MINGGU 14 JULI 2024, KHOTBAH KEJADIN 47:18-24
Invocation :
Pindolah udan man Tuhan tupung paksa merdang. Sabab Tuhan kap si mahanca embun erkilap, dingen IA si pesesursa udan, maka sinuan-sinuan meratah I juma man kerina manusia (Sak. 10:1)
Ogen :
2 Korinti 9:10-12
Kotbah :
Kejadin 47:18-24
Tema :
Benih Guna Ierdangken (Benih Yang Harus Ditabur)
I. Pendahuluan
Saudara-saudari yang diberkati Tuhan dalam Yesus Kristus, Minggu pe-VII Kenca Trinitatis atau secara kontekstual adalah minggu Merdang (Menabur) yang pelaksanaan liturginya dalam ibadah minggu dilakukan setelah pelaksanaan Kerja Rani. Namun secara umum, mekanisme ketetapan Runggun-runggun lebih banyak kepada perubahan jadwal pelaksanaan kerja rani sehingga minggu Merdang menjadi tidak secara berdampingan dengan minggu kerja rani.
Kata “Merdang” identik dengan arti menabur benih, menanamkan bibit padi yang telah melewati proses peyemaian. Arti minggu merdang ini di pahami sebagai memberlakukan pola hidup ketaatan dan rasa Syukur kepada Tuhan dalam setiap kehidupan yang telah di jalani, yang sedang berjalan bahkan yang belum terjadi. Konteks pemikiran dan mindset manusia cenderung bahwa Berkat Tuhan yang patut disyukuri hanya soal UANG dan KEKAYAAN. Jake Barnett menyatakan bahwa: “rata-rata lima puluh persen dari hidup kita berhubungan dengan uang.”[1] Hal ini berarti bahwa, lima puluh persen dari waktu kita, perhatian kita, kekuatan mental kita, emosi kita, percakapan kita, keberhasilan kita, kegagalan kita, masalah kita berhubungan dengan uang. Yang seharusnya Allah menghendaki agar segala yang dimiliki oleh umatnya dipakai untuk kemuliaan Tuhan, sebab segala yang dimiliki oleh orang percaya adalah pemberian dari Tuhan, oleh Dia, dan kepada Dia, sehingga segala kemuliaan hanya bagi Dia saja sampai selama-lamanya (Roma 11:36).
Bahan khotbah kita pada minggu ini bercerita tentang Yusuf adalah anak Yakub yang kesebelas. Yusuf merupakan anak pertama Yakub dari Rahel, istri yang paling dikasihinya (Kej. 30:24; 35:24). Dalam teks Alkitab juga menunjukkan bahwa Yusuf adalah anak yang paling dikasihi Yakub (Kej. 37:3; 33:2, 7). Hal ini mungkin karena Yusuf dilahirkan pada usia tua Yakub. Arti nama Yusuf adalah Yahweh telah menambahkan lagi anak laki-laki (Kej. 30:24). Oleh karena ia adalah anak yang paling dikasihi ayahnya sehingga membuat cemburu saudara-saudaranya sehingga ia dijual sebagai budak di Mesir. Kitab Kejadian menggambarkan Yusuf sebagai sosok berintegritas (39:1-20), “cerdas dan bijaksana” tiada tandingnya (41:39). Di usia relatif muda 30 tahun (41:46), ia menjadi penguasa Mesir, negeri adidaya di Timur Tengah pada waktu itu. Jabatannya semacam perdana Menteri/wakil raja (42:6), orang nomor dua setelah firaun (41:40 “kuasa atas istanaku ... hanya takhta inilah kelebihanku dari padamu”).
II. ISI
Latar waktu narasi kita adalah suatu ketika dari masa tujuh tahun kelaparan, ketika rakyat “berteriak meminta roti kepada Firaun” dan mereka disuruh pergi kepada Yusuf” untuk membeli gandum (41:55). Dengan istana menguasai stok gandum secara nasional, semua uang hasil penjualan gandum masuk kas kerajaan (47:14). Setelah makanan dan uang rakyat habis, mereka datang kembali kepada Yusuf dan berkata, “Berilah makanan kepada kami! Mengapa kami harus mati di depanmu sebab tidak ada lagi uang?” (47:15). Yusuf menawarkan pembelian makanan dengan sistem barter: “Jika tidak ada lagi uang, berilah ternakmu ... aku akan memberi makanan kepadamu sebagai ganti ternakmu itu” (ay. 16). Harta bergerak paling berharga dalam masyarakat agraris adalah ternak (kuda, kambing domba, lembu sapi, keledai) yang bisa berfungsi antara lain untuk sarana transportasi, membawa beban, bertani, bahan makanan (dagingnya, susunya), bahan pakaian (kulitnya). Karena mustahil menampung semua ternak rakyat, hewan-hewan itu de facto masih dipakai rakyat tetapi de jure milik Firaun.
Bala kelaparan berlangsung lama sehingga persediaan makanan hasil barter hanya bertahan setahun. Hal ini diperlihatkan dalam pasal 47:18–19 berikut ini setelah lewat tahun itu, datanglah mereka kepadanya, pada tahun yang kedua, “Uang kami habis, ternak kami menjadi milik tuanku, tidaklah ada lagi yang tinggal yang dapat kami serahkan kepada tuanku. Pada konteks ini, makanan masih menjadi isu hidup dan mati, tetapi yang bakal mati kini bertambah: tanah yang tadinya subur akan jadi tandus, terbengkalai tak ditanami, karena yang mengurusnya mati kelaparan. Rakyat pun siap berbuat apa saja untuk bertahan hidup, dengan dua syarat. Pertama, istana menjamin ketersediaan benih tanaman demi kelangsungan pertanian rakyat. Kedua, mereka dipekerjakan di tanah yang tadinya milik mereka. Berbeda dari skema barter pertama, barter kedua berasal dari inisiatif rakyat, tanah dan tenaga mereka ditukar dengan makanan dan benih. Dengan menjual tanah kepada Firaun berarti mereka bukan lagi petani mandiri, menjadi hamba Firaun. Yusuf setuju dengan skema barter yang diinisiasi oleh rakyat, seperti yang terlihat di ayat 20, 23–24 berikut ini Yusuf membeli segala tanah orang Mesir. negeri itu menjadi milik Firaun ... Berkatalah Yusuf kepada rakyat itu, “Pada hari ini aku telah membeli kamu dan tanahmu untuk firaun; inilah benih bagimu supaya kamu dapat menabur di tanah itu. Mengenai hasilnya, kamu harus berikan seperlima bagian kepada firaun dan yang empat bagian ... menjadi benih untuk ladangmu ... makanan kamu dan ... yang ada di rumahmu”
Yusuf membeli semua tanah rakyat yang kini beralih menjadi tanah kerajaan (milik Firaun), tetapi makanan untuk penghidupan mereka dijamin oleh pemerintah, juga ketersediaan benih untuk produksi, dalam suatu skema bagi hasil (bdk. 41:34–36). Apabila panen berhasil, mereka menikmati empat perlima dari hasil dengan satu perlima untuk Firaun. Rakyat hanya memakai pengetahuan dan keterampilan kerja mereka, bermodal waktu dan tenaga; kalau panen gagal, kerugian materiel ditanggung pemerintah. Ini bukan pemajakan dalam arti modern, sebab di sini negara menjamin penghidupan rakyat dan modal kerja mereka untuk bertani. Demikian rakyat Mesir bertani di tanah negara (bukan petani mandiri)[2], sebagai penggarap, dengan sistem bagi hasil. Biasanya, bagian penggarap lebih sedikit daripada pemilik tanah, tetapi di sini bagian penggarap empat kali lebih besar daripada pemilik tanah.
Jadi penyertaan Tuhan menunjukkan kuasa dan kehadiran Tuhan yang tetap menyertai orang percaya dalam setiap fase kehidupan. Keadaan boleh berubah namun Tuhan tetap ada, hadir, dan menyertai. Penyertaan Tuhan merupakan kemahakuasaan Tuhan untuk menjaga, melindungi, dan memberkati umat-Nya dalam kondisi apapun, di mana saja, dalam waktu apapun, dan melalui siapa saja. Penyertaan Tuhan yang muncul di awal dan akhir kisah, menyiratkan bahwa penyertaan TUHAN-lah yang berperan penting dari awal sampai akhir (ayat 2, 23). Hal ini juga dipertegas lagi di Kisah Para Rasul 7:9-10 bahwa Allah menyertai Yusuf dan melepaskannya dari segala penindasan serta menganugerahkan kepadanya kasih karunia dan hikmat. Sehingga frase Tuhan menyertai Yusuf dalam bagian ini juga berkat yang diterimanya menunjukkan bahwa sebenarnya Tuhan, bukan Yusuf, yang adalah karakter utama dalam kisah ini.
Di akhir cerita secara keseluruhan Yusuf pun mengakui bahwa kedatangan dan keberhasilannya di negara Mesir adalah karena TUHAN yang menyuruh dia ke sana (45:5-8). Walaupun saudara-saudaranya mereka-rekakan yang jahat, tetapi Yusuf mengetahui bahwa TUHAN menggunakan semua itu untuk kebaikannya (50:20) Penyertaan Tuhan dalam kehidupan orang percaya pada akhirnya menunjukkan karakter Allah sendiri bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat atas kehidupan umat-Nya. Ia adalah Allah yang setia dan menepati semua janji-janji-Nya. Janji-Nya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub digenapinya melalui kehidupan Yusuf. Melalui Yusuf maka Tuhan menyatakan penyertaan-Nya sekalipun orang lain bermaksud yang jahat baginya namun justru hal itu menggenapi rencana Allah bagi umat-Nya. Sehingga sama seperti pengakuan Yusuf bahwa orang boleh merancangkan yang jahat namun Tuhan dapat merancangkan itu untuk kebaikan. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyadari bahwa perbuatan mereka tersebut merupakan bagian dari rencana Allah untuk memelihara masa depan suatu bangsa yang besar yaitu Israel. Karakter Allah dinyatakan melalui penyertaan-Nya. Karena Tuhan mengetahui semuanya dan Dia berdaulat. Sehingga ini seharusnya membuat orang percaya untuk tidak khawatir dengan setiap masa kehidupannya melainkan justru menumbuhkan imannya di dalam Tuhan.
Begitu juga dengan bahan bacaan yang pertama yang diambil dari 2 Korintus 9:10-12 menegaskan bahwa, menabur sama dengan memberi. Dan memberi tidak akan kekurangan. Gene Getz mengungkapkan implikasi dari memberi berdasarkan 2 Korintus 9:11-13 sebagai berikut: “Paulus mengingatkan jemaat di Korintus bahwa pemberian mereka yang murah hati bukan hanya mencukupkan kebutuhan umat Allah, melainkan juga akan menyebabkan banyak orang memuji Allah. Orang-orang akan bersyukur kepada Allah karena berkat-berkat materi ini. (2 Kor. 9:11-13).” kita menilai bahwa ketika seseorang memberi untuk Tuhan, maka tindakan tersebut akan membuat orang-orang memuliakan Dia. Oleh sebab itu seharusnya setiap umat Tuhan terus meningkatkan kerinduan dan semangat mereka untuk memberi. William Barcley menjelaskan prinsip memberi dengan sukacita sebagai berikut: “Paulus menegaskan bahwa pemberi yang memberi dengan bersukacitalah yang Allah kasihi. Kitab Ulangan 15:7-11 memberi petunjuk tentang tanggung jawab untuk bermurah hati kepada saudara yang miskin, dan ayat 10 mengatakan, “Engkau harus memberi kepadanya dengan limpahnya dan janganlah hatimu berdukacita, apabila engkau memberi kepadanya, sebab oleh karena hal itulah Tuhan, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu dan dalam segala usahamu.”[3]
Jadi memberi untuk Tuhan adalah sebuah tindakan pemberian kepada Tuhan yang didasari oleh karakter yang terbentuk dalam diri seseorang dan dilakukan terus menerus, makin lama makin meningkat, yang akhirnya akan menjadi sebuah gaya hidup, dengan dilandasi sikap hati penuh sukacita, serta memiliki tujuan untuk memuliakan Tuhan, apalagi jika dilakukan di luar batas kemampuannya hal ini menjadi sangat luar biasa bagi Tuhan.
III. Kesimpulan
Menurut Rhenald Kasali, Yusuf merupakan tipe pribadi pengemudi (driver), bukan penumpang, (passenger).[4] Dia memiliki self driving yang kuat yang ditandai dengan mentalitas pemenang: tidak puas atau pasrah pada keadaannya, memecahkan masalah, belajar hal-hal yang baru, berani menghadapi risiko, tidak mengeluh, tidak banyak komplain dan menyalahkan orang lain, dan sabar menghadapi segala kesulitan. Tuhan menyertai Yusuf telah mengubah Yusuf yang lama (seorang anak kesayangan dengan perlakuan istimewa dari keluarga dan hidup dalam zona kenyamanan) menjadi Yusuf yang baru yang memiliki mentalitas sebagai pemenang, mudah bagi Yusuf karena dia tidak lagi hidup di zona nyaman. Kita sebagai umat Tuhan juga akan memperoleh kebaikan Tuhan jika kita juga mampu untuk menaburkan benih kebaikan bagi orang lain tanpa harus melihat sesuatu yang kita jadikan keuntungan dari orang tersebut. Kita sebagai pelaku kebaikan dalam segala aspek dalam kehidupan kita.
Terjadi perubahan besar pada diri Yusuf. Yusuf berhasil menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan atau kompetensi untuk hidup di negeri asing. Selain kemampuan untuk hidup di luar zona nyaman, penyertaan Allah tidak lepas dari upaya Yusuf yang mengerjakan segala sesuatu dengan berhasil. Penyertaan Allah tidak menghilangkan upaya manusia, sehingga Tuhan membuat berhasil segala upaya tersebut. Campur tangan Allah menjadi nyata pada orang yang bekerja keras. Penyertaan Tuhan tentu menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat. Lloyd Reeb mengatakan, bahwa Yusuf menikmati keberhasilan sebab dia mengikuti bimbingan Allah dalam kehidupannya.[5] Penyertaan Tuhan menjadi sebuah faktor sehingga ia menjadi orang yang berhikmat.[6] Kemampuan yang tidak tertandingi oleh orang Mesir adalah sebuah dampak kompetensi intelektual yang dimiliki Yusuf karena penyertaan Roh Allah padanya. Sebagai umat Tuhan, diri kita sebagai alat Allah untuk menjadi berkat bagi orang lain yang tentunya dengan karya kita sehingga sangat berguna bagi orang lain
Pdt. Anton Keliat-Runggun Bandung Timur
[1] Jake Barnett. Harta dan Hikmat (Bandung: Kalam Hidup, 1983), 20.
[2] Dalam sistem agraria di dunia Timur Tengah Kuno, para raja bak tuan tanah negeri. Tanah bisa langsung dikelola istana atau disewakan, bisa juga dipinjamkan kepada para abdi raja untuk digarap dan dipetik hasilnya sebagai ganti gaji mereka (Ing. fief; bdk. tanah bengkok). Ada catatan-catatan dari semua periode di Mesopotamia tentang tanah di seluruh negeri sebagai kepunyaan raja dan praktik sejenis tanah bengkok. Karena raja Mesir adalah titisan dewa, secara teoritis pemilik segala sesuatu di wilayah kerajaannya (penguasa absolut), tetapi dalam praktiknya rakyat juga bisa memiliki tanah pribadi dalam semua periode kuno. Hanya kuil-kuil di Mesir dikecualikan.
[3] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1&2 Korintus, terj. Pipi Agus Dhali dan Yusak Tridarmanto (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009), 411.
[4] Rhenald Kasali, Self Driving: Menjadi Driver Atau Passenger? (Jakarta: Mizan, 2014), 41-44.
[5] Lloyd Reeb, Sukses Saja Tidak Cukup (Jakarta: Metanoia, 2007), 23
[6] Harls Evan Rianto Siahaan, Hikmat Sebagai Implikasi Pendidikan Kristiani Dalam Keluarga: Refleksi 1 Raja-Raja 3:1-15, DUNAMIS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani) 1, no. 1 (2016): 15–30, www.sttintheos.ac.id/ejournal/index.php/dunamis