KAMIS 06 APRIL 2023, KHOTBAH YOHANES 13:12-17 (KAMIS PUTIH)
Invocatio:
1 Petrus 2:21
Bacaan:
Markus 14:22-26
Khotbah:
Yohanes 13:12-17
Thema:
Yesus Jadi Teladan
I. Pendahuluan
Perayaan hari Kamis Putih adalah hari raya terakhir sebelum Triduum, yaitu Trihari Paskah yang meliputi: Kamis Putih-Jumat Agung-Sabtu Sunyi-Paskah. Dengan demikian, liturgi Kamis Putih merupakan penutup masa Prapaskah. Dalam liturgi Kamis Putih, gereja merayakan Perjamuan Malam Terakhir yang dilakukan Yesus bersama para muridNya dengan terlebih dahulu membasuh kaki para muridNya.
II. Isi
Menjelang kematian yang telah diketahuiNya, dan juga mengetahui siapa orang yang akan mengkhianatiNya, Tuhan Yesus justru memberikan ungkapan kasih dengan cara spektakuler. Dia bersedia memposisikan diriNya sebagai seorang hamba yang pada zaman itu harus membersihkan kaki tuan dan para tamunya dengan cara membasuh dengan air lalu menyeka dengan kain di pinggangnya. Untuk melakukan tugas itu, Tuhan Yesus harus bersedia berlutut, menempatkan diriNya di bawah kaki para muridNya, dan membasuh kaki dengan air serta menyekanya dengan kain yang terikat di pinggangnya. Jadi menurut Injil Yohanes, peristiwa perjamuan malam terakhir diawali dengan tindakan Tuhan Yesus dengan terlebih dahulu merendahkan diriNya dengan cara membasuh kaki para muridNya. Dia yang adalah Tuhan dan Guru bersedia memposisikan diriNya sebagai seorang hamba.
Setelah Tuhan Yesus membasuh kaki para murid, Dia berkata, “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan” (Yoh. 13:13). Sangat menarik bahwa gelar Yesus sebagai Guru dan Tuhan dikaitkan dengan tindakan merendahkan diri dan kesediaan untuk melayani sebagai seorang hamba. Dalam Yohanes 13:14, Tuhan Yesus berkata, “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu”. Kepemimpinan yang diteladankan oleh Tuhan Yesus adalah pola kepemimpinan yang menghamba. Makna sebagai “Guru” dan “Tuhan” ditempatkan Tuhan Yesus sebagai suatu jabatan yang sifatnya fungsional, bukan sekadar suatu status atau kedudukan belaka. Bahkan, makna fungsional sebagai pemimpin tersebut akan menjadi efektif saat seseorang pemimpin sungguh-sungguh tulus mempraktikkan karakter seorang yang bersedia menghamba dan melayani sesamanya. Sayangnya, sikap keteladanan Tuhan Yesus itu sering hanya dihayati sebagai peristiwa ritual liturgis belaka. Umumnya, pada hari Kamis Putih beberapa gereja melaksanakan upacara pembasuhan kaki, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, anggota jemaat tersebut kembali memperlihatkan sikap superioritas, merasa diri sangat penting atau arogan, yaitu dengan cara berlaku sewenang-wenang, menindas dan bersikap kasar kepada sesama yang dianggap lebih lemah.
Marilah kita melihat apa yang dilakukan Yesus dalam Markus 14:22-26 yang menjadi bahan bacaan ini dan apa yang ditekankan Yesus kepada para muridNya. Lebih dari satu kali kita melihat bahwa para nabi Israel terpaksa melakukan tindakan-tindakan simbolik dan dramatik bila mereka merasa bahwa kata-kata saja tidak cukup. Seakan-akan perkataan itu merupakan sesuatu yang mudah dilupakan, sedangkan tindakan dramatik akan terukir terus dalam ingatan. Itulah yang dilakukan Yesus, dan Ia menghubungkan tindakan dramatik itu dengan perayaan kuno masyarakatNya sehingga akan lebih terukir lagi dalam pikiran para muridNya. Katanya, “Lihat! Sama seperti roti ini dipecah-pecahkan, demikianlah tubuhKu dipecah-pecahkan bagi kalian! Sama seperti cawan anggur merah ini ditumpahkan, demikianlah darahKu ditumpahkan bagi kalian”.
Apa yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengatakan bahwa cawan itu melambangkan perjanjian yang baru? Kata “perjanjian” adalah kata umum dalam agama Yahudi. Dasar dari agama Yahudi adalah bahwa Allah telah masuk ke dalam suatu ikatan perjanjian dengan bangsa Israel. Penerimaan perjanjian lama dinyatakan dalam Keluaran 24:3-8; dari teks tersebut kita melihat bahwa perjanjian itu sepenuhnya bergantung pada kesetiaan Israel mematuhi hukum Jika hukum dilanggar, perjanjian itu putus dan hubungan antara Allah dan bangsa itu berantakan. Hubungan itu sepenuhnya bergantung pada hukum dan pada kesetiaan terhadap hukum. Allah adalah Hakim. Karena tak ada seorang pun yang bisa mematuhi hukum itu sepenuhnya, manusia selalu saja gagal. Namun, Yesus berkata, “Aku memperkenalkan dan mengesahkan suatu perjanjian yang baru, suatu hubungan yang baru antara Allah dan manusia. Hubungan itu tidak bergantung pada hukum, tetapi pada darah yang Aku akan curahkan”. Yang dimaksud di sini adalah bahwa hubungan itu bergantung pada kasih semata-mata. Hubungan baru adalah hubungan antara Allah dan manusia yang bergantung bukan pada hukum, melainkan kasih. Dengan kata lain, Yesus mengatakan, “Aku melakukan apa yang Aku lakukan untuk menunjukkan kepada kalian betapa Allah mengasihi kalian”. Manusia tidak lagi berada semata-mata di bawah hukum Allah. Karena apa yang telah Yesus lakukan, manusia untuk selamanya berada di dalam kasih Allah. Itulah hakikat dari apa yang mau disampaikan oleh sakramen itu kepada kita.
III. Refleksi
Saling membasuh kaki bukanlah tindakan yang terjadi sekali-kali atau minimal setahun sekali menjelang hari Jumat Agung dan Paskah, melainkan seharusnya merupakan spiritualitas dan pola hidup orang percaya. Saling membasuh kaki merupakan ekspresi dari spiritualitas pengosongan diri. Dengan spiritualitas itu, kita akan selalu berusaha melayani orang lain dengan rasa hormat, penuh penghargaan, dan kasih sebagaimana yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus. Kita melakukan spiritualitas pengosongan diri karena Kristus telah terlebih dahulu membasuh, menguduskan, dan memurnikan hati kita; sehingga kita dimampukan untuk melakukan kasih yang mau melayani dan berkorban bagi orang lain. Spiritualitas pengosongan diri merupakan suatu kekuatan iman yang telah dianugerahkan Tuhan sehingga kita dimampukan untuk menaklukkan segala keinginan diri, ambisi, keserakahan, dan haus sanjungan, serta perasaan sebagai orang penting. Spiritualitas pengosongan diri tidak pernah memberi celah untuk merasa diri lebih berjasa, lebih senior dan lebih penting. Semua anggapan dan perasaan tersebut harus dibuktikan secara fungsional dan konkret dalam sikap yang mau menghamba. Mungkin dahulu kita pernah berjasa, tetapi apakah kini kita tetap mau mengabdikan diri dengan segenap hati dan makin tulus? Mungkin kita sekarang seorang senior, tetapi apakah saat ini kita mampu memperlihatkan kedewasaan, kematangan, dan kebijaksanaan sebagai seorang senior? Mungkin kita dianggap penting oleh banyak orang, tetapi apakah saat ini perasaan penting kita itu telah kita nyatakan secara lebih produktif dengan memberi nilai manfaat kepada lingkup yang lebih luas.
Saling membasuh kaki jelas memerlukan pelaku yang mau lebih dahulu berinisiatif. Pada waktu perjamuan malam terakhir, para murid Tuhan Yesus hanya duduk saling menunggu. Mereka mengharap teman yang lain mau membasuh kaki mereka. Mungkin di dalam hati mereka bertanya, “Siapakah yang mau mencuci kakiku?” Karena itu, mereka tidak dapat memulai perjamuan malam menjelan Paskah dengan keadaan bersih sesuai dengan Hukum Taurat. Itu sebabnya, Tuhan Yesus memulai inisiatif untuk membasuh kaki para muridNya. Ini berarti pada hari Kamis Putih ini dibutuhkan orang beriman yang mau berinisiatif lebih dahulu merendahkan diri mendatangi tiap musuhnya. Mereka datang dengan inisiatif mau berdamai lebih dahulu. Atau, yang lain juga bersedia datang dengan inisiatif lebih dahulu menolong sesama yang sedang menderita. Dalam hal ini, kita sering enggan memberi pertolongan secara langsung kepada anggota jemaat yang sedang kekurangan.
Pdt. Andreas P. Meliala-Runggun Cibinong