MINGGU 15 DESEMBER 2024, KHOTBAH MATIUS 25:1-13

 

 

Kata Pembuka

Dalam segala hal dibutuhkan persiapan. Misalnya saja saat akan berangkat ke suatu tempat, baik untuk bekerja, pergi ke pesta, berwisata atau hadir ke acara penting, maka mempersiapkan diri tidak boleh dilewatkan. Apa yang mau dibawa, dikenakan, bagaimana perjalanannya, hendak pergi bersama siapa, semua membutuhkan persiapan. Agar tidak ada yang terlupa atau ketinggalan.

Jangan sampai seperti seorang pemuda yang pulang larut malam karena asik begadang dengan teman-temannya. Sesampainya di rumah, dia tidak lagi sempat melakukan apa-apa, karena sudah lelah dan mengantuk. Padahal besok adalah hari presentasi tugas di kelasnya. Dia tidak mempersiapkan barang-barangnya, karena berharap menyempatkannya besok. Pagi harinya, ternyata pemuda tersebut terlambat bangun. Akhirnya dia mempersiapkan diri dengan terburu-buru. Bahkan sarapan dan mandi pun tidak lagi sempat. Dia bergegas tanpa memperhatikan lagi perlengkapan yang harus dibawanya.

Saat tiba di kelas, dia menyadari catatan yang berisi tugas presentasinya tertinggal di rumah. Untuk kembali pulang tidak lagi ada waktu, sehingga mau tidak mau dia menerima resiko ditegur dan berkurang nilai karena ketidaksiapannya. Ditambah lagi perutnya lapar dan badannya yang tidak sempat mandi tadi, semakin menambah gerah dan mulai beraroma tidak sedap. Hal ini sangat mengganggu konsentrasinya sepanjang perkuliahan. Dari sinilah pemuda itu menyesal tidak mempersiapkan diri dengan lebih baik saat ada kesempatan.

Dari gambaran pengalaman ini, kita juga diingatkan bahwa segala sesuatu membutuhkan persiapan. Karena hidup dan pilihan, merupakan hal yang akan dipertanggungjawabkan dan upahnya pun akan diterima masing-masing sesuai keputusan pilihan yang telah diambil. Dalam hal apapun yang tidak dipersiapkan dengan baik maka hasilnya tidak akan maksimal bahkan dapat menjadi penyesalan. Termasuk dalam kehidupan beriman. Seorang Kristen harus mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh baik, dalam menantikan kedatangan Yesus kembali.

ISI

Matius 25:1-13 Yesus memberi perumpamaan tentang Kerajaan Surga dengan gambaran sepuluh gadis yang membawa pelita untuk menyongsong mempelai laki-laki. Menurut tradisi setempat di zaman itu, mempelai laki-laki akan mendatangi rumah orang tua mempelai perempuan, untuk menjemput sang mempelai perempuan. Setelah itu, para gadis dan tamu lain akan pergi bersama kedua pengantin ke rumah mempelai laki-laki dan disanalah akan diadakan perjamuan kawin (ay 1).

Dalam perumpamaan ini, ada lima gadis yang bodoh dan lima lainnya bijaksana (ay 2). Mereka bertugas menantikan kedatangan mempelai, yang tidak dapat dipastikan waktunya tetapi pelita harus terus menyala. Gadis-gadis bijak membawa pelita sekaligus minyak sebagai persiapan, tetapi gadis-gadis bodoh hanya membawa pelita tanpa persediaan minyak. Setelah menanti mempelai yang tidak kunjung datang dengan cukup lama, mereka tertidur (ay 3-5).

Pada saat mempelai datang, semua bangun dan bersiap menyongsongnya, termasuk memastikan pelita tetap menyala. Ternyata, pelita mereka hampir padam. Gadis-gadis bijak menungkan minyak agar pelita tetap menyala. Sementara gadis-gadis bodoh meminta persediaan minyak gadis-gadis bijaksana. Namun, tentu saja mereka tidak dapat membaginya karena tidak cukup untuk semua (ay 6-9). Saat gadis-gadis bodoh pergi membeli minyak, mempelai telah datang dan semua orang diajak masuk ke perjamuan kawin dan pintu ditutup. Gadis-gadis bodoh yang datang terlambat, memohon agar pintu dibukakan. Tetapi mereka tidak lagi diperkenankan masuk (ay 10-12). Yesus menutup perumpamaan ini dengan berkata, ‘..Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.’ (ay 13).

Perumpamaan ini disampaikan Yesus sebagai gambaran janji kedatangan kerajaan Surga yang tidak diketahui waktunya. Dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus yang lainnya pun (Mat 22:1-14, 24:29-36, 24:37-44, 24:45-51) kita diingatkan bahwa jika tiba waktu Tuhan, orang yang bersiap dan yang melalaikan kesempatan tidak akan menerima bagian yang sama. KedatanganNya tidak diberitahukan waktunya dan bisa terjadi dengan tiba-tiba. Oleh sebab itu seperti gambaran gadis-gadis yang membawa pelita, sebagai orang percaya kita harus bersiap dan berjaga-jaga menantikan Tuhan dengan setia. Bagi yang tidak mempersiapkan diri, yang tidak mempergunakan kesempatan hidupnya dengan berbenah iman, maka saat Yesus datang kembali, tidak ada jalan untuk mengulang lagi. Maka selagi ada kesempatan hidup, kita perlu mempersiapkan dan memperlengkapi diri dalam iman. Yesus ingin mengajarkan untuk selalu siap, setia dan hidup taat akan perintah dan janjiNya. Jangan lalai atau terlena dengan keinginan dunia yang penuh dengan tantangan untuk setia pada Tuhan.

Yesaya 6:1-6 Merupakan nyanyian pujian karena kelepasan dan penghakiman yang diberikan Allah. Yesaya memproklamasikan, Allah adalah gunung batu yang kekal, yang memberi kepada umatNya kota yang kuat dan memasang tembok, benteng penyelamat. Karena itulah setiap umatNya harus membuka pintu-pintu gerbang dan masuk sebagai bangsa yang hidup benar dan tetap setia (ay 1-2). Hanya dalam Tuhan, didapatkan hati yang teguh, damai sejahtera bagi orang percaya bahkan tersedia hingga kekal (ay 3-4).

Yesaya menyatakan kepada umat Tuhan, gambaran kuasa Allah yang akan meruntuhkan kubu-kubu benteng musuh. Dia membuka semua kemungkinan menjadi jalan-jalan dan pintu-pintu yang terbuka bagi umatNya. Sehingga dalam sengsara sekalipun, tidak ada hal yang menjadi ketakutan bagi umatNya, selain dari hidup jauh akan Tuhan (ay 5-6).

Kehidupan orang percaya haruslah mengimani keselamatan yang Allah sediakan. Akan selalu ada pengharapan: yang mati dibangkitkan, yang runtuh dibangunkan, yang usang diperbarui, yang hancur dipulihkan. Walaupun berat dan banyak tantangan untuk hidup taat dan setia hingga kedatanganNya, tetapi janji Tuhan seperti yang dinyatakan Yesaya menjadi komitmen iman. Perumpamaan yang Yesus ajarkan juga menjadi pegangan untuk selalu bersiaga menantikan penggenapan. Maka setiap orang percaya, harus berani memegang dan memberitakan pengharapan akan Tuhan. Jangan takut apalagi putus asa dalam penantian.

Lukas 1:30, adalah berita dari Malaikat bagi Maria. "Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah.” Walau sebenarnya sangat tidak mudah bagi Maria menerima rencana dan kehendak Tuhan bagi dunia melalui dirinya, tetapi Tuhan sendiri yang juga memampukannya. Maria yang awalnya khawatir juga takut, memilih untuk tetap setia. Dia mempersiapkan dirinya untuk menerima berkat Tuhan dalam pengharapan iman. Karena Tuhan menjanjikan kasih karunia baginya.

APLIKASI

Tidaklah mudah untuk tetap percaya dan memiliki pengharapan iman di tengah situasi hidup yang sulit dan penuh tantangan. Namun, Firman Tuhan tetap menyatakan bahwa orang-orang yang bersiaga dan tetap percaya, akan diselamatkan dan menerima kehidupan bersama Tuhan dalam Kerajaan Surga. Maka kita harus terus taat menanti, berdoa dan menjaga hidup menyongsong akan datangnya Kristus kembali. Dalam Minggu Advent ini kita tidak sekedar bersukacita merayakan Yesus yang sudah lahir bagi kita sebagai tanda kasih Tuhan. Tetapi juga mempersiapkan diri di dalam menyambut hari kedatanganNya. Disaat itulah Tuhan akan memberi upah dalam rangka kasih dan keadilanNya bagi setiap orang. Sejauh mana persiapan itu kita kerjakan? Adakah nantinya Tuhan mendapati kita tetap setia dan siaga?

Menunggu memang membosankan dan melelahkan, apalagi jika kita tidak tahu kapan datang waktuNya. Tetapi jika kita mau aktif melakukan dengan terus belajar, bekerja dan berkarya seturut kebenaran Firman Tuhan, maka penantian itu tidak akan sia-sia. Di ujungnya nanti, kita pun layak menerima keselamatan yang telah disediakanNya. Ingat bahwa tidak seorang pun tahu kapan Tuhan datang. Yang kita tahu adalah Tuhan pasti datang. Kesiapan diri dalam menyambut kedatangan Tuhan adalah cermin dari kesetiaan. Hanya orang yang menantikan dengan setia dalam arti sabar dan mempersiapkan diri dengan baik, yang akan mendapat upah kekal seperti janji Tuhan. Sedangkan yang hanya sibuk melewatkan kesempatan, akan menjadikan pengharapannya hilang, menggantungkan hidupnya pada kefasikan, akan menerima upah juga. Mereka tidak akan diperkenankan Tuhan menerima sukacitaNya.

Kesiapan kita menantikan Tuhan, perlu diwujudkan dalam sikap hidup yang konkret. Maka tetaplah :

  1. Berjaga-jaga dalam doa. Doa menjadi kekuatan bagi orang percaya yang menyadari kerapuhannya. Berdoalah senantiasa agar dapat tetap teguh melakukan kehendak Tuhan. Karena hanya dengan membangun hubungan dengan Tuhan yang penuh kesungguhan, kita ditolong memahami kehendakNya dan mengisi penantian dengan kehidupan yang baik.
  2. Hiduplah taat dan tertib seturut Firman Tuhan. Firman Tuhan adalah tuntunan hidup yang membuat kita mengerti kebenaran dan kehendakNya. Maka, teruslah hidup dalam persekutuan dan membuka hati untuk siap diajari oleh Firman Tuhan. Agar dalam penantian kita, ada hidup yang dibaharui dalam pertobatan. Tidak lagi fokus hanya untuk hal-hal dunia yang fana.
  3. Beritakan Sukacita menantikan Tuhan. Jangan hanya berdiam diri atau menanti dengan khawatir dan cemas. Tetapi bersukacitalah. Tetap tunaikan tugas dalam setiap kesempatan. Agar tidak hanya diri kita sendiri yang menantikan Tuhan dengan pengharapan. Melainkan orang lain juga turut melakukan kehendak Tuhan lewat kesaksian hidup kita.

Bersiapsedialah selalu, jangan membiarkan semua menjadi penyesalan. Hidup yang kita jalani saat ini adalah kesempatan yang dianugerahkan kepada kita untuk bersiap-siap menyambut kedatangan Tuhan. Bukan hanya dalam tradisi gerejawi, kemeriahan pesta, sambutan-sambutan penuh kesibukan yang ingin menunjukkan bahwa Yesus sudah lahir bagi kita. Layaklah kita bersukacita. Tetapi jangan lupa, menantikan kedatanganNya kembali juga membawa kita dalam refleksi janji Tuhan. Meneduhkan kembali hati yang mau menanti. KedatanganNya kembali akan menjadi kesempurnaan keselamatan bagi orang yang percaya. Sayangnya, banyak orang mengabaikannya dan belum menjalani hidupnya dengan bertanggung jawab akan iman. Maka jangan sampai kita terlambat untuk sadar, tetapi jadilah bijaksana dan setia dalam pengharapan, apapun tantangannya. Selamat bersiap menyambutNya, Tuhan memberkati! Amin.

Pdt. Deci Br Sembiring

MINGGU 08 DESEMBER 2024, KHOTBAH WAHYU 3:1-6

Invocation  :

Demikianlah Yohanes Pembabtis tampil di padang gurun dan menyerukan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibabtis dan Allah akan mengampuni dosamu.”

(Markus 1:4)

Ogen  :

Jesaya 35:1-10

Tema  :

Bertobat dan Berjaga-jagalah/Jera Dingen Tetap Erjaga-jaga

 

Pengantar

Minggu adven II merupakan minggu yang mendorong kita untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan kita. Dorongan ini tercermin melalui seruan Yohanes Pembabtis seperti yang tertulis dalam Matius 1:4 (invocatio). Dalam pengertian yang lebih mendalam, seruan pertobatan juga membuka pikiran-pikiran kita yang mengekang batin dan membiarkan diri untuk dibawa dan diarahkan oleh kekuatan Ilahi. Gagasan pertobatan yang diserukan bukan hanya dipahami seperti pandangan sehari-hari yaitu meninggalkan dosa atau berbuat kesalahan. Tetapi, lebih dalam membiarkan diri dipimpin oleh Tuhan untuk tidak gelisah dalam menghadapi kehidupan. Hati kita dihibur dan ditenangkan oleh kuasa Allah yang Maha Tahu dan Maha Hadir.

Pendalaman Teks

Kitab Wahyu ini menyatakan bahwa penulisnya adalah Yohanes hamba Allah (1:1, 4, 9). Dan jika diperhatikan pasal 1:1 secara keseluruhan, tampaknya Allah sendirilah yang menjadi pengarang utama kitab ini dan dinyatakan kepada Yohanes untuk menuliskannya ke dalam bahasa manusia. Sama halnya seperti Paulus ketika menuliskan surat kepada jemaat, juga memperkenalkan dirinya sebagai orang yang memperoleh wahyu dari Allah (band. 1 Kor 4:1).

Di dalam kitab Perjanjian Baru, kitab Wahyu merupakan jenis kitab Apokaliptik. Arti apokaliptik sendiri adalah membukakan/menyingkapkan atau dalam bahasa yang lain dapat dikatakan sebagai kitab yang membukakan rahasia Allah. Jika kita melihat pembagian jenis-jenis kitab, jenis kitab apokaliptik disimpulkan sebagai kitab penghiburan ataupun kitab pengharapan karena melalui kitab ini akan membuka rahasia Allah atas realita yang dialami oleh orang percaya. Jika dibandingkan dengan Perjanjian Lama, yang dikategorikan dengan kitab apokaliptik adalah kitab Daniel. Para ahli menyimpulkan bahwa jenis kitab Wahyu dan Daniel muncul ketika umat mengalami situasi yang hampir putus asa khususnya dengan situasi sosial dan politik. Orang percaya pada masa itu merasakan penganiayaan yang cukup besar. Berdasarkan isu penganiayaan yang muncul dalam kitab ini, umumnya ada dua pendapat tentang pada era siapa penganiayaan tersebut terjadi, yakni era Kaisar Nero (sekitar tahun 54-68) dan era Kaisar Domitian (sekitar tahun 81-96). Ada indikasi bahwa jemaat penerima surat ini bukan merupakan generasi pertama. Maka tampaknya lebih condong kita menyimpulkan penganiayaan yang terjadi pada saat itu adalah pada masa kekaisaran Domitian. Di mana menurut catatan Sejarah bahwa di tahun 95, yang merupakan akhir dari masa jabatan kaisar Domitian banyak terjadi gelombang penganiayaan kepada orang-orang percaya. Penyembahan kepada kaisar adalah salah satu alasan yang kuat bagi tindakan penganiayaan. Dan melalui pasal 2:2, 14, kita menemukan bahwa gereja juga disusahkan oleh banyaknya guru dan ajaran sesat.

Situasi yang sulit dan menyakitkan tersebut, penulis surat ini merasa sangat berkepentingan untuk menanggapinya karena situasi ketertekanan dan lahirnya ajaran-ajaran sesat telah mempengaruhi beberapa orang percaya pada masa itu. Maka dapat disimpulkan bahwa kitab ini adalah sebuah penguatan/penghiburan sekaligus juga sebagai peringatan untuk antisipasi. Melalui 3 pasal pertama dalam kitab ini menunjukkan bahwa kitab ini ditujukan secara spesifik kepada tujuh jemaat yang ada di wilayah propinsi Asia (Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelpia dan Laodikia). Ketujuh jemaat ini merupakan perwakilan dari seluruh umat Kristen yang ada pada saat itu. Salah satu alasan memilih ketujuh kota ini karena ketujuh kota ini juga merupakan kota pusat informasi. Ketika kita membaca kitab ini yang ditujukan kepada 7 kota yang ada, kita menemukan seruan utamanya adalah tentang pertobatan, kesetiaan dan kehati-hatian/antisipasi. Jika kita berbicara tentang pertobatan, pikiran kita adalah kembali kepada Tuhan atau kembali ke jalan Tuhan.

Kepada jemaat di Sardis mencerminkan sifat Tuhan sebagai Maha tahu. Sebagai Tuhan yang Maha tahu, Dia dapat melihat situasi orang percaya pada saat itu:

  1. Tuhan mengetahui situasi mereka pada saat itu dengan memberikan analogi hidup tapi mati, yang artinya adalah secara kedagingan masih hidup tetapi hati/jiwa mati dengan bahasa yang lain pengharapan yang meredup (1).
  2. Mereka masih memiliki sisa keyakinan dan pengharapan kepada Tuhan (2).
  3. Mereka masih mengingat pengajaran-pengajaran tentang kebenaran Allah (3).

Situasi mereka yang digambarkan kepada kita memberikan informasi bahwa kehidupan orang percaya pada masa itu sudah ada yang meninggalkan keimanannya karena situasi tekanan dan pengajaran yang sesat. Sikap kerohanian orang percaya pada masa itu juga sudah tidak mencerminkan kehormatan kepada Allah. Perubahan sikap dalam kerohanian dan keseharian ini sangat mungkin disebabkan oleh gelombang penganiayaan serta ajaran sesat yang sedang mereka hadapi. Namun demikian, ada juga dari mereka yang masih mempertahankan keyakinannya dengan tidak mencemarkan pakaiannya. Penggunaan kata pakaiaan merupakan analogi sebuah pertobatan seperti yang selalu diungkapkan juga oleh Paulus dalam surat-suratnya. Pakaian lama adalah hidup dalam dosa dan pakaian baru adalah kehidupan yang baru dan benar di mata Tuhan (band. Ef 4:22-24; Kol 3:5-17 dll).

Penulis kitab Wahyu juga menjelaskan peringatan Allah bahwa orang yang mempertahankan pakaian yang putih (tetap dalam kebenaran) akan tetap mendapatkan perjanjian keselamatan (5) dan Yesus adalah sebagai jaminan keselamatan itu. Untuk mempertahankan perjanjian itu tentu membutuhkan mental kesetiaan iman dan hikmat untuk tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang salah.

Aplikasi

Bertobat dan berjaga-jagalah yang menjadi tema di minggu advent II ini mengajak kita untuk kembali kepada Allah dan tetap menjaga hati dan sikap dalam menghadapi tantangan-tantangan yang menghampiri kehidupan kita. Setiap kita manusia pasti pernah mengalami rasa takut, sedih, gelisah, marah dan putus asa. Di sisi yang lain, kita juga ditawarkan oleh dunia ini akan kenikmatan-kenikmatan atau solusi yang dapat menyesatkan. Sehingga kehidupan kita akan selalu berada di sekeliling ketakutan dan kegelisahan dunia.

Di dalam pembacaan I, nabi Yesaya berseru bahwa Tuhanlah yang mampu mengubah situasi kehidupan umatNya. Tuhanlah yang mampu menghibur umatNya dari kegelisahan dan ketakutan dunia. Khusus di Yesaya 35:2 dikatakan “seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Kemuliaan Libanon akan diberikan kepadanya, semarak Karmel dan Saron; mereka itu akan melihat kemuliaan Tuhan, semarak Allah kita.” Kita memandang yang tertuang dalam kitab Yesaya ini, bahwa Tuhan akan mengubah kegelisahan, ketakutan, rasa marah ke dalam situasi kedamaian, ketenangan. Kita akan bersorak-sorai dalam kedamaian dan kuat dalam tantangan (1-6). Tuhan akan mengubah rasa dukacita menjadi sukacita (7-10). Maka marilah kita tetap mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan. Karena Tuhan memiliki rahasi yang begitu indah di dalam semua yang kita alami.

Pdt. Irwanta Tarigan, S.Th

GBKP Rg. Banjarmasin

MINGGU 24 NOVEMBER 2024, KHOTBAH PENGKHOTBAH 7:1-8

Incovation :

Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu pada Mu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak dapat dilangkahinya, (Ayub 14 : 5)

Ogen :

Yohanes 14 : 27-31

Tema :

Tetap Mehuli Seh Pendungi/Tetap melakukan kebaikan Sampai Akhir

 

Pendahuluan

Bayangkan hidup kita sebagai sebuah buku yang setiap halamannya menggambarkan perjalanan hidup kita. Setiap babnya mewakili fase-fase yang kita lalui—masa muda yang penuh semangat, masa dewasa yang penuh tantangan, dan akhirnya, masa tua yang penuh refleksi. Di setiap halaman, kita dihadapkan pada pilihan: menulis kisah yang penuh dengan kebaikan dan kasih, atau sebaliknya. Namun, yang terpenting bukanlah bagaimana kita memulai cerita ini, tetapi bagaimana kita mengakhirinya. Akhir dari buku kehidupan kita akan menentukan bagaimana kita dikenang oleh sesama dan, lebih dari itu, bagaimana kita dinilai oleh Tuhan.

Isi

Invocatio yang diambil dari kitab Ayub 14:5 mengingatkan kita bahwa waktu kita di dunia ini sangat terbatas: "Jikalau hari-harinya sudah pasti, jumlah bulan-bulannya sudah diketahui oleh-Mu, dan batas-batasnya sudah Kautentukan, sehingga ia tidak dapat melampauinya." Ini adalah pengingat yang kuat bahwa setiap hari yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan. Seperti sebuah jam pasir, waktu kita terus mengalir, tidak bisa dihentikan atau diulang. Kesadaran akan keterbatasan waktu ini seharusnya mendorong kita untuk hidup dengan tujuan yang jelas dan memanfaatkan setiap momen untuk melakukan kebaikan. Teks ini secara eksplisit menyebutkan bahwa hari-hari manusia telah "pasti," bulan-bulannya telah "diketahui" oleh Tuhan, dan "batas-batasnya sudah Kautentukan." Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan konsep kedaulatan Tuhan atas kehidupan manusia, yang dalam konteks kitab Ayub, mempertegas keyakinan akan kedaulatan dan pengetahuan Tuhan yang melampaui pemahaman manusia. Ayub, yang mengalami penderitaan yang mendalam, menyadari bahwa hidupnya berada sepenuhnya dalam kendali Tuhan, termasuk panjang dan kualitas hidupnya. Ayat ini juga mengandung unsur teologis penting tentang ketidakterbatasan pengetahuan Tuhan, yang mengetahui "jumlah bulan-bulan" manusia dan telah menetapkan batas-batasnya, sebuah konsep yang mencerminkan atribut Allah yang mahatahu dan mahakuasa.

Dari segi tekstual, ayat ini merupakan bagian dari dialog Ayub dalam upayanya memahami penderitaan dan realitas kehidupan manusia yang fana. Ayub mengekspresikan ketidakberdayaan manusia di hadapan kebesaran dan ketetapan Tuhan. Dalam konteks sastra hikmat, teks ini menekankan aspek temporer kehidupan manusia dan kerapuhan eksistensi manusiawi. Ayat ini secara simbolis menyuarakan realitas kematian dan keterbatasan hidup manusia yang tak dapat dihindari, sebuah tema yang konsisten dalam kitab Ayub dan dalam literatur hikmat lainnya seperti Pengkhotbah. Selain itu, penggambaran ini berfungsi untuk menempatkan manusia pada posisi kerendahan hati di hadapan Tuhan. Dengan mengetahui bahwa Tuhan telah menetapkan batas waktu hidup kita, manusia diundang untuk menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan, menerima kenyataan bahwa hidup dan mati adalah dalam kendali-Nya. Kesadaran ini seharusnya menuntun manusia untuk hidup dengan makna dan tujuan, tidak menyia-nyiakan waktu yang diberikan, dan berfokus pada hal-hal yang bernilai kekal, seperti kasih, keadilan, dan hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama.

Sering kali, kita jatuh ke dalam perangkap menunda-nunda perbuatan baik, berpikir bahwa masih ada banyak waktu di depan kita. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kita masih memiliki waktu itu? Seperti seorang pemuda yang baru menyadari bahwa baterai hidupnya hampir habis, kita juga harus menyadari bahwa kita tidak bisa terus menunda. Waktu kita terbatas, dan setiap hari adalah kesempatan baru untuk menulis bab yang lebih baik dalam buku kehidupan kita.

Dalam bacaan Yohanes 14:27-31, Yesus memberikan janji damai sejahtera-Nya kepada para murid sebelum Dia pergi untuk disalibkan: "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu." Damai sejahtera ini adalah sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh dunia, sebuah kedamaian yang melampaui keadaan duniawi. Yesus tahu bahwa para murid-Nya akan menghadapi banyak tantangan setelah kepergian-Nya, namun Dia ingin mereka tahu bahwa mereka tidak perlu takut. Damai sejahtera dari Kristus adalah fondasi yang kokoh, yang memungkinkan kita untuk tetap melakukan kebaikan meskipun dunia di sekitar kita penuh dengan kekacauan dan ketidakpastian.

Teks khotbah diambil dari kitab Pengkhotbah 7:1-8. Kitab Pengkhotbah dikenal sebagai salah satu kitab kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama yang sering kali mencerminkan pandangan pesimistis terhadap kehidupan, namun juga menawarkan hikmat praktis untuk hidup yang bermakna. Penulisnya, yang sering disebut sebagai "Pengkhotbah" atau "Qohelet," dianggap sebagai figur bijak yang merenungkan arti kehidupan, keberadaan manusia, dan kekuatan kebijaksanaan dibandingkan dengan kesia-siaan duniawi. Ayat-ayat dalam Pengkhotbah 7:1-8 merupakan bagian dari nasihat hikmat yang kontras dengan nilai-nilai duniawi. Teks ini menggunakan struktur yang mengontraskan antara hal-hal yang terlihat baik di permukaan dengan hal-hal yang lebih baik dalam hikmat Tuhan. Misalnya, "nama yang baik" dibandingkan dengan "minyak yang mahal" (ay. 1) dan "hari kematian" dibandingkan dengan "hari kelahiran." Tema kematian dan penderitaan di dalam pasal ini menekankan keseriusan hidup dan mengarahkan pembaca untuk mencari kebijaksanaan yang melebihi kesenangan sementara. Dalam konteks budaya Israel kuno, nama baik (reputasi) sangat dihargai, lebih dari kekayaan material. Minyak mahal adalah simbol status, namun nama baik menunjukkan integritas moral yang lebih berharga. Pandangan tentang hari kematian yang lebih baik daripada hari kelahiran mungkin terkait dengan keyakinan tentang ketenangan setelah kehidupan yang penuh tantangan di dunia ini.

Ayat 1: "Nama yang baik lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran." Di sini, kita melihat kontras antara reputasi atau integritas moral (nama yang baik) dan kemewahan material (minyak yang mahal). Hari kematian dianggap lebih baik karena mengakhiri penderitaan dunia dan menuntun pada perenungan kehidupan dan maknanya.

Ayat 2-4: Menekankan nilai refleksi dan introspeksi yang seringkali diilhami oleh kesedihan dan dukacita. Rumah perkabungan lebih baik daripada rumah pesta karena itu memicu pemikiran serius tentang kehidupan. Kesedihan dianggap lebih baik daripada tawa karena menghasilkan hati yang murni.

Ayat 5-6: Hikmat lebih baik daripada kebodohan. Mendengar teguran orang bijak lebih baik daripada mendengar nyanyian orang bodoh. Ini menekankan bahwa pembelajaran dari kritik dan teguran bijak lebih bermanfaat daripada mencari hiburan tanpa arti.

Ayat 7-8: Ayat-ayat ini berbicara tentang dampak dari tekanan dan penyuapan yang dapat menghancurkan kebijaksanaan seseorang. Sabar lebih baik daripada sombong, dan akhir sesuatu lebih baik daripada permulaannya, menunjukkan pentingnya ketekunan dan ketahanan.

Bayangkan kita sedang mengalami hari yang sangat berat, di mana segala sesuatu tampak salah. Namun, di tengah kekacauan itu, kita merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Itulah damai sejahtera dari Kristus, yang memberi kita kekuatan untuk terus berbuat baik di tengah badai kehidupan. Damai ini bukan berarti kita bebas dari masalah, tetapi merupakan jaminan bahwa Tuhan bersama kita dalam menghadapi setiap tantangan. Dengan damai ini, kita dapat terus melakukan kebaikan, meski keadaan di sekitar kita tidak ideal.

Pengkhotbah 7:1-8 mengajarkan kita bahwa akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya: "Akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya." Dalam hidup ini, kita sering kali terlalu fokus pada bagaimana kita memulai sesuatu, namun Firman Tuhan mengajarkan bahwa yang paling penting adalah bagaimana kita mengakhirinya. Hidup kita bagaikan sebuah film; yang diingat orang bukanlah bagaimana film itu dimulai, tetapi bagaimana ia berakhir. Kita ingin akhir hidup kita menjadi sesuatu yang dikenang dengan baik—sebuah akhir yang penuh kebaikan dan iman yang teguh.

Pernahkah Anda membeli sepatu baru? Hari pertama mengenakannya, rasanya luar biasa—nyaman, modis, dan membuat kita merasa percaya diri. Namun, setelah beberapa minggu, mungkin ada bagian yang mulai menggosok kulit kita, dan kita tergoda untuk kembali mengenakan sepatu lama yang lebih nyaman. Begitu juga dengan kebaikan. Pada awalnya, kita mungkin bersemangat untuk melakukan kebaikan, tetapi ketika tantangan datang, kita mudah tergoda untuk kembali ke cara hidup lama yang lebih nyaman. Sepatu lama mungkin nyaman, tetapi sepatu baru yang sedang kita sesuaikan adalah jalan menuju pertumbuhan dan kesempurnaan. Seiring waktu, sepatu baru itu akan semakin nyaman dan membawa kita ke tempat yang lebih baik. Demikian pula, kebaikan yang kita lakukan mungkin terasa sulit pada awalnya, tetapi dengan ketekunan, kebaikan itu akan menjadi bagian dari diri kita.

Sering kali, tantangan terbesar dalam menjaga konsistensi bukanlah godaan besar, tetapi rutinitas sehari-hari. Rutinitas bisa menjadi medan pertempuran yang sulit karena kita terbiasa dengan monoton dan kehilangan kesadaran akan tujuan kita. Kita menjadi seperti mesin yang hanya berjalan otomatis, tanpa benar-benar menyadari mengapa kita melakukan sesuatu. Di sinilah pentingnya untuk selalu mengingat tujuan kita—yakni untuk memuliakan Tuhan dan membawa berkat bagi orang lain. Seperti yang dikatakan oleh C.S. Lewis, "Hari-hari kita sering kali seperti roda gigi yang berputar-putar, kita harus mengingatkan diri sendiri untuk menjaga mesin tetap berjalan dengan baik, bukan hanya dengan melakukan tugas-tugas rutin, tetapi dengan mengingat mengapa kita melakukannya."

Godaan untuk menyerah biasanya muncul ketika kita merasa usaha kita tidak dihargai atau tidak membuahkan hasil yang kita harapkan. Saat inilah kita perlu mengingat bahwa hasil dari setiap perbuatan baik tidak selalu terlihat segera. Ada sebuah kisah tentang seorang tukang kebun yang dengan penuh dedikasi merawat kebunnya. Setiap hari dia menyirami tanaman, memberi pupuk, dan membersihkan gulma. Namun, bertahun-tahun berlalu tanpa ada bunga yang bermekaran. Suatu hari, saat dia hampir putus asa dan berpikir untuk berhenti, dia melihat tunas kecil muncul dari tanah. Seminggu kemudian, bunga-bunga indah mulai bermekaran di seluruh kebun. Kisah ini mengingatkan kita bahwa hasil dari kebaikan yang kita tanam mungkin tidak segera terlihat. Namun, dengan kesabaran dan konsistensi, kita akan melihat bahwa usaha kita tidak pernah sia-sia. Tuhan bekerja dengan cara yang tidak selalu kita pahami, dan tugas kita adalah tetap setia dalam melakukan bagian kita.

Penutup

Kehidupan ini adalah perjalanan yang harus kita selesaikan dengan baik. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk tetap setia dalam melakukan kebaikan hingga akhir hidup kita. Kesadaran akan keterbatasan waktu harus mendorong kita untuk hidup dengan tujuan yang jelas dan penuh makna. Damai sejahtera dari Kristus menjadi penghiburan dan kekuatan kita dalam menghadapi setiap tantangan, dan kita diingatkan bahwa akhir yang baik adalah yang paling penting. Mari kita terus berjalan dalam kebaikan, tidak hanya untuk dikenang oleh manusia, tetapi untuk menerima upah kekal dari Tuhan. Semoga hidup kita menjadi cerminan dari kasih Kristus, nama kita menjadi harum di hadapan Tuhan dan sesama, dan warisan kita adalah tindakan kebaikan yang membawa berkat bagi banyak orang. Tetaplah melakukan kebaikan sampai akhir, karena itulah yang Tuhan kehendaki dari hidup kita. Dalam setiap bab yang kita tulis dalam buku kehidupan kita, kiranya setiap halaman dipenuhi dengan kebaikan, kasih, dan iman yang teguh hingga akhir.

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD