KHOTBAH MINGGU 19 JANUARI 2020

Suplemen Kotbah Minggu 19 Januari 2020 (Epiphanias II)

Invocatio      : 1 Petrus 5 : 10

Ogen            : Mazmur 40 : 1-11

Kotbah         : 1 Korintus 1 : 1-9

Tema            : Emalemen ate Kalak Si Ersada Ras Jesus Kristus

  1. Pendahuluan

Mengapa di hari-hari libur daerah-daerah wisata begitu ramai dikunjungi, apalagi belakangan hari ini wisata yang menekankan konsep “kembali ke alam”? Karena berusaha mencari “kemalemen ate”. Holyday yang seharusnya berarti “hari yang kudus” berubah arti menjadi “liburan”. Mengapa kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya sampai terkadang waktu tidak cukup 24 jam? Karena berharap bahwa dengan materi, jabatan/kedudukan, pangkat, pendidikan tinggi kita bisa mendapatkan kemalemen ate. Dunia dan segala isinya ini tidak akan bisa memenuhi “kemalemen ateta”. Hanya Yesus Kristus sebagai sumber kemalemen ate sejati.

  1. Isi

Nats 1 Korintus 1:1-9 ini bisa dibagi menjadi 3 bagian utama yaitu:

  • Salam pembukaan, ay. 1-3
  • Ucapan syukur, ay. 4-6, dan
  • Harapan bagi jemaat Korintus, ay. 7-9.

Sebagai pendahuluan untuk keseluruhan 1 Korintus, nats ini bernada sangat theosentris (berpusat pada Allah, terlihat 6 kali Paulus menyebut kata Allah) dan bernada kristosentris (9 kali Paulus menyebut nama Yesus/Kristus).

Sapaan Paulus terhadap jemaat Korintus, menunjukkan bahwa Paulus sadar sepenuhnya bahwa dia tidak hanya terlibat dalam mendirikan jemaat di sana (3:10), tetapi juga hubunganya dengan gereja tersebut telah dipengaruhi dengan banyak hal yang terjadi sejak dia meninggalkan Korintus (52 M). Dalam memulai suratnya, dia memanggil orang Korintus untuk mengingat kembali tidak hanya peran dan relasinya yang diberikan kepada Tuhan bagi jemaat Korintus tetapi juga tujuan panggilan mereka juga dinyatakan oleh Paulus.

Meski setia melayani Tuhan bukan berarti kebal terhadap masalah semacam hinaan dan keraguan orang lain atas pelayanan yang dilakukan. Nats ini merupakan pengantar dari Paulus mengenai isi surat kerasulannya secara keseluruhan. Sesuai dengan kebiasaan menulis surat pada zaman itu, nama orang yang menulis surat dan nama orang-orang penerima surat juga dituliskan. Pertama Paulus menegaskan tentang kerasulannya dengan kalimat pembuka di ay. 1 “Dari Paulus, yang oleh kehendak Allah dipanggil menjadi rasul Kristus Yesus” yang diragukan dan kemudian menjadi perdebatan yang menjadi salah satu pemicu perpecahan di jemaat Korintus. Dalam hal ini Paulus bukan mau menujukkan keangkuhannya, tetapi mau menunjukkan bahwa ia memiliki penugasan ilahi. Hal ini penting karena ada pengajar palsu dan pengikutnya berusaha mencari-cari celah untuk menjatuhkannya. Dan untuk menegaskan wewenang kerasulannya dia mengikutsertakan Sostenes bersamanya dalam menulis surat ini. Sostenes adalah seorang pelayan jemaat yang lebih rendah jabatannya. Sostenes pernah menjadi pemimpin suatu sinagoge Yahudi di kota Korintus, yang kemudian bertobat dan menjadi seorang Kristen (Paulus memberdayakan reputasi Sostenes karena Sostenes dikenal oleh orang Korintus). Kebijaksanaan dan kesopanan Paulus dalam hal mendekati gereja yang peka yang dulu berhubungan dengan mantan pemimpin utama sinagoge itu. Paulus dalam hal ini berusaha mencari peluang bagaimana melakukan pendekatan kepada jemaat Korintus dengan mengikutsertakan Sostenes yang dulu merupakan tokoh di Sinagoge Korintus bukan dengan menyerang mereka yang menyerang kerasulan Paulus.

Menjadi jemaat Allah oleh karena pengudusan di dalam Kristus Yesus. Surat ini ditujukan kepada jemaat Allah yang ada di Korintus. Dikuduskan berarti dipisahkan secara khusus dan hal ini terjadi di dalam Yesus Kristus. Dan mereka yang telah dikuduskan dipanggil untuk menjadi orang-orang kudus yang berbeda dari orang-orang dunia yang tidak percaya kepada Allah. Mereka yang telah dikuduskan akan berseru kepada nama Tuhan Yesus Kristus bukan berseru kepada nama yang lain selain nama itu.

Sumber damai sejahtera (kemalemen ate) yang sejati hanyalah berasal dari Tuhan Yesus Kristus saja. Hal ini dinyatakan oleh Paulus dalam doa berkat kerasulan di ay. 3. Kemalemen ate adalah berkat yang datangnya dari Tuhan. Sekaligus menyatakan kepada kita bahwa orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya tidak akan dapat memiliki rasa damai dari Allah, karena satu-satunya jalan untuk mendapatkannya adalah melalui Yesus Kristus.

Ada kalimat bijak menyatakan “seberapa kita peduli dengan seseorang atau sesuatu maka dapat dinilai dari seberapa sering kita mendoakannya”.

Paulus selalu memulai sebagian besar surat-suratnya dengan ucapan syukur kepada Allah untuk sahabat-sahabatnya dan berdoa bagi mereka. Hal ini merupakan salah satu bentuk persekutuan yang baik, yaitu saling mengucap syukur kepada Allah atas kasih karunia dan berkat yang diperoleh tiap-tiap orang lain. Tindakan ini memberi teladan yang baik bagi kita, bahwa mengucap syukur kepada Allah tidak hanya di saat diri kita menerima berkat Tuhan, tetapi ketika orang lain juga diberkati oleh Tuhan, kita juga layaknya mengucap syukur kepada Tuhan sebagaimana Paulus lakukan.

Ungkapan syukur Paulus kepada Allah menunjukkan teladan yang baik bagi kita bahwa mengucap syukur adalah tindakan yang dilakukan secara terus-menerus (eucharisto) dan Paulus juga menambahkan kata pantote yang artinya “senantiasa”. Menunjukkan kepada kita bahwa ucapan syukur harus menjadi gaya hidup orang yang percaya (bdk. 1 Tes. 5:18). Mengucap syukur tidak dihalangi oleh respon negatif dari orang Korintus. Ungkapan syukur Paulus karena keberadaan jemaat Korintus (karena kamu, ay. 4). Jika kita memahami keberadaan jemaat Korintus serta respon mereka terhadap Paulus maka ungkapan syukur ini merupakan hal yang luar biasa. Di tengah jemaat yang meragukan dan menyerang kerasulan Paulus, dia masih bisa mengucap syukur, bahkan Paulus tidak mengatakan mengucap syukur karena masih ada yang setia, tetapi “mengucap syukur... karena kamu”, jelaslah karena seluruh jemaat Korintus. “... dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan” adalah karunia yang diterima oleh orang-orang Korintus. Hal ini juga adalah bagian dari alasan Paulus untuk mengucap syukur kepada Tuhan. Karunia yang mereka terima ini merupakan peneguhan kebenaran Injil. Memang pemberian karunia merupakan salah satu cara Allah menyatakan kebenaran Injil pada zaman gereja mula-mula. Dalam hal ini juga secara manusia, bukan merupakan alasan untuk Paulus untuk bersyukur karena orang Korintus menyalahgunakan karunia-karunia tersebut, tetapi Paulus tetap mampu melihat sisi yang baik di tengah ketidakbaikan, bukan sebaliknya melihat yang tidak baik ditengah kebaikan.

Kasih karunia dari Allah bukan alasan memegahkan diri. Karunia rohani yang diterima oleh jemaat Korintus merupakan pemberian Allah yang bukan karena mereka layak menerimanya atau karena mereka mengusahakannya, jika mereka layak, maka hal itu bukan kasih karunai, tetapi hak. Jika mereka mengupayakannya, maka hal itu bukan kasih karunia, tetapi upah (bdk. Rom. 4:4-5). Penyebutan “kasih karunia Allah” dimaksudkan sebagai teguran halus kepada jemaat Korintus yang memegahkan diri atas karunia rohani yang mereka miliki. Jika mereka menyadari bahwa semua itu adalah kasih karunia, maka mereka tidak akan menyombongkan hal itu. Karunia perkataan dan pengetahuan adlah karunia yang sering disalahgunakan oleh jemaat Korintus. Mereka merasa diri lebih berhikmat, lebih rohani dari yang lain dan bahkan menganggap injil sebagai kebodohan (bdk. Ay. 17-18, 25-29; 2:1-4). Seharusnya, mereka yang kaya dalam perkataan dan pengetahuan dan berbagai karunia roh, harus juga kaya dalam kasih dan perbuatan baik.

Memiliki karunia rohani adalah bentuk peneguhan injil bukan satu-satunya tanda orang yang telah diselamatkan. Jemaat Korintus diberi karunia rohani yang berlimpah justru menunjukkan bahwa usaha pekabaran Injil yang dilakukan Paulus tidaklah sia-sia. Tetapi harus dipahami bahwa memiliki kemampuan supranatural bukanlah satu-satunya tanda/ jaminan bahwa seseorang telah diselamatkan. Saul (1 Sam. 19:23-24), nabi-nabi palsu (Mat. 7:21-23) dan pengikut iblis (Why. 13:13-14; 19:20) juga memiliki hal-hal yang supranatural. Beberapa orang yang dari luar termasuk bagian dari orang Kristen dan menikmati karunia-karunia rohani tertentu ternyata adalah orang-orang yang tidak pernah bertobat sungguh-sungguh (Ibr. 6:4-9).

Memiliki karunia rohani bukan sebagai alat untuk kesombongan rohani tetapi menggunakannya sebagai bagian tindakan menantikan kedatangan Tuhan. Dalam hal ini Paulus menghubungkan karunia rohani dengan pengharapan eskatologis. Hal ini diakukan oleh Paulus karena orang-orang percaya di Korintus cenderung tidak memperhatikan akan pengharapan eskatologi. Dengan memiliki karunia rohani mereka berpikir bahwa karunia rohani adalah yang terpenting, padahal semua karunia rohani itu akan berlalu. Ada juga yang menolak konsep kebangkita orang mati, dengan demikian bagi mereka tidak ada lagi hal yang perlu ditunggu. Maka Paulus menyatakan agar dipenuhi karunia rohani tetapi masih penting juga menanti penyataan Yesus kembali.

Di ay. 8-9 ada harapan yang menguatkan hati Paulus mengenai keadaan jemaat Korintus di masa yang akan datang bahwa Allah yang telah memulai suatu pekerjaan yang baik di dalam mereka tidak akan meninggalkan pekerjaan itu tak terselesaikan. Orang-orang yang menanti-nanti kedatangan Tuhan Yesus Kristus akan diteguhkan-Nya sampai kesudahannya. Paulus tetap memiliki harapan yang positif terhadap jemaat Korintus. Dia juga berharap agar jemaat Korintus “tidak bercacat” (anengkletous) yang berarti “bebas dari tuduhan hukum”. Dalam konteks penghakiman, maka hal ini menunjuk pada statas orang percaya yang tidak mungkin digugat oleh iblis (Rom. 8:1, 33). Kepastian ini sekali lagi bukan karena kekuatan manusia, tetapi karena peneguhan yang Allah lakukan. Peneguhan dilakukan sampai selamanya yaitu saat ketika Tuhan menghakimi semua manusia. Paulus mengingatkan ini bukan supaya mereka bisa sembarangan hidup. Justru, supaya mereka ingat akan status mereka, sehingga antara status dan tindakan moral tidak terpisah.

Allah memberikan karunia rohani, meneguhkan umat-Nya karena Dia adalah Allah yang setia. Allah yang setia akan tetap memegang janji-janji-Nya. Jadi kepastian keselamatan bukan didasarkan pada kepemilikan berbagai karunia rohani, tetapi karena memang Allah adalah setia. Memanggil dan meneguhkan umat-Nya adalah bukti bahwa Allah kita adalah Allah yang mau terlibat dalam kehidupan orang yang percaya. Dan kita dipanggil bukan untuk terpisah dengan yang lain justru supaya masuk ke dalam persekutuan dengan Yesus Kristus. Persekutuan di dalam Kristus inilah menciptakan persekutuan antara orang percaya.

  1. Aplikasi
  • Kemalemen ate di dalam persekutuan karena ada hubungan khas di antara orang-orang yang sudah percaya. Semuanya menjadi bersaudara meski tidak berasal dari satu darah, karena sudah dikuduskan di dalam Yesus Kristus. Artinya orang percaya sudah ada di dalam satu rumah tangga rohani yang kepala rumah tangga tersebut adalah Allah itu sendiri.
  • Kemalemen ate tidak ditentukan seberapa banyak karunia rohani yang ada di dalam diri kita. Justru di saat karunia rohani tersebut bisa menjadi berkat bagi orang lain. “memiliki tetapi tidak berdampak” sama sekali akan menjadi sia-sia.
  • Meski ada masalah, Paulus memberi teladan bagi kita supaya melihat masalah tersebut dari sudut pandang Kristus. Sehingga cara seperti ini memampukan Paulus memiliki dasar mengucap syukur kepada Allah di tengah masalah yang tidak sederhana di Korintus. Artinya, kemalemen ate Paulus berbeda perspektifnya dengan kemalemen ate manusia umumnya. Kemalemen ate Paulus bukan ketiadaan masalah, tetapi penyertaan Tuhan dan janji setia-Nya.
  • Kemalemen ate si genduari ras eskatologi. Bahwa kemalemen ate yang ditawarkan dunia ini adalah kemalemen ate semu/ fana dan semua akan memiliki akhir. Tapi kemalemen ate di dalam Kristus adalah kemalemen ate yang kekal selamanya. Tetapi bukan berarti tidak penting kemalemen ate di dunia ini, tetap penting! Tetapi ingat masih ada kemalemen ate pasca-kebangkitan.
  • Kemalemen ate karena Allah setia, setiap janji-Nya akan digenapi oleh-Nya. Kemalemen ate bagi orang percaya karena Allah mau terlibat aktif dan setia di dalam kehidupan orang –orang percaya.

Pdt. Dasma Sejahtera Turnip, -

GBKP Rg. Palangka Raya

Khotbah Minggu 12 Januari 2020

MINGGU, 12 JANUARI 2020

Invocatio        : "Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara.  Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang  bagi bangsa-bangsa  supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi" (Yesaya 49 : 6)

Bacaan          : Kisah Para Rasul 10 : 34 - 43

Khotbah       : Yesaya 42 : 1 - 9

Tema : Hamba Tuhan Yang Menerangi Bangsa-Bangsa

 

  1. PENDAHULUAN

Perayaan Natal belum lama berlalu dan saat ini kita memasuki minggu-minggu yang disebut epifania (Yunani : Epifaneia = “penampakan diri” atau “manifestasi”). Ada dua peristiwa yang dirayakan pada peringatan epifania, yaitu kunjungan orang-orang Majus ke bayi Yesus, dan baptisan Yesus oleh Yohanes di sungai Jordan. Kunjungan orang-orang Majus berarti Kristus telah menampakan diri kepada orang-orang bukan Yahudi dan baptisan-Nya berarti pelayanan-Nya sudah dimulai.

Minggu epifania merupakan kelanjutan dari peristiwa natal. Dalam perayaan natal, kita merayakan kehadiran Allah ke dunia yang menjumpai manusia. Bila Allah tidak menghampiri manusia, merendahkan diri, bagaimana mungkin manusia menghampiri Allah? Bila Allah menghampiri manusia dalam segala kekuatan, kemuliaan, dan keperkasaan-Nya, siapa manusia yang dapat tahan berhadapan dengan-Nya?

Kelahiran dan kehadiran Allah ke dunia dalam diri Tuhan Yesus Kristus, dalam rangka menyelamatkan manusia, yaitu memberikan harapan dan hidup yang baru. Dari hidup dalam kuasa dosa dan kematian kepada hidup dalam anugerah keselamatan. Dan masa epifania merupakan masa penegasan dan pemantapan akan hidup dalam anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Anugerah keselamatan tersebut diberikan kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya.

  1. I S I

Perikop Yesaya 42 adalah bagian kedua dari kitab Yesaya (ps.40-55), yang disebut dengan Deutero Yesaya, yang penulisannya terjadi pada masa bangsa Yehuda berada di tanah pembuangan di Babel. Keterbuangan bangsa Yehuda ke tanah Babel membuat mereka kehilangan identitas sebagai umat pilihan Allah. Kehidupan mereka gelap, putus asa dan hilang pengharapan. Lalu Allah membangkitkan seorang nabi yang juga hidup dalam pembuangan tersebut lalu memakainya untuk memberikan penghiburan dan pengharapan kepada bangsa Yehuda yang sedang berada dalam pembuangan.

Nabi Yesaya (lebih tepatnya Deutero Yesaya) menubuatkan kepada mereka bahwa akan datang seorang “hamba Tuhan” yang akan menyelamatkan mereka yang sedang hidup dalam kegelapan. Nubuatan sang nabi dimulai dengan mengatakan “Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku  ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum  kepada bangsa-bangsa”.

Dalam Deutero Yesaya, sangat banyak berbicara mengenai “hamba Tuhan”. Empat perikop nyanyian Ebed Yahweh (hamba Tuhan), teristimewa dalam “nyanyian-nyanyian hamba Tuhan” yaitu Yesaya 42:1-4; 49:1-7; 50:4-9; 52:13-53:12 merupakan bagian penting dan aktual dalam pemberitaan nabi Deutero Yesaya. Isi nyanyian hamba TUHAN adalah: hamba sebagai utusan Allah, yang setia bahkan rela menderita untuk tugas penyelamatan bagi umat Israel. Keselamatan itulah yang ditekankan dalam pemberitaan Deutero Yesaya.

Di dalam Yesaya 42:1-9, hamba Tuhan dilukiskan  sebagai   “ebed Yahweh”  yang dipanggil dan diurapi, yang kepadanya Allah berkenan[1]. Banyak pandangan para ahli yang menunjuk bahwa hamba Tuhan dalam konteks ini adalah individu yang  diurapi tetapi yang melakukan perintah Allah untuk menerangi kehidupan umat-Nya. Hamba Tuhan dalam konteks ini  menjadi representasi kesetiaan Allah untuk tetap setia terhadap janji-Nya tentang pemulihan Israel. Di dalam perikop ini, sang Hamba yang terpilih dipresentasikan sebagai seseorang yang menyelesaikan rencana Tuhan Allah yang Maha Kuasa dengan membawa harapan dan terang kepada yang tertindas dan tertekan.

Nubuatan tentang hamba Tuhan yang kepadanya Allah berkenan dalam Yesaya 42 ini, oleh Matius ditujukan kepada Yesus Kristus, sebagaimana ditulis dalam Matius 12 : 18-21 "Lihatlah, itu Hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepada-Nya jiwa-Ku berkenan;  Aku akan menaruh roh-Ku ke atas-Nya, dan Ia akan memaklumkan hukum kepada bangsa-bangsa. Ia tidak akan berbantah dan tidak akan berteriak dan orang tidak akan mendengar suara-Nya di jalan-jalan. Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang. Dan pada-Nyalah bangsa-bangsa akan berharap. "

Kata “lihat…” di Yesaya 42 : 1 (“Lihat, itu hamba-Ku yang Kupegang….”), dalam B.Inggris ditulis “gaze”, yang berarti bukan sekedar melihat tetapi memperhatikan dengan seksama.Dengan memperhatikan dengan seksama, kita akan menemukan kedalaman pengertian akan Allah dan pengenalan akan hamba yang kepadanya Allah berkenan. Penting sekali pengenalan akan hamba yang kepadanya Allah berkenan, sebab gambaran yang diberikan Nabi Yesaya tentang hamba yang kepadanya Allah berkenan, sebagaimana ditulis dalam Yesaya 53 : 2-3 adalah, Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada  sehingga kita memandang dia, dan rupapun  tidak, sehingga kita menginginkannya. Ia dihina dan dihindari  orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita  kesakitan; ia sangat dihina,  sehingga orang menutup  mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.

Banyak orang yang mau berkumpul di sekitar mahkota Kristus, namun sedikit sekali yang mau berkumpul di bawah salib Kristus. Banyak orang yang ingin berkat Kristus, tetapi sedikit orang yang mau menderita bersama Kristus.

Lihatlah hamba-Ku ini, maka didalamnya engkau akan melihat kasih Allah yang mau dinyatakan melalui Sang Mesias.

Yesaya mengambil ilustrasi buluh yang patah terkulai dan sumbu yang pudar nyalanya (Yesaya 42 : 3) sebagai gambaran dari orang-orang yang hidup tanpa pengharapan.

Buluh yang dimaksud di sini semacam ilalang besar yang terdapat di sekitar sungai dan menurut kebiasaan pada jaman itu, buluh sering dipakai oleh anak-anak Yahudi untuk membuat suling yang sangat sederhana. Karena ilalang ini mudah sekali didapatkan maka apabila ditemukan ada ilalang yang retak maka mereka akan membuangnya. Jikalau buluh yang terkulai ini merupakan gambaran diri kita, manusia berdosa yang tidak bernilai dan sepatutnya dibuang dan dicampakkan, maka Allah menyatakan bahwa orang-orang yang demikian ini tidak akan dipatahkan-Nya. Sungguh, ini menunjukkan kedalaman hati dan cinta Tuhan.

Banyak kepercayaan menekankan kebesaran dan kuasa Tuhan. Bagi kita, Tuhan itu Maha Besar dan Maha Kuasa, tetapi yang terutama IA Maha Baik. IA menyelamatkan kita bukan dengan kebesaran-Nya (sebab IA justru menjadi manusia), dan bukan dengan Kuasa-Nya (Sebab IA justru mati tidak berdaya di atas salib), tetapi dengan kebaikan-Nya (yang mengampuni orang berdosa dan menolong orang yang lemah).

Dalam bahan bacaan, Kis.10 : 34-36 dan 43, Rasul Petrus menyatakan bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya. Yesus Kristus adalah Tuhan dari semua orang. Dan tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapatkan pengampunan dosa oleh karena nama-Nya.

  • REFLEKSI

Masa epifania merupakan masa penegasan dan pemantapan akan hidup dalam anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Realita kehidupan yang kita jalani tidak berhenti di kandang dan palungan tempat Yesus lahir Natal bukan puncak perayaan iman kita. Natal justru adalah langkah pertama kita menjalani hidup dalam anugerah keselamatan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Karena itu, penanggalan gereja menempatkan Masa Adventus dan Natal sebagai awal tahun gereja.

Orang Majus dan para gembala, para saksi Natal perdana, setelah bertemu bayi Yesus, mereka kembali ke tempat masing-masing.

Dalam Matius 2 : 12, dituliskan tentang orang Majus, “Dan karena diperingatkan dalam mimpi, supaya jangan kembali kepada Herodes, maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.”

Dalam Lukas 2 : 20, dituliskan tentang para gembala, “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah diaktakan kepada mereka.”

Akan tetapi, satu hal yang menarik adalah mereka, para Majus dan gembala itu, pulang setelah bertemu bayi Yesus dengan membawa sebuah perubahan hidup yang nyata. Mereka berubah. Orang Majus, ketika melihat Yesus, mereka sujud menyembah dan memberi emas, kemenyan, dan mur. Mereka takluk kepada Yesus. Dan Ketika pulang, mereka taat kepada Allah. Para Majus pulang dengan ketaatan baru.

Dalam kisah para gembala, mereka kembali dengan hati yang baru. Mereka memuji dan memuliakan Allah. Hati mereka disegarkan karena disentuh oleh kasih Allah. Para gembala pulang dengan sukacita baru.[2]

Kiranya kita pun demikianlah. Kebaikan dan kasih Allah yang kita rasakan dan kita terima dalam Natal, memampukan kita memberi diri menjadi saluran berkat Tuhan. Menjadi hamba-Nya yang setia dan taat. Ucapan dan tindakan kita meneguhkan dan menguatkan. Memiliki hati yang mengasihi dan menolak menghakimi.

Ada sebuah kisah kehidupan.[3]

Seorang tua dan anak laki-lakinya duduk bersama dalam kereta api. Sang putra berusia 24 tahun itu tiba-tiba berteriak kegirangan sambil menjulurkan kepala keluar jendela gerbong: “Papa, lihat… pohon-pohon itu berlari di samping kita!” Penumpang lain merasa tak nyaman.Mereka heran di usia dewasanya, ia bertingkah seperti anak kecil. “Papa, lihat! Awan-awan mengejar kita!” Beberapa kali si pemuda berteriak sampai seorang penumpang menegur sang ayah: “Mengapa anakmu tidak kau bawa ke dokter jiwa? Tingkahnya tak pantas sama sekali! Atau kau yang tak mengajarkannya sopan santun!”

Si Ayah dengan tenang dan tatapan teduh menjawab keluhan mereka: “Ah, maafkan kami, pak! Putraku memang baru kembali dari dokternya; seorang dokter mata. Ia buta sejak lahirnya dan hari ini adalah hari pertama ia dapat melihat dunia…maafkan saya, putraku terlalu gembira!”.

Betapa baiknya dunia ini andai kita tahu kapan harus lebih mengerti sesama daripada menghakimi. Marilah hidup kita menjadi pancaran terang Kristus dan menjadi sahabat bagi semua orang. Tuhan Yesus memampukan kita.

Pdt.Asnila Br Tarigan

GBKP Rg.Cijantung

 

[1] Kata-kata “Allah berkenan” dalam Perjanjian Lama hanya ada dalam kitab Yesaya.

[2] Joas Adiprasetya, “Menyemai Cinta, Merawat Damai”, BPK Gunung Mulia, Jakarta, cet.1, 2016, hal.159-164.

[3] Rm.Albertus. Joni, SCJ, “SoulBites 1.0”, Charissa Publisher, Yogyakarta, set.1, 2015, hal.41-43

Minggu 05 Januari 2020, Khotbah Yohanes 1:14-18

Introitus :

Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus
adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan - Roma 10:9

Bacaan :

Mazmur 147:12-20

Thema :

Kasih Karunia Dan Kebenaran Di Dalam Yesus Kristus

 

I. Pendahuluan
James Irwin, astronot Amerika Serikat dengan Apollo 15 tahun 1971 berhasil mendarat di Bulan selama 67 hari. Saat dia berada di ruang angkasa, James Irwin mengalami peristiwa keagungan dan kemuliaan Allah yang belum pernah ia rasakan. Muncullah refleksi teologis, yaitu kesadaran yang mencelikkan mata rohaninya akan makna inkarnasi Kristus. James Irwin juga menyatakan peristiwa itu membuatnya menjadi berarti; apalagi saat umat manusia di Bumi menghayati kedatangan dan lawatan Allah melalui inkarnasi Kristus ke dunia. Oleh karena itu, seharusnya umat manusia dalam hidup sehari-hari mengalami kasih karunia dan kemuliaan Allah melalui inkarnasi Kristus. Di dalam inkarnasi Kristus: Allah beserta kita. Yesus Kristus adalah sang Immanuel. Dengan demikian, kedatangan Allah dalam inkarnasi Kristus bertujuan untuk memulihkan kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Inkarnasi Kristus adalah manifestasi kasih karunia Allah sehingga Allah berkenan memilih umat manusia menjadi warga Kerajaan Allah.

II. Isi
Sang Firman itu telah menjadi daging dan berdiam di antara kita. Kata yang dipakai untuk “diam” adalah “mendirikan kemah”. Ini adalah gambaran yang indah sekali karena mengingatkan kita kepada Kemah Suci di padang gurun (Kel. 25:8-9). Kemah Suci itu adalah lambang penyertaan Tuhan bagi Israel di padang gurun. Tuhan menyertai umatNya dan “berkemah” bersama dengan mereka. Israel mungkin hanyalah bangsa budak yang melayani Mesir. Tetapi setelah Tuhan menyatakan diri kepada mereka, identitas mereka berubah. Mereka bukan lagi budak Mesir, melainkan umat dari Allah yang Mahakuasa. Umat dari Allah yang telah menaklukkan semua dewa-dewi Mesir dan menjadikan Israel anak sulungNya, serta yang senantiasa menyertai Israel di dalam perjalanan mereka melalui Kemah SuciNya di tengah-tengah Israel.

Mengapakah Kristus rela datang ke dunia? Dia tidak datang untuk dunia ini. Dia datang untuk menyertai umatNya. Dia mau berdiam bersama dengan umatNya. Seluruh Injil Yohanes memberikan fokus yang indah pada kasih Yesus Kristus, Sang Firman, bagi umatNya yang diwakili oleh para murid. Para murid adalah gereja Tuhan, dan kasih Kristus kepada mereka adalah kasih yang sama yang diberikan bagi gerejaNya, yaitu kita semua yang percaya kepadaNya. Sama seperti Kemah Suci didirikan di padang gurun, demikian juga Kristus berkemah/berdiam di “padang gurun”, bersama dengan gereja Tuhan di bumi. Di bumi Dia berdiam bersama dengan murid-muridNya, dan kasih yang Dia curahkan bagi murid-muridNya adalah kasih yang sama besarnya dengan yang Dia curahkan bagi kita, gerejaNya, yang hidup di zaman ini.

Jika Kemah Suci di padang gurun senantiasa penuh dengan cahaya kemuliaan Tuhan, maka Kristus, Sang Firman pun, penuh dengan cahaya kemuliaan sebagai Anak Tunggal Bapa. Cahaya kemuliaan apakah yang Kristus pancarkan? Cahaya kemuliaan Kristus sebagai Anak Tunggal Bapa bukanlah cahaya kemuliaan yang menyilaukan mata, meskipun itu juga bagian dari pernyataan kemuliaan Allah. Cahaya kemuliaan Kristus yang paling menonjol ketika Dia hidup di bumi adalah kasih karunia dan kebenaranNya. Apakah yang dimaksudkan dengan “kasih karunia” dan “kebenaran”? Dua kata ini tidak bisa dipisahkan dan merujuk kepada sifat Tuhan yang mengingat dan menjalankan perjanjianNya. Kesetiaan Allah kepada perjanjianNya itulah yang digambarkan dengan “kasih setia” dan “kebenaran” sebagaimana dinyatakan olehNya sendiri di dalam Keluaran 34:6-7. Di dalam terjemahan bahasa Indonesia, Keluaran 34:6 menyatakan bahwa Allah berlimpah “kasih” (khesed) dan “setia” (emeth) di mana kedua kata ini dapat juga diterjemahkan “kasih karunia” (khesed) dan “kebenaran” (emeth). Inilah yang dijelaskan di dalam bahasa Yunani di ayat 14, “kharis” (kasih karunia) dan “aletheia” (kebenaran). Kasih setia dan kebenaran Allah berarti Dia dengan tepat akan menjalankan perjanjianNya. Dengan penuh kasih sayang akan menjalankan janjiNya bagi umatNya, tetapi juga dengan keadilan Dia akan menghakimi umatNya berdasarkan perjanjianNya. Kristuslah penggenapan dari kesetiaan Allah di dalam perjanjianNya ini. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Sang Firman ini menyatakan kemuliaan Allah di dalam kesetiaanNya kepada perjanjianNya.

Kesaksian Yohanes 1:14 menyatakan: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita, dan kita telah melihat kemuliaan yang diberikan kepadaNya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”. Makna pernyataan “Firman itu telah menjadi manusia” seharusnya diterjemahkan menjadi “Firman ituu telah menjadi daging”. Sang Firman Allah yang kekal dan ilahi, yaitu Dia yang telah menciptakan alam semesta dan di dalam diriNya memiliki sumber hidup pada satu titik waktu dalam sejarah manusia berkenan menjadi manusia dengan segala keutuhan manusiawiNya. Dalam inkarnasi Kristus, Sang Firman Allah yang kekal memasuki interval ruang dan waktu, serta sungguh-sungguh menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Ini berarti dalam diri Yesus, Sang Firman bukan tampak seperti manusia, atau seakan-akan hadir memperlihatkan diriNya dalam kebertubuhan manusia tetapi Dia sungguh-sungguh menjadi manusia dengan tubuh-jiwa-roh sebagai manusia Yesus dari Nazaret. Tubuh kemanusiaan Yesus bukanlah tubuh yang semu sebagaimana dipahami oleh doketisme. Dalam ajaran doketisme pada prinsipnya menolak kemanusiaan Yesus. Kemanusiaan dan kebertubuhan Yesus menurut doketisme hanyalah semu. Namun tidaklah demikian menurut kesaksian Injil Yohanes keberadaan Yesus sebagai manusia. Yesus mengalami kodrat manusiawi yang dapat mengalami situasi lelah, haus, makan, dorongan emosi kasih, menangis, dan perasaan masygul. Surat Ibrani dengan jelas memberi kesaksian yang serupa, yaitu: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berdosa”. Karena itu makna “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita” menegaskan bahwa di dalam Yesus Kristus Allah mendirikan pemerintahanNya di tengah-tengah kehidupan dan sejarah umat manusia. Kerajaan Allah yang semula transenden dan sorgawi kini dalam inkarnasi Yesus terwujud nyata dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Karena Sang Firman Allah sungguh-sungguh menjadi manusia, maka kita dapat melihat kemuliaanNya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadaNya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. Di dalam inkarnasi Sang Firman Allah menjadi manusia Yesus, Ia menghadirkan “karya penyataan”. Melalui kehidupan dan karya Kristus, umat manusia dapat menemukan kehidupan, terang, anugerah, kebenaran, bahkan diri Allah sendiri. Sebab di Yohanes 1:18 Yesus menyatakan: “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakanNya”. Ungkapan “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakanNya” menunjuk relasi personal yang eksklusif dan intim tiada taranya antara Yesus dengan Allah. Karena itu hanya Yesus yang sanggup menyatakan kedirian Allah yang sesungguhnya. Yesus adalah manifestasi diri Allah yang adalah Sang Bapa di dalam keberadaan diriNya sebagai Anak Allah. Melalui inkarnasi Sang Firman menjadi manusia berarti melalui kehidupan dan karya penebusan Kristus, kodrat kemanusiaan dipulihkan. Kodrat kemanusiaan yang semula telah jatuh dalam dosa dan telah kehilangan kemuliaan sebagai gambar dan rupa Allah, kini di dalam Kristus dipulihkan.

III. Refleksi
Pencelikan mata rohani akan Kristus merupakan awal dari ziarah iman yang sesungguhnya ditahun 2020 ini. Karena melalui pencelikan mata rohani kita dimampukan untuk memaknai kekayaan kasih karunia Allah. Sebelum dicelikkan, sebenarnya kita telah dilimpahi oleh kasih karunia Allah. Namun, saat itu kita tidak mampu merasakan dan mengalaminya. Itu sebabnya, kita tidak mampu mengucap syukur, bersukacita, dan beriman. Kita akan melihat realita hidup dengan sikap pandang yang pesimis, suram, dan tanpa harapan. Penilaian-penilaian kita didasarkan pada luka-luka batin masa lalu atau pengalaman-pengalaman traumatis yang bersumber dari dosa secara struktural dan personal. Dosa struktural timbul karena kita dibentuk dan dibangun dalam masyarakat yang sakit dan berdosa. Dosa personal timbul karena kita dikendalikan oleh kuasa dosa dalam diri kita. Dosa struktural dan dosa personal membuat kita menjadi buta secara rohani, sehingga kita hidup dalam kegelapan dan menolak kasih karunia Allah. Oleh karena itu, kekristenan tanpa pencelikan mata rohani akan menjadi kekristenan yang buta. Kita tahu tentang keselamatan, tetapi tidak mampu mengalami anugerah Allah. Kita dapat memberi pelayanan, tetapi tanpa kegembiraan dan ucapan syukur. Hal ini karena kita membangun iman bukan berdasarkan kasih karunia Allah, melainkan dengan pengertian kita sendiri. Menyambut karya keselamatan Allah dalam inkarnasi Kristus berarti kita membuang pengertian duniawi tentang Allah untuk diganti dengan kasih karuniaNya. Hati kita menjadi media bagi Kristus untuk “menginkarnasikan” (menjelmakan) diriNya, sehingga firmanNya menjadi daging dalam kepribadian kita. Itu sebabnya, kehidupan kita mengalami pencerahan iman dan pembaruan hidup.

Menurut legenda Yahudi, ketika Allah bermaksud menciptakan manusia, para malaikat memberikan pandangannya masing-masing. Malaikat Keadilan berkata, “Jangan ciptakan manusia, Tuhan, karena mereka akan bertindak jahat kepada semuanya, menindas satu sama lain”. “Benar, ya Allah, jangan ciptakan mereka,” sambung Malaikat Kebenaran, “karena mereka pasti akan berdusta, melecehkan kebenaran, dan bahkan mencoba menipu Allah”. Malaikat Kekududan mendukung pendapat kedua rekannya, “benar, mereka pasti akan hidup sesat dan menghina kesucianMu, ya Allah”. Kemudian, majulah Malaikat Cinta Kasih dan berkata, “Ciptakanlah mereka, ya Allah, karena ketika mereka berdosa, aku akan datang pada mereka dan mewartakan cinta kasihMu, agar mereka berbalik kepadaMu”.

Sejak dunia dan manusia tercipta, sejarah selalu dipenuhi dan diwarnai dengan kasih Allah. Cinta kasih adalah jati diri Allah paling utama yang selalu hadir dalam hidup manusia, sekali-kali dalam kenyataannya, manusia selalu menghina dan melecehkan keadilan, kebenaran, dan kekudusan Allah. Itu sebabnya Yohanes menulis, “Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:8,16). Allah bukan hanya bersifat pengasih, tetapi Allah adalah kasih.

Mengapa pribadi Yesus menjadi begitu penting dalam keyakinan kita akan Allah yang adalah kasih? Tidak lain karena Yesus adalah bukti terbesar kasih Allah. Yesus adalah penjelmaan isi hati Allah yang terdalam. Allah kita adalah Allah empati. Empati berarti menyeberangi jurang. Suka orang lain menjadi suka kita; dukanya menjadi duka kita. Allah kita adalah Allah yang berempati dengan manusia, karena Dia bergerak menyeberangi jurang yang lebar dan dalam antara manusia dan Allah. Dia turun ke dunia dan bukan hanya menjadi sama dengan manusia. Filipi 2:1-11 menjelaskan gambaran Allah yang merendahkan diri turun ke bumi. Allah yang empatis.

Pdt. Andreas Pranata S. Meliala, S.Th-GBKP Rg. Cibinong

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD