JUMAT 18 APRIL 2025, KHOTBAH MARKUS 15:33-41

Invocatio :

“Jenari ibebasken Pilatus si Barnabas, tapi Jesus isuruhna iligasi perajurit dingen iendeskenna pe gelah ipakuken ku kayu persilang (Mat. 27:26)

Ogen :  Jesaya 53:3-5

Khotbah  :

Markus 15:33-41

Tema :

Turin-turin Kematen Jesus

 

I. Pengantar Kitab

Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus, Injil Markus merupakan salah satu dari Injil Sinoptik. “Injil Sinoptik banyak menggunakan tradisi Yahudi mengenai Mesias dan karakter eskatologis lainnya. Penulis Injil Sinoptik salah satunya ialah Markus. Markus sebagai penulis Injil sinoptik mau menunjukkan bahwa Yesus mengisi peran yang lebih besar yaitu peran sebagai Tuhan itu sendiri. Yesus mengambil peran Tuhan dengan memenuhi nubuat Perjanjian Lama yang berhubungan dengan kedatangan Tuhan ke bumi. Dia datang sebagai Hamba karena Dia adalah Mesias yang datang menderita dalam ketaatan kepada Tuhan. Sebagai Anak Allah, Dia adalah Hamba Allah dan setara dengan Tuhan.

Injil Markus merupakan salah satu Injil Sinoptik yang ditulis oleh Yohanes Markus dengan tuntunan Roh Kudus. Injil Markus ditulis dengan tujuan yaitu memperkenalkan Yesus sebagai “Anak Allah” (Mrk. 1:1). Yohanes Markus adalah seorang percaya yang merupakan anak dari Maria dan keponakan dari Barnabas (Kol. 4:10). Markus sendiri ikut di dalam pelayanan bersama Paulus dan juga Barnabas dan menghiasi sebagian kisah dalam Kisah Para Rasul (Kis. 12-13).

Perikop Mrk 15:33-39 merupakan pusat dan puncak seluruh rangkaian peristiwa penderitaan, kematian, dan pemakaman Yesus. Perikop sebelumnya Mrk 15:20-32 melukiskan proses penyaliban Yesus sementara perikop sesudahnya Mrk 15:40-47 menceritakan proses penguburan Yesus. Perikop Mrk 15:33-39 yang melukiskan saat Yesus sekarat disertai oleh dua tanda supranatural, yakni kegelapan meliputi seluruh bumi (15:33) dan terkoyaknya tabir Bait Suci (15:38). Perikop ini ditutup dengan pengakuan iman dari perwira Romawi (15:39).

II. Penjelasan Teks Khotbah dalam khotbah

Jemaat yang terkasih dalam Yesus Kristus,

Dalam Injil Markus, Yesus dilukiskan sebagai Orang Benar yang Menderita sehingga Penderitaan-Kematian-Pemuliaan merupakan pola penting dalam Injilnya. Untuk mempersiapkan pemahaman jemaat melalui khotbah Jumat Si Mbelin dengan suatu harapan akan pemuliaan Yesus melalui kebangkitan, Penginjil Markus menyatakan beberapa indikator mengenai penderitaan dan kematian Yesus sendiri. Pertama, dalam Injil Markus, tiga pemberitahuan tentang sengsara Yesus dan kebangkitan-Nya berada di pusat Injil (Mrk 8:31; 9:31; 10:33-34). Ketiga kutipan ini mempunyai alur cerita yang sama, yakni penolakan, kematian, dan pembenaran. Dengan menggunakan istilah “Anak Manusia”, Penginjil Markus menyatakan Yesus sebagai sosok yang taat dan penuh kepercayaan di tengah penganiayaan dengan berharap akan pembenaran di masa depan. Pemberitahuan kedua didahului oleh peristiwa transfigurasi yang di dalamnya terjadi pembicaraan tentang penderitaan dan kebangkitan Anak Manusia. Pemberitahuan ketiga menekankan bahwa penderitaan dan kebangkitan Yesus merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Kedua, pernyataan fakta dalam Mrk 9:9-13 mengenai kebangkitan Anak Manusia. Ketiga, peristiwa transfigurasi merupakan pemberitahuan kebangkitan Yesus. Referensi lain tentang kematian dan kebangkitan Yesus adalah perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur yang menyatakan adanya relasi yang tak terpisahkan antara penolakan atau kematian dan pembenaran atau kebangkitan. Dalam perjamuan terakhir, Yesus menyatakan bahwa Ia akan cepat meninggal dan mengalami kebangkitan sehingga dapat meminum anggur yang baru dalam Kerajaan Allah. Di tengah narasi tentang penderitaan Yesus, Penginjil Markus menunjukkan bahwa Yesus akan dimuliakan hingga di sebelah kanan Allah.

       Jemaat yang diberkati Tuhan, guna memahami secara mendalam, kita akan menelusuri kronologi kejadian mengenai kematian Yesus menurut Injil Markus 15:33-41 ini:

  1. Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh negeri itu dan berlangsung sampai jam tiga.

“Jam dua belas”, saat sinar matahari yang paling terang dalam suatu hari, justru kegelapan meliputi seluruh negeri. Luasnya kegelapan tersebut bisa hanya tanah Yudea tetapi juga seluruh bumi. Dalam terang kisah biblis, kegelapan menyiratkan penghakiman ilahi sedang menimpa bumi dan kedatangan hari TUHAN, hari pengadilan dan penghukuman. Oleh sebab itu, kegelapan ini menekankan dimensi eskatologis dan kosmik dari penderitaan Yesus di atas salib.[1] Menurut Eusebius[2], kegelapan itu melambangkan kegelapan pikiran dari orang yang tidak membiarkan terang Injil menerangi hati mereka. Dan juga dari kegelapan itu, Kristus bangkit supaya mereka yang duduk dalam kegelapan dan bayangan kematian melihat cahaya-Nya. [3]

  1. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” yang berarti: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?

Seruan Yesus dikutip dari Mzm 22:2[4] merupakan satu-satunya perkataan Yesus dari salib yang dicatat oleh Penginjil Markus. Kata “berseru” menyatakan penderitaan fisik hebat serta perjuangan Yesus dalam melawan kuasa kejahatan. “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” adalah seruan Yesus dalam bahasa Aram yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari di Yudea masa itu. Seruan itu sama arti dengan “Eli, Eli, lama sabakhtani?” dalam Injil Matius. Seruan tersebut disalahtafsirkan oleh para prajurit karena dua kemungkinan, yakni kebiasaan orang Yahudi memanggil Nabi Elia saat mengalami penderitaan yang mengerikan atau seruan Yesus diucapkan Mzm 22 secara utuh sehingga terdapat kata “Eli atta” (Engkaulah Allahku) yang mirip dengan “Elijja ta” (Elia datanglah). Sementara itu, kata “mengapa” adalah pernyataan dari seorang yang telah mengalami kedalaman jurang dan merasa diselimuti kuasa kegelapan. Namun di sini Yesus tidak menanyakan ketidakberadaan Allah atau kekuasaan-Nya, tetapi kebisuan dari Yang Dia panggil “Allahku.” Sebelumnya Yesus selalu berdoa dan mengarahkannya kepada “Bapa” maka sapaan “Allahku” menunjukkan bahwa Yesus berdoa dalam peran sebagai perwakilan seluruh umat manusia apalagi kata “Allahku” pun menyiratkan kepercayaan. Oleh sebab itu, doa Yesus ini pasti tidak mengekspresikan keputusasaan-Nya karena Yesus mengekspresikan perasaan yang bukan dari diri-Nya melainkan dari semua pendosa atau semua orang Yahudi. Selain itu, keputusasaan merupakan dosa berat padahal Yesus tidak berdosa. Di sisi lain, Penginjil Markus pasti tidak menyiratkan penolakan Allah, karena langsung setelah doa Yesus diperlihatkan pengakuan akan Yesus sebagai Anak Allah (Mrk 15:39). Jadi Yesus berseru dan berharap agar Allah menghancurkan keterasingan yang telah Ia rasakan.

35 Mendengar itu, beberapa orang yang berdiri di situ berkata, “Lihat, Ia memanggil Elia.” 36 Bergegaslah seseorang mencelupkan bunga karang ke dalam anggur asam lalu melilitkannya pada sebatang buluh dan memberi Yesus minum serta berkata, “Baiklah kita tunggu dan lihat apakah Elia datang untuk menurunkan Dia.”

Menurut tradisi Yahudi, Nabi Elia adalah seorang tokoh eskatologis yang akan datang untuk mempersiapkan penyelamatan orang-orang benar. Dalam konteks Injil Markus, Nabi Elia telah dua kali berperan sebagai pendahulu Mesias (Mrk 1:2; 9:9-13). Ia menemui kematiannya karena kesetiaannya kepada Tuhan. Jadi faktor penting berkaitan dengan Nabi Elia ialah kedatangannya sesuai dengan kejadian apokaliptik seputar kematian Yesus. Sementara itu, “anggur asam” mengumandangkan tindakan pengolokan dari musuh (bdk. Mzm 69:22). Tindakan “menunggu Elia datang” bila dilihat dalam penekanan Injil Markus pada permusuhan orang-orang di sekitar maka merupakan ejekan dan perlawanan terhadap Yesus

37 Yesus berseru dengan suara nyaring dan menghembuskan napas terakhir.

Yesus tergantung di salib dengan kesadaran hingga nafas terakhir dan menjelang kematian-Nya seruan tidak jelas keluar dari tenggorokan-Nya. Kuatnya seruan tersebut menunjukkan bahwa Ia tidak mati seperti kematian biasanya dari orang-orang yang disalib. Seperti penginjil yang lain, Penginjil Markus tidak menggunakan kata “mati” melainkan “menghembuskan nafas terakhir” atau “menyerahkan nyawa.” Maka jelaslah Yesus menyerahkan roh-Nya kepada Bapa sebab Yesus mempunyai kuasa dan dengan bebas menyerahkannya. Menurut St. Agustinus, Putra Allah dengan bebas menerima tubuh manusia, menjadi manusia dan hidup dalam sejarah manusia karena kehendak-Nya, pasti Ia meninggalkan tubuh fana juga sesuai kehendak-Nya. Kematian Yesus berbeda dengan kematian orang pada umumnya dalam dua hal. Kematian itu sesuai dengan kehendak-Nya, yakni mati bagi kita (lih. Mrk 8:31; 10:45; 14:24); dan kematian bukanlah utangnya terhadap dosa, melainkan kenyataan yang harus Ia terima. Makna kematian-Nya menjadi jelas hanya dari sudut pandang kemenangan kebangkitan yang menandai pembenaran-Nya dan menunjukkan bahwa kematian tidak mempunyai hak atas diri-Nya.

38 Terkoyaklah tabir Bait Suci menjadi dua dari atas sampai ke bawah.

Kuasa Yesus diperlihatkan dalam peristiwa tabir Bait Suci terkoyak menjadi dua akibat kematian-Nya. Seruan kematian dan terkoyaknya tabir Bait Suci merupakan satu tindakan yang melawan semua tuduhan dan ejekan sebelumnya. Dalam Bait Suci, terdapat tempat Mahakudus, tempat kehadiran Allah di tengah bangsa Yahudi. Melalui terkoyaknya tabir Bait Suci, Allah merespons untuk membela Yesus yang tidak ditinggalkan-Nya serta menyatakan kemurkaan-Nya kepada para imam kepala dan Mahkamah Agama yang telah menetapkan hukuman mati bagi Anak Allah. Kata “terkoyak” (terbelah dua) hanya digunakan sekali saja sebelumnya, yakni ketika pembaptisan Yesus dengan makna penghapusan penghalang antara langit dan bumi. Kesejajaran tersebut menunjukkan bahwa dalam kematian, identitas Yesus yang sesungguhnya dinyatakan, secara khusus saat pengakuan perwira. Terkoyaknya tabir juga merupakan tanda tentang penghancuran tuntas Bait Suci yang akan terjadi di kemudian hari. Tindakan penolakan Yesus membuat Bait Suci tidak berfungsi lagi dan Allah telah meninggalkan Bait Suci. (band. Kel. 26;31-33).

39 Ketika kepala pasukan yang berdiri berhadapan dengan-Nya melihat Dia menghembuskan napas terakhir seperti itu, berkatalah ia, “Sungguh, orang ini Anak Allah!”

Dalam konteks Injil Markus, perwira itu beraksi tidak hanya terhadap kematian Yesus di kayu salib, tetapi juga terhadap tanda terkoyaknya tabir Bait Suci. Menurut Raymond E. Brown, masuk akal bagi para pembaca bahwa tanda yang luar biasa ini menuntunnya untuk memahami bahwa Yesus bukan hanya tidak bersalah tetapi juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Allah.[5] Selain itu, kekuatan Yesus menjelang kematian-Nya sungguh luar biasa, sehingga perwira itu secara spontan mengakui martabat ilahi Yesus. Pengakuan ini tidak bisa dilepaskan dari cara Yesus meninggal. Pengakuan akan Yesus sebagai Anak Allah merupakan pengakuan iman sejati yang menggemakan Mrk 1:1. Kematian Yesus di kayu salib menjadi puncak pengungkapan identitas-Nya sebagai Mesias Menderita dan Anak Allah. Pengakuan perwira mengesahkan pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk 8:29). Di sini, Penginjil Markus menjadikan perwira Romawi sebagai perwakilan dari kekristenan non-Yahudi yang memandang pentingnya Yesus sebagai Anak Allah terutama orang Kristen di Roma di mana masa itu gelar “anak Allah” digunakan untuk penguasa Romawi yang di sembahkan dalam kultus negara.

  1. Ada juga beberapa Perempuan yang melihat dari jauh, diantaranya Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus muda dan Yoses, serta Salome. 41. Mereka semuanya telah mengikut Yesus dan melayani-Nya waktu Ia di Galilea. Dan ada juga di situ banyak Perempuan lain yang telah dating ke Yerusalem Bersama-sama dengan Yesus.

Banyak perempuan lain yang mengikut Yesus dengan setia, berharap bahwa Ia akan menyatakan kemuliaan-Nya, dan mendukung orang-orang benar yang sedang bergumul menghadapi ketidakadilan. Sekarang, mereka sendiri melihat bahwa Yesus terluka parah. Mereka mendengar suara palu yang memaku Yesus ke kayu salib, dan mendengar perkataan-Nya di atas kayu salib itu. Namun, mereka tetap tidak melarikan diri. Kalau mereka bukan pemberani, mereka tidak akan membiarkan diri mereka terancam bahaya dengan tetap berada di dekat kayu salib. Kita tidak tahu banyak mengenai detail dari kematian Yesus, tetapi para perempuan itu menjadi saksi dan pemberita yang layak mendapat pujian. Kemungkinan besar, perwira pasukan itulah yang membiarkan mereka untuk tetap berada di sana, karena ia tidak khawatir bahwa para perempuan itu akan merampas tubuh Yesus dan menurunkannya dari kayu salib, karena mereka justru sedang berdiri dalam keadaan gemetar sambil menangis di bukit Golgota itu, setelah para imam dan tua-tua bangsa itu meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Kasih yang besar dari para perempuan itu adalah kasih yang sangat tulus, dan didasari oleh ucapan syukur kepada-Nya yang sudah menyelamatkan mereka dari Iblis, dan kasih itulah yang mencegah mereka meninggalkan tempat itu. Mereka berdoa, menangis dan mendengar semua perkataan yang diucapkan-Nya. Panasnya cuaca di sana membuat bibir mereka menjadi kering, kegelapan yang meliputi tempat itu membuat mereka ketakutan, tetapi mereka tetap berdiri di sana, dan tetap berada di dekat kayu salib sampai kepada akhirnya.

Relasi teks dengan Jesaya 53:3-5

Secara satu kesatuan yang utuh dalam penglihatan Jesaya tampak di Jesaya 52:13-53:12. Hanya saja bacaan Ogen kita kali ini dibatasi dengan Jesaya 53:3-5. Keselamatan sebagai pembebasan dari kejahatan berhubungan erat dengan masalah penderitaan dan pembebasan ini harus dilaksanakan oleh Putra Allah yang Tunggal lewat penderitaan-Nya. Dengan demikian, kasih Putra dan Bapa terhadap manusia dan dunia menjadi kasih yang menyelamatkan. Sebagai Mesias, Kristus mendekati dunia penderitaan umat manusia. Ia peka terhadap setiap penderitaan manusia yang jasmaniah maupun rohaniah. Selama hidup-Nya di dunia, Ia telah mengenakan segala jenis penderitaan manusia pada diri-Nya sendiri. “Empat Nyanyian tentang Hamba yang Menderita” dalam Kitab Nabi Yesaya tergenapi dalam diri Yesus Kristus secara khusus dalam kesengsaraan dan kematian-Nya. Dalam Kitab Nabi Yesaya mengenai hamba yang menderita ditemukan makna sangat mendalam terkait pengorbanan Kristus. Penderitaan Kristus menunjukkan segi manusiawi, tetapi tetap unik dalam sejarah manusia karena terkandung kedalaman dan intensitas yang tidak dapat dibandingkan. Keunikannya disebabkan oleh subjek yang ilahi-manusiawi dan penderitaan Allah-manusia.

III. Kesimpulan

Jemaat yang dikasihi Tuhan,

Jacques Philippe dalam bukunya yang berjudul “La Liberté intérieune” (Kebebasan Batin) telah menguraikan kebebasan yang sesungguhnya dan caranya memperoleh kebebasan batin ini dalam berbagai situasi hidup, termasuk penderitaan. Menurut Jacques Philippe, Yesus menjadi teladan kita dalam menghadapi penderitaan. Ia dengan sukarela menerima kesengsaraan dan kematian.[6] Meskipun demikian, kejahatan tidak dapat menjamah dan masuk ke dalam diri-Nya sebab hati-Nya selalu dipenuhi oleh kepercayaan, pengharapan, dan cinta kasih kepada Allah Bapa. Dalam situasi yang sama, seseorang dapat memilih penderitaan dan bukan hanya menanggungnya. Hal ini tidak bermaksud menyukai penderitaan, tetapi menerima penderitaan yang terjadi dengan kebebasan batin. Kebebasan memiliki kekuasaan yang absolut, yakni mengubah penderitaan menjadi kurban persembahan. Dari luar, tidak ada perbedaan, namun di dalamnya terjadi perubahan yang besar: takdir menjadi pilihan, paksaan menjadi cinta, kehilangan menjadi kelimpahan.

Salah satu anugerah istimewa yang Santo Fransiskus dari Assisi gambarkan sebagai pencerahan dalam khotbah ini adalah tanda keserupaan Yesus. Karena dia selalu mengidentifikasi diri dengan Kristus, khususnya dalam penderitaan-Nya. Sukacita Fransiskus tidak pernah dipisahkan dari penderitaan. Dia berasumsi bahwa penderitaan di dunia tidak bisa dihindari karena penderitaan itu mengikatnya dengan dunia, di satu sisi, dan Kristus, di sisi lain. Jemaat GBKP menghidupi penderitaan dan kematianNya dengan pemahaman bahwa Yesus menjadi penganti orang berdosa dan menjadi kutuk bagi orang berdosa (Gal 3:13). Yesus Kristus bersedia mengambil tempat orang berdosa yang bersalah dan menanggung hukuman dosa, supaya orang berdosa yang percaya kepada-Nya tidak hanya akan diampuni dan disucikan dari kesalahannya dan penghukumannnya, melainkan dalam Dia kita memperoleh pembenaran dari Allah (II Kor.5:21). Serta memahami penderitaan sebagai wujud keikut sertraan kita mengambil bagian dari penderitaan Yesus (1 Pet. 2:21-23; 1 Pet. 3:17;1 Pet.4:12-19).

Pdt. Anton Keliat, S. Th, MAP

Runggun Bandung Timur

 

[1] John R. Donahue dan Daniel J. Harrington, The Gospel of Mark (Minnesota: The Liturgical Press, 2002), hlm. 450.

[2] Eusebius dari Kaisarea dikenal juga sebagai Eusebius dari Pamfilia. Ia adalah seorang sejarawan Roma yang menjadi uskup di Kaisarea, Palestina. Ia sering disebut sebagai bapak sejarah gereja karena tulisan-tulisan yang ia buat mengenai sejarah gereja mula-mula.

[3] Thomas C. Oden dan Christopher A. Hall (ed.), Mark, dalam Thomas C. Oden (ed.) Ancient Christian Commentary on Scripture: New Testament, vol. II (Illinois: InterVarsity, 1998), hlm. 233.

[4] Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tapai Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.

[5] Raymond E. Brown, The Death of The Messiah, vol. II (New York: Doubleday, 1994), hlm. 1035-1036.

[6] Jacques Philippe, La Liberté Intérieure, Mei, 2004), hlm. 62-95.

 

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD