MINGGU 01 JUNI 2025, KHOTBAH MAZMUR 88:1-10 (MINGGU EKSAUDI)

Incovation :

Sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini. (Yeremia 29:10)

Ogen  :

Wahyu 3:14-22 (Tunggal)

Khotbah :

Mazmur 88 : 1-10 (Anthiponal)

Tema :

Dengarkanlah Permohonanku/ Dengkehken Min Pingko-Pingkoku

 

Pendahuluan

Minggu Eksaudi merupakan momen perenungan dalam kalender liturgi yang terletak di antara peristiwa Kenaikan Yesus ke surga dan Pentakosta. Istilah Eksaudi berasal dari bahasa Latin Exaudi Domine, yang berarti "Dengarkanlah, ya Tuhan," sebuah seruan yang diambil dari Mazmur 27:7. Minggu ini mengajak kita mengingat kembali masa penantian para murid setelah Yesus naik ke surga, ketika mereka hidup dalam ketegangan antara perpisahan dan janji kedatangan Roh Kudus. Dalam suasana spiritual yang penuh penantian ini, Minggu Eksaudi menjadi momen untuk merenungkan bagaimana orang percaya tetap teguh dalam doa dan iman, meski belum melihat jawaban langsung dari Allah. Doa sebagai wujud komunikasi dengan Tuhan bukan hanya praktik keagamaan, tetapi telah menjadi bagian integral dari berbagai tradisi budaya dan religius. Penelitian menunjukkan bahwa praktik doa yang konsisten dapat membantu seseorang mengelola tekanan psikologis, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan stabilitas emosional. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi, "Doa seharusnya menjadi kunci di pagi hari dan gembok di malam hari," yang menggambarkan peran doa sebagai penuntun hidup yang memberi ketenangan dan arah dalam menghadapi dinamika kehidupan.

Lebih dalam lagi, seruan “Dengarkanlah permohonanku” dalam doa bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan pernyataan iman yang lahir dari relasi yang mendalam antara manusia dan Allah. Dalam tradisi Alkitab, ungkapan ini sering muncul dalam situasi penderitaan, ketidakadilan, dan ketidakpastian, sebagai bentuk keyakinan bahwa Allah adalah Pribadi yang tidak hanya mendengar tetapi juga peduli. Namun secara teologis, seruan ini juga mengangkat pertanyaan yang lebih dalam: bukan sekadar apakah Allah mendengar, tetapi bagaimana umat memahami respons Allah yang tidak selalu sesuai dengan harapan manusia. Di sinilah kita ditantang untuk melihat bahwa doa bukan hanya sarana meminta perubahan situasi, tetapi proses pembentukan iman dan penyerahan diri. Dengan demikian, permohonan “Dengarkanlah permohonanku” menjadi titik temu antara kerinduan manusia dan kehendak Ilahi yang penuh misteri, sekaligus sebuah dialog iman yang menuntun kepada transformasi kehidupan yang sejati.

Pembahasan Teks

Dalam bagian teks invocatio Yeremia 29:10, “Sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini.” Ayat ini merupakan bagian dari surat nabi Yeremia kepada bangsa Israel yang sedang mengalami pembuangan di Babel. Mereka hidup dalam keterasingan, kehilangan tanah air, dan berada dalam situasi yang membuat mereka bertanya-tanya apakah Tuhan masih mendengar permohonan mereka. Dalam konteks ini, firman Tuhan melalui Yeremia hadir sebagai jawaban ilahi yang tidak selalu sesuai dengan harapan langsung manusia. Tuhan menyatakan bahwa pemulihan memang akan datang tetapi bukan segera, akan ada waktu penantian selama 70 tahun. Di sinilah kita melihat bagaimana seruan iman akan teruji oleh waktu dan realitas. Tuhan mendengar, tetapi Dia menjawab sesuai dengan waktu dan rencana-Nya yang lebih besar. Janji pemulihan menunjukkan bahwa Allah tidak mengabaikan umat-Nya, namun Dia membentuk dan memurnikan mereka di tengah proses menunggu. Teks ini meneguhkan kita bahwa dalam setiap permohonan, meskipun terasa lama atau bahkan diam, Tuhan tetap bekerja dalam ketepatan waktu-Nya. Doa bukan tentang mempercepat jawaban, tetapi memperdalam pengharapan dan kesetiaan dalam perjalanan iman.

Dalam bacaan kita melalui kitab Wahyu 3:14-22, menyajikan surat ketujuh dari Kristus yang ditujukan kepada jemaat di Laodikia, sebuah kota makmur di Asia Minor yang dikenal dengan pusat perbankan, industri tekstil, dan sekolah kedokterannya. Dalam surat ini, Kristus memperkenalkan diri-Nya sebagai "Amin", "Saksi yang setia dan benar", serta "Permulaan dari ciptaan Allah" yang merupakan sebuah pengakuan otoritatif bahwa apa yang akan disampaikan-Nya adalah benar, dapat dipercaya, dan berasal langsung dari sang sumber kehidupan. Namun, dalam hal ini muncul sebuah teguran yang keras bahwa kondisi spiritual jemaat digambarkan sebagai "suam-suam kuku" alias tidak panas, tidak dingin. Metafora ini sangat kontekstual, mengingat letak geografis Laodikia di antara Hierapolis yang terkenal dengan mata air panasnya, dan Kolose dengan air dinginnya yang menyegarkan. Kondisi "suam-suam kuku" menunjukkan iman yang pasif, suam, tidak berdaya, dan tidak menghasilkan dampak nyata.

Teguran ini semakin dalam karena jemaat Laodikia hidup dalam ilusi rohani: mereka merasa kaya, cukup, dan tidak kekurangan apa-apa, padahal di mata Kristus mereka miskin secara spiritual, buta secara rohani, dan telanjang dalam kehidupan iman. Dalam kasih-Nya, Kristus tidak hanya menegur, tetapi juga memberikan solusi yang penuh makna simbolis seperti, "membeli emas yang dimurnikan dengan api" sebagai gambaran kekayaan iman yang sejati, "pakaian putih" untuk menutupi aib rohani, dan "minyak untuk mata" sebagai lambang pencerahan batin yang sejati. Lebih dari itu, Yesus mengucapkan kalimat yang sangat personal dan menyentuh hati: "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok..." (ay. 20). Ini adalah undangan yang tidak hanya berlaku bagi jemaat Laodikia, tetapi juga bagi setiap orang percaya di sepanjang masa bahwa Kristus terus mengetuk hati, menanti agar kita mendengar dan membuka diri untuk bersekutu kembali dengan-Nya. Bagian ini memberi pembalikan yang penting yaitu, sering kali manusia berseru agar Tuhan mendengar doa mereka, namun dalam Wahyu 3 ini, justru Tuhanlah yang mengetuk dan memohon agar manusia mau mendengarkan suara-Nya. Relasi dengan Tuhan bukan hanya soal permintaan dari pihak manusia, tetapi juga kesiapan untuk mendengar dan merespons panggilan Tuhan dengan iman dan ketaatan. Surat kepada Laodikia menjadi cermin bagi gereja dan orang percaya masa kini bahwa sekalipun dalam kemakmuran dan kenyamanan hidup, kita harus tetap menjaga kepekaan rohani, tidak menjadi suam, dan tidak tertidur dalam rasa puas diri. Ketika kita berseru agar Tuhan mendengarkan doa kita, Tuhan pun sedang mengetuk dan berseru agar kita mau mendengarkan suara-Nya dan merespons-Nya dengan pertobatan dan iman yang sungguh.

Mazmur 88 :1-10 sebagai teks khotbah merupakan salah satu teks yang unik dalam Kitab Mazmur. Tidak seperti mazmur ratapan lainnya yang umumnya berakhir dengan nada pengharapan atau pujian, Mazmur 88 tetap berada dalam nada keputusasaan dari awal hingga akhir. Hal ini menimbulkan pertanyaan teologis dan pastoral yang mendalam: apakah Tuhan tetap hadir dalam keheningan? Apakah iman masih mungkin diungkapkan melalui ratapan yang tidak berujung dengan pujian?

Teks ini dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari genre mazmur ratapan individu. Secara struktural, mazmur ini terdiri atas tiga bagian utama yaitu : seruan pembuka kepada Tuhan (ay. 1-2), deskripsi mendalam mengenai penderitaan dan kedekatan dengan kematian (ay. 3-7) dan keluhan tentang keterasingan sosial serta perasaan ditinggalkan oleh Allah (ay. 8-10). Meskipun mengikuti pola umum mazmur ratapan, hal yang paling menonjol adalah tidak adanya penutup berupa ungkapan pujian atau pengakuan iman seperti yang lazim ditemukan dalam mazmur lainnya. Ketiadaan ini bukanlah sebuah kekurangan dalam bentuk, melainkan penegasan terhadap kedalaman penderitaan yang dialami pemazmur. Ia tidak berdoa dari tempat yang terang akan pengharapan, tetapi dari kegelapan yang menyelimuti jiwanya. Dalam teks ini kita melihat pilihan kata yang tajam dan sarat makna simbolik. Ungkapan seperti "Sheol" (dunia orang mati), "lubang kubur" dan "aku dianggap seperti orang yang tidak lagi Engkau ingat" membangun gambaran tentang kehancuran dan keputusasaan total. Pengulangan serta nada ratapan yang dominan memperkuat kesan bahwa pemazmur tidak hanya menyampaikan penderitaan, tetapi juga mengekspresikan bagaimana kehidupannya berada pada batas ambang antara kehidupan dan kematian. Dalam konteks sastra Ibrani, bentuk ratapan seperti ini memperlihatkan bahwa ekspresi iman tidak harus selalu optimistis atau penuh pujian kadang kala, iman justru mewujud dalam bentuk protes yang jujur dan terbuka di hadapan Allah.

Iman sejati tidak selalu berbicara bersinar terang, tetapi kadang merintih dalam gelap, sehingga hal ini menggarisbawahi realitas iman yang jujur dan manusiawi. Dalam kehidupan rohani, ada saat-saat di mana terang pengharapan seolah redup, dan kehadiran Allah terasa jauh. Namun justru dalam situasi seperti inilah kualitas iman diuji dan dimurnikan. Mazmur ini menunjukkan bahwa berseru kepada Tuhan dari tempat yang gelap bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan wujud dari keberanian untuk tetap bergantung pada-Nya ketika semua rasa dan logika tidak lagi mendukung. Di balik ratapan yang sunyi dan keheningan yang menyakitkan, terdapat kepercayaan yang dalam bahwa Allah, meski tampak diam tetapi sesungguhnya tidak pernah benar-benar meninggalkan umat-Nya. Iman seperti inilah yang akan membentuk kedewasaan spiritual, karena iman ini bukan lahir dari kenyamanan, melainkan dari pergumulan dan perjuangan yang tidak pernah menyerah.

Refleksi

Melalui tema “Dengarkanlah Permohonanku” kita belajar bahwa dalam memohon kepada Tuhan melalui doa bukan hanya sekedar seruan permintaan, tetapi jauh lebih penting akan pengakuan iman kita bahwa Allah mendengar, walaupun jawabannya tertunda, berbeda, atau bahkan seakan-akan tidak ada. Di sisi lain, minggu ini juga mengingatkan bahwa saat kita berseru, Tuhan pun berseru kepada kita memanggil untuk kembali, untuk percaya, dan untuk membuka pintu hati. Relasi doa antara manusia dan Allah tidak selalu terjadi dalam suasana terang dan kepastian. Justru, sering kali hubungan itu berlangsung dalam situasi penantian, keheningan, bahkan kebingungan rohani. Teks Mazmur menjadi cerminan bahwa iman tidak selalu tampil sebagai kemenangan, tetapi sebagai keberanian untuk tetap bertahan, sekalipun satu-satunya kekuatan yang tersisa hanyalah kemampuan untuk berseru kepada Tuhan. Dalam kehidupan nyata, banyak orang percaya yang bergumul dalam doa saat menghadapi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh, tekanan ekonomi yang tak teratasi, atau konflik keluarga yang terus berlarut tanpa titik terang.

Doa dan pengharapan berjalan beriringan, bukan dalam kecepatan waktu yang kita inginkan, melainkan dalam kepastian waktu Tuhan yang tak pernah meleset. Di sisi lain, menanti Tuhan bukan hanya soal meminta agar didengar, tetapi juga membuka diri untuk mendengar saat Tuhan berbicara dan mengetuk pintu hati kita melalui firman, orang sekitar, bahkan melalui situasi yang sulit. Iman sejati adalah iman yang tetap berseru dalam gelap, karena keheningan Tuhan bukanlah tanda Ia tidak hadir, melainkan ruang pembentukan yang memperdalam ketergantungan dan kejujuran rohani umat-Nya. Maka, Eksaudi menjadi momen reflektif, mengajarkan bahwa dalam diamnya langit, dalam panjangnya waktu, dan dalam ketegangan antara naiknya doa dan datangnya jawaban, Tuhan tetap bekerja, dan iman tetap bertumbuh.

Sebagai penutup mari kita belajar dari kisah hidup William Tyndale yang memperlihatkan keteladanan nyata bagaimana iman sejati tetap berseru, bahkan di tengah keheningan dan bahaya. Tyndale, seorang sarjana Alkitab yang berani menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Inggris agar dapat diakses oleh semua rakyat yang memiliki keterbatasan dan hidup dalam bayang-bayang penganiayaan. Doanya sederhana namun berani yaitu, agar setiap orang, bahkan petani sekalipun, dapat memahami Firman Tuhan. Ia dikhianati, dipenjara, dan akhirnya dibakar hidup-hidup pada usia 42 tahun. Namun dalam masa penantian, pelarian, dan keheningan yang panjang, ia tetap menggenggam keyakinan bahwa Tuhan pasti mendengar seruannya. Kalimat terakhirnya sebelum dieksekusi adalah: “Ya Tuhan, bukalah mata Raja Inggris.” Sebuah doa yang tidak langsung dijawab saat itu, namun bertahun-tahun kemudian setelah ia wafat doa itu terwujud ketika Alkitab dalam bahasa Inggris diizinkan beredar luas. Peristiwa tersebutlah yang menjadi cikal bakal penerjemahan Alkitab jika hari ini kita bisa membacanya dengan bebas. Faktanya, 90% isi Alkitab versi King James dan 75% isi Revised Standard Version berasal dari terjemahan Tyndale. Bahkan, banyak istilah Alkitab dalam bahasa Inggris yang kita kenal sekarang berasal dari terjemahannya yang jernih dan mudah dipahami. Kisah Tyndale menegaskan bahwa iman sejati tidak selalu diiringi jawaban instan, tetapi tetap bertahan dalam keheningan dengan keyakinan bahwa Tuhan bekerja, meski kadang dari balik tirai sejarah. Tyndale mengajarkan kita bahwa seruan dari hati yang setia tidak pernah sia-sia di hadapan Tuhan yang hidup.

Pdt. Maria E. br Sitepu, S.Th-Runggun Surabaya

 

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD