanjang tahun tersebut. Dengan merayakan Pesta Tujuh Mingguan dan Pesta Pengutipan, bangsa Israel mengakui bahwa mereka adalah umat yang diberkati dan dilindungi oleh Allah. Mereka belajar untuk tidak hanya bergantung pada hasil kerja mereka sendiri, tetapi juga pada penyediaan dan perlindungan Ilahi. Ini adalah bagian dari identitas mereka sebagai umat yang dipilih oleh Allah, yang memerintahkan mereka untuk menghormati-Nya dan mengikuti ketetapan-ketetapan-Nya.

III. Refleksi

  1. Memberi Bukan Sekadar Kewajiban, Tetapi Ekspresi Cinta: jemaat di Makedonia tidak memiliki alasan lain dalam hal memberi kecuali karena ekspresi cinta mereka terhadap kasih karunia yang telah mereka dapatkan dari Tuhan, yang tidak ternilai batasnya. Mereka tidak hanya menunjukkan meteri sebagai sumbangan mereka, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mengalami kasih karunia Tuhan dalam hidupnya. Jadi itu merupakan sebuah ekspresi cinta mereka atas dasar cinta Tuhan yang telah mereka dapatkan terlebih dahulu. Terkadang kita cenderung melihat memberi sebagai kewajiban atau tindakan yang harus kita lakukan. Namun, ketika kita memahami bahwa memberi adalah ekspresi dari cinta dan kesetiaan kita kepada Tuhan dan sesama, itu akan menjadi tindakan yang alami dan bermakna.
  2. Memberi dalam Keterbatasan Memperkaya Kita : Persembahan kita kepada Tuhan dan sumbangan kita kepada sesama tidak selalu harus dalam jumlah besar. Bahkan dalam keterbatasan, kita masih dapat memberi dengan sukacita dan murah hati. Ini mengajarkan kita untuk tidak menunggu sampai kita memiliki kelebihan untuk memberi, tetapi memberi apa yang kita bisa dengan apa yang kita miliki saat ini.
  3. Memberi sebagai Sarana untuk Mendamaikan Hubungan: Memberi dengan tulus bukan hanya mengubah kehidupan individu, tetapi juga memperbaiki hubungan antarmanusia dan hubungan denganTuhan. Saat bangsa israel memberikan persembahan kepada Tuhan sebagai bukti berkat yang selalu mereka dapatkan dari Tuhan, itu juga menunjukan bahwa mereka selalu ingin membuat hubungan yang baik dengan Tuhan yang telah memberikan berkat tersebut kepada mereka. Saat kita memberi dengan hati yang tulus, kita merajut kembali ikatan kasih kepada Tuhan dan juga kedamaian dalam komunitas kita.
  4. Memberi Mencerminkan Karakter Kristus: Pada akhirnya, memberi dengan tulus adalah mencerminkan karakter Kristus. Kristus adalah teladan pemberian yang paling sempurna, dan ketika kita memberi dengan hati yang tulus, kita menjadi saksi hidup akan kasih dan kemurahan hati-Nya. Termasuk saat kita memberikan persembahan yang terbaik untuk membantu GBKP dalam persembahan Kerja Rani (hari raya Tujuh Minggu). Itu adalah sebuah cerminan karakter Kristus yang bisa kita tunjukkan sebagai tanda kasih kita kepada GBKP. Karena dalam menjalankan setiap aksi pelayanan, maka dibutuhkan dana untuk menopang kegiatan tersebut. Dari sini kita bisa menunjukkan bukti tanggungjawab kita sebagai anak-anak Tuhan. Karena persembahan Kerja Rani merupakan salah satu dari tiga (persepuluhan, persembahan kebaktian Minggu) sumber keuangan yang paling banyak untuk menunjang kegiatan pelayanan. Oleh karena itu dengan adanya kontribusi kita, maka kegiatan pelayanan juga berjalan dengan baik.

Vic. Elpita Lorena Br Barus, S.Th-Perpulungen Purwakarta

MINGGU 30 JUNI 2024, KHOTBAH KOLOSE 3:5-11

Invocatio :

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah

(1Yoh 4:7)

Ogen  :

Bilangan 27 : 1 -11

Khotbah :

Kolose, 3 : 5 -11

Tema  :

Ersada ras Kerinana / Bersatu dengan Semua.

 

Pendahuluan.

Saudara-saudara yang terkasih, minggu ini disebut sebagai Minggu HAM, yaitu Gereja sebagai Tubuh Kristus diajak untuk ikut memperjuangakan Hak Azasi Manusia. Secara Global Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamirkan 'Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia' pada tahun 1948, hak asasi manusia telah menjadi isu sentral dalam wacana moral dan politik dan telah menjadi landasan hukum internasional. Perjuangan HAM ini mendukung pembebasan dan emansipasi manusia pada umumnya.

Hak Asasi Manusia (HAM) diadakan bukan karena pemberian oleh negara atau masyarakat tetapi karena manusia adalah makhluk hidup yang bermartabat. Tuhan menciptakan manusia untuk menguasai dan mengelola dunia ini dengan kemampuan berfikir, beradaptasi, bertumbuh dan berperasaan. Hal tersebut yang menjadikan manusia mempunyai martabat yang paling tinggi diantara semua makhluk hidup ciptaan Tuhan. Jika kita mendasarkan hak asasi manusia pada firman Allah, kita harus mendasarkanya pada keadilan Tuhan, kita harus melihat tindakan adil Tuhan yang menjadi dasar keadilan kehendak-Nya. Oleh kareanya Gereja disepanjang zaman harus tetap memperjuangkan HAM karena gereja diutus oleh Alah di dunia untuk mewujudnyatakan kebenaran dan keadilan Allah.

Maka dari itu pengakuan atau eksistensi manusia patut diapresiasikan secara benar dan terhormat. Sejatinya HAM harus kita junjung tinggi, hormati, dan lindungi demi kehormatan dan martabat manusia. Para pendiri bangsa (founding father) yang telah membangun bangsa Indonesia dengan berlandaskan hukum dan menjamin rakyatnya dengan hak asasi manusia yang tertuang dalamUUD Negara Republik Indonesia tahun 1945

Perjuangan untuk kesetaraan HAM ini, tidaklah semudah mengucapkannya Kita hendaknya mendasarinya dengan persepektif yang sama yaitu kesatuan di dalam Kristus, hal inilah menjadi dasar yang melandasi cara berfikir dan bertindak untuk memperjuangkan HAM.

Pembahasan Teks.

Kolose adalah salah satu jemaat dari beberapa jemaat yang mendapat kiriman surat oleh Rasul Paulus walaupun kota Kolose adalah kota yang kecil, Namun di tengah kesibukannya, Rasul Paulus meluangkan waktu untuk menulis surat bagi jemaat di Kolose. Jika kita membaca Kitab Kolose ini, maka kita akan menemukan bahwa jemaat di Kolose adalah jemaat yang sudah memiliki iman kepada Tuhan Yesus Kristus, hidup dalam kasih dan memiliki pengharapan akan hidup yang kekal lewat pemberitaan Injil. Namun ternyata ada masalah pengajaran dalam jemaat Kolose yang kemudian berpengaruh kepada perilaku hidup mereka sehari-hari.(Kol 1:3-6). Jemaat di Kolose adalah jemaat yang sudah mengalami kelahiran baru, tetapi mereka masih dipengaruhi dengan kebiasaan hidup yang lama. Mereka tidak menyadari bahwa sebagai orang yang sudah percaya kepada Kristus harus hidup dalam realitas yang baru. “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia.” (Kol 2:6)

Paulus menasehatkan untuk hidup seperti Yesus Kristus. Perikop ini bergantung pada dua perintah utama yaitu pertama untuk "mematikan” (membunuh)". Perintah dalam Kol. 3: 5 Paulus membuat daftar keinginan dosa yang harus dimatikan/dibunuh. Paulus menyebutkan lima keinginan berdosa khusus yang harus dibunuh: imoralitas seksual/percabulan(porneian, kata umum yang digunakan untuk imoralitas yang bersifat seksual), kenajisan (akatharsian, negasi atau tidak adanya kemurnian), nafsu (pathos, hasrat / nafsu), keinginan jahat (kakus epithumian, kerinduan jahat), dan keserakahan (keserakahan didefinisikan sebagai penyembah berhala).

KOL. 3: 6 nasehat sebagai peringatan kuat jika melakukan dosa tersebut diatas: "Karena hal-hal ini, menimbulkan murka Allah menimpa orang yang tidak taat." Murka Allah dimaksudkan di sini jika jemaat Kolose gagal untuk mematikan keinginan jahat ini, mereka akan dapat mendapatkan penghakiman Tuhan dengan pasti.

Kol. 3: 7-8a berisi perintah kedua Paulus. Terlepas dari kenyataan bahwa orang Kolose pernah berjalan dalam pola dosa ini (3: 7), mereka harus "mensingkirkan" atau "membuang (seperti sampah)" tindakan berdosa tertentu. Paulus mendaftarkan tindakan berdosa dalam ay 8b-9a yang harus mereka singkirkan. Tiga yang pertama membahas sikap mereka (amarah, geram, kedengkian) dan yang ketiga membahas kata-kata mereka (fitnah, bahasa kotor, kebohongan).

Kol. 9b-11 memberikan nasihat agar jemaat Kolose menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru yang terus menerus diperbaharui. Di sini Paulus menyinggung jenis pakaian yang dipakai untuk pakaian jemaat Kolose. Mereka telah melepas pakaian lama dan memakai pakaian baru. Penafsiran umum dari ayat-ayat ini adalah Paulus mengatakan bahwa jemaat Kolose memiliki dua kodrat - yang lama dan yang baru - dan Paulus mengimbau agar mereka hidup sesuai dengan kodrat baru mereka.. Paulus mempertentangkan identitas mereka di hadapan Kristus (mereka adalah bagian dari manusia lama dengan praktik-praktiknya) dan setelah mengenal dan menerima Kristus (mereka adalah bagian dari manusia baru). Dalam Kristus, jemaat Kolose adalah umat-Nya yang baru seperti. "Manusia baru" yang mulai mereka kenakan adalah kemanusiaan baru yang sedang "Allah perbarui" (ayat 10) ke dalam gambar-Nya. Kemanusiaan baru ini ditandai dalam ay 11 dengan :

1) penghapusan perbedaan ras, budaya, dan sosiologis (tidak ada lagi orang Yahudi atau Yunani, sunat atau tidak sunat, biadab, Skit, budak atau bebas);

2) kesatuan dalam Kristus (“Kristus adalah semua dan di dalam semua”). Paulus berkata, “Kristus adalah yang terpenting, dan Ia ada di dalam kita semua, terlepas dari perbedaan kita.” Jadi, orang Kolose memiliki status baru dalam Kristus yang melampaui perbedaan mereka. Paulus menyatakan status baru mereka sebagai anggota umat Allah sebagai alasan kepatuhan mereka terhadap perintah-Nya untuk mengesampingkan tindakan berdosa mereka.

Paulus memperingatkan jemaat Kolose agar hidup sesuai dengan status baru yaitu manusia baru. Sehingga satu keharusan bagi jemaat agar patuh dan taat kepada Kristus. Oleh karena itu Manusia baru sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihiNya, kenakanlah (Baca Kol. 3:12-13):

- Belas kasihan, Kemurahan, Kerendahan hati, Kelemah lembutan, Kesabaran, Mengampuni kesalahan orang lain

- Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perbuatan atau perkataan, lakukanlah semuanya itu didalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. (Kol. 3 :17).

Ogen, Kitab Bilangan 27 : 1 -11 Menceritakan tentang masalah hukum yang belum ada penyelesaiannya dalam peraturan yang ada. Kasusnya adalah lima anak perempuan Zelafehad dari suku Manasye yang kehidupannya terancam karena ayah mereka tidak memiliki penerus (3-4).

Dalam keadaan biasa, tanah keluarga jatuh ke tangan anak laki-laki karena hanya kaum laki-laki yang mempunyai hak untuk mewarisi nama keluarga dan tanah. Tanpa anak laki-laki, nama keluarga mereka akan hilang dari bangsa Israel dan tidak ada tanah yang diwariskan. Tanpa hak waris, mereka tidak bisa ikut mewarisi perjanjian Allah bagi Israel.

Hal inilah yang membuat kasus anak perempuan ini mendesak sekali untuk direspons. Mereka memohon keadilan Tuhan. Mereka tidak ingin menghilang dari umat Tuhan. Hal yang menarik adalah Tuhan memenuhi permintaan mereka sehingga Ia memunculkan peraturan baru (7-11). Kaum perempuan pun dapat mengeklaim hak dan nama keluarganya supaya tidak terhapuskan dari masyarakat.

Kondisi ini menunjukkan keadilan Allah. Bagi Allah, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Kasus ini membantu kita untuk berlaku adil kepada siapa pun. Laki-laki atau perempuan memiliki hak yang sama dalam masyarakat. Di dalam berkat perjanjian Tuhan, tidak ada seorang pun yang ditinggalkan. Seperti kelima perempuan ini, kita pun perlu memperjuangkan keadilan, baik untuk diri sendiri maupun mereka yang berhak mendapatkan bagiannya.

Mari kita bersyukur karena Allah kita bukanlah Allah yang membeda-bedakan manusia. Laki-laki maupun perempuan mendapat bagian dalam berkat pemeliharaan Allah. Sebagai umat Tuhan, sudah sepatutnya kita memperjuangkan hak orang-orang di sekitar kita.

Marilah kita wujudkan rasa syukur dengan memperlakukan orang-orang di sekitar kita dengan kasih dan keadilan. Sebagai orang yang telah dimerdekakan oleh Allah, kita sebaiknya tidak mengumbar tindakan yang membuat orang lain menjadi tertindas.

Refleksi

  1. HAM adalah anugerah Allah bagi setiap manusia ciptaannya, setiap ciptaan harus saling menghargai satuyang satu sama lain memang berbeda, tetapi perbedaan itu tidak harus menjadi tembok pemisah di antara kita. Dahulu kita adalah orang-orang yang hidup tanpa Kristus, bukan umat pilihan seperti Israel, tidak mendapatkan bagian dalam janji-janji Allah, dan hidup kita tanpa Allah di dunia ini. Tetapi, sekarang di dalam Kristus, kita mendapatkan bagian dalam Kerajaan Allah sebab darah Kristus telah menjadikan kita dekat. Kedekatan dengan Allah, dan kedekatan satu sama lain sebagai sesama umat Allah. Oleh Kristus, baik orang Yahudi maupun orang bukan Yahudi sama-sama memperoleh jalan masuk kepada Allah.
  2. Kristus telah meruntuhkan tembok pemisah, status, golongan, gender,dll, sungguh tidak layak jika kita membangunnya kembali. Jika Allah tidak pernah membeda-bedakan manusia, mengapa kita memperlakukan sesama kita secara berbeda-beda? Semestinya kita sebagai orang percaya bersatu di dalam Kristus, saling mengasihi dan saling menolong dalam menanggung beban (Gal. 6:2). Alih-alih memecah belah, mari kita merayakan kesatuan kita di dalam Kristus.

Pdt. Togu P. Munthe

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD