MINGGU 08 JUNI 2025, KHOTBAH PERBAHANEN RASUL-RASUL 2:1-12 (PENTAKOSTA I)
Invocatio :
Johanes mperidiken alu lau, tapi piga-piga wari nari kam iperidiken alu Kesah Si Badia. (Perb. 1 : 5)
Ogen :
Kejadin 1 : 1 – 2 (T)
Kotbah :
Perb. Rasul-Rasul 2 : 1 – 12 (T)
Tema :
Dem Alu Kesah Si Badia / Dipenuhi Oleh Roh Kudus
Pendahuluan
Berbicara tentang dipenuhi, tentu istilah kata ini tidak asing bagi kita. Segala sesuatu yang penuh diawali dengan kekosongan, seperti air yang sudah penuh di bak tentunya bak tersebut awalnya kosong atau sudah berkurang dari sebelumnya. Sedemikianlah pembahasan kita hari ini yang berbicara tentang dipenuhi oleh Roh Kudus.
Berketepatan minggu ini dinamai Minggu Pentakosta, sejenak kita beranjak ke istilah Pentakosta. Pentakosta seperti yang kita ketahui bersama merupakan hari ke-50 setelah Paskah. Pada saat itu turunnya Roh Kudus kepada para murid Yesus saat mereka sedang berkumpul di Yerusalem (bnd. Kis. 2). Ditandai dengan fenomena yang terjadi, apa itu? Fenomena itu merupakan angina keras, lidah-lidah api, dan para murid dapat berbicara dalam berbagai bahasa yang dimengerti oleh orang-orang berbagai bangsa. Hari Pentakosta juga dianggap sebagai hari kelahiran gereja Kristen, karena sejak saat itu murid-murid mulai bersaksi secara terbuka. Ø
Penjelasan
Teks Melalui bahan kotbah kita, Kisah Para Rasul 2 : 1 – 12 berbicara tentang turunnya Roh Kudus kepada murid-murid. Ay.1, persiapan rohani dan kesatuan dimana hari Pentakosta merupakan 50 hari setelah Paskah. Orang Yahudi menyebutnya sebagai hari raya panen, dimana para murid juga bersatu dan berdoa seperti diperintahkan Yesus (Bnd. Kis 1:4,14) inilah bentuk kesiapan rohani. Ay. 2-3, adanya tanda supranatural. Angin kencang melambangkan kuasa dan kehadiran Roh Kudus (Bnd. Yehezkiel 37:9). Lidah-lidah api menggambarkan kemurnian, kuasa dan penyucian. Setiap orang secara pribadi menerima hadirat Roh Kudus.
Ay.4, adanya kepenuhan roh dan berbahasa. Mereka dipenuhi Roh Kudus dan mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, artinya bahasa manusia sungguhan yang dimengerti oleh para pendengar dari berbagai bangsa. Ini merupakan manifestasi karunia glossolalia, yang dalam konteks ini bukan bahasa roh pribadi tetapi bahasa manusia asing. Ay.5-11, reaksi orang banyak dapat kita ketahui dari situasi Yerusalem yang dipenuhi oleh orang Yahudi diaspora dari seluruh dunia yang datang untuk merayakan Pentakosta. Mereka terkejut mendengar para Rasul berbicara dalam bahasa ibu mereka sendiri. Inilah bukti dari Roh Kudus menembus batas bahasa dan bnudaya, menyiapkan jalan bagi pemberitaan Injil ke segala bangsa. Mereka mendengar tentang “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah”. Ay.12, adanya kebingungan dan keheranan tentang makna semua kejadian yang ada. Inilah jembatan bagi Petrus untuk berkhotbah (ay.14 – seterusnya) menghasilkan pertobatan ribuan orang (Ay.41).
Bahan bacaan yang pertama dalam Kejadian 1:1-2 merupakan awal dari cerita tentang penciptaan. Ditulis kepada umat Israel setelah keluar dari Mesir supaya mereka mengenal Allah sebagai pencipta dan penguasa sejati, bukan dewa-dewa Mesir atau Kanaan. Tujuan teks ini menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu, IA memperkenalkan sifatNya sebagai pencipta, teratur, penuh kuasa dan sumber kehidupan. Ay.1, Allah yang merupakan Pencipta dari segala yang tidak ada – ada. Ay.2, merupakan gambaran awal tentang keadaan bumi sebelum diatur dan dihuni, namun Allah sudah hadir dan aktif melalui Roh-Nya. Ayat ini juga merujuk tentang kesatuan karya penciptaan dengan karya keselamatan.
Invocatio Kisah Para Rasul 1:5 merupakan Firman yang disampiakan oleh Yesus yang bangkit kepada murid-murid sebelum IA naik ke Surga (Kis. 1:1-9). Yesus mempersiapkan para murid untuk peristiwa Pentakosta, saat Roh Kudus tercurah atas mereka (digenapi di Kis.2). Ayat ini menegaskan bahwa hidup orang Kristen bukan tentang pertobatan saja, melainkan tentang hidup dalam kuasa Roh Kudus. Baptisan Roh Kudus adalah pengalaman yang memperlengkapi untuk pelayanan, kesaksian dan pertumbuhan iman. Disinilah kita dapat melihat perbedaan antara symbol luar (air) dan kuasa rohani batiniah (Roh Kudus).
Aplikasi
Melalui bahan kotbah, bacaan pertama dan invocation diatas kita dapat mengetahui tentang benang merah ketiga-tiganya, yaitu bahwa Roh Kudus adalah benang merah yang menyatukan ciptaan, keselamatan dan pengutusan. Kitab Kejadian berbicara tentang Roh menciptakan dan memberi hidup, di Kisah Para Rasul Roh memperbaharui dan memberdayakan dan Roh Kudus membawa terang ke dalam kekacauan, dari awal dunia sampai kehidupan orang percaya.
Melalui ketiga Firman Tuhan ini, kita harus :
- Mengakui bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu. Sebagaimana Allah menciptakan dari kekosongan, kita percaya Ia dapat membentuk hidup kit yang kacau menjadi bermakna. Kita dipanggil untuk hidup dalam keteraturan bukan kebingungan.
- Membuka diri untuk dipenuhi Roh Kudus Orang Kristen harus aktif memelihara hubungan antara Roh Kudus melalui doa, firman dan ketaatan.
- Hiduplah sebagai saksi Tuhan Sama seperti murid-murid dipanggil untuk melayani, hendaklah panggilan itu juga ada pada kita. Melalui bahan kotbah, menyatakan bahwa kemampuan Roh yang dapat menjangkau semua bangsa, bahasa dan latar belakang.
Vik. Brema Ekin R. Surbakti, S.Si - Teol
MINGGU 01 JUNI 2025, KHOTBAH MAZMUR 88:1-10 (MINGGU EKSAUDI)
Incovation :
Sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini. (Yeremia 29:10)
Ogen :
Wahyu 3:14-22 (Tunggal)
Khotbah :
Mazmur 88 : 1-10 (Anthiponal)
Tema :
Dengarkanlah Permohonanku/ Dengkehken Min Pingko-Pingkoku
Pendahuluan
Minggu Eksaudi merupakan momen perenungan dalam kalender liturgi yang terletak di antara peristiwa Kenaikan Yesus ke surga dan Pentakosta. Istilah Eksaudi berasal dari bahasa Latin Exaudi Domine, yang berarti "Dengarkanlah, ya Tuhan," sebuah seruan yang diambil dari Mazmur 27:7. Minggu ini mengajak kita mengingat kembali masa penantian para murid setelah Yesus naik ke surga, ketika mereka hidup dalam ketegangan antara perpisahan dan janji kedatangan Roh Kudus. Dalam suasana spiritual yang penuh penantian ini, Minggu Eksaudi menjadi momen untuk merenungkan bagaimana orang percaya tetap teguh dalam doa dan iman, meski belum melihat jawaban langsung dari Allah. Doa sebagai wujud komunikasi dengan Tuhan bukan hanya praktik keagamaan, tetapi telah menjadi bagian integral dari berbagai tradisi budaya dan religius. Penelitian menunjukkan bahwa praktik doa yang konsisten dapat membantu seseorang mengelola tekanan psikologis, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan stabilitas emosional. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandhi, "Doa seharusnya menjadi kunci di pagi hari dan gembok di malam hari," yang menggambarkan peran doa sebagai penuntun hidup yang memberi ketenangan dan arah dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Lebih dalam lagi, seruan “Dengarkanlah permohonanku” dalam doa bukan sekadar ungkapan emosional, melainkan pernyataan iman yang lahir dari relasi yang mendalam antara manusia dan Allah. Dalam tradisi Alkitab, ungkapan ini sering muncul dalam situasi penderitaan, ketidakadilan, dan ketidakpastian, sebagai bentuk keyakinan bahwa Allah adalah Pribadi yang tidak hanya mendengar tetapi juga peduli. Namun secara teologis, seruan ini juga mengangkat pertanyaan yang lebih dalam: bukan sekadar apakah Allah mendengar, tetapi bagaimana umat memahami respons Allah yang tidak selalu sesuai dengan harapan manusia. Di sinilah kita ditantang untuk melihat bahwa doa bukan hanya sarana meminta perubahan situasi, tetapi proses pembentukan iman dan penyerahan diri. Dengan demikian, permohonan “Dengarkanlah permohonanku” menjadi titik temu antara kerinduan manusia dan kehendak Ilahi yang penuh misteri, sekaligus sebuah dialog iman yang menuntun kepada transformasi kehidupan yang sejati.
Pembahasan Teks
Dalam bagian teks invocatio Yeremia 29:10, “Sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini.” Ayat ini merupakan bagian dari surat nabi Yeremia kepada bangsa Israel yang sedang mengalami pembuangan di Babel. Mereka hidup dalam keterasingan, kehilangan tanah air, dan berada dalam situasi yang membuat mereka bertanya-tanya apakah Tuhan masih mendengar permohonan mereka. Dalam konteks ini, firman Tuhan melalui Yeremia hadir sebagai jawaban ilahi yang tidak selalu sesuai dengan harapan langsung manusia. Tuhan menyatakan bahwa pemulihan memang akan datang tetapi bukan segera, akan ada waktu penantian selama 70 tahun. Di sinilah kita melihat bagaimana seruan iman akan teruji oleh waktu dan realitas. Tuhan mendengar, tetapi Dia menjawab sesuai dengan waktu dan rencana-Nya yang lebih besar. Janji pemulihan menunjukkan bahwa Allah tidak mengabaikan umat-Nya, namun Dia membentuk dan memurnikan mereka di tengah proses menunggu. Teks ini meneguhkan kita bahwa dalam setiap permohonan, meskipun terasa lama atau bahkan diam, Tuhan tetap bekerja dalam ketepatan waktu-Nya. Doa bukan tentang mempercepat jawaban, tetapi memperdalam pengharapan dan kesetiaan dalam perjalanan iman.
Dalam bacaan kita melalui kitab Wahyu 3:14-22, menyajikan surat ketujuh dari Kristus yang ditujukan kepada jemaat di Laodikia, sebuah kota makmur di Asia Minor yang dikenal dengan pusat perbankan, industri tekstil, dan sekolah kedokterannya. Dalam surat ini, Kristus memperkenalkan diri-Nya sebagai "Amin", "Saksi yang setia dan benar", serta "Permulaan dari ciptaan Allah" yang merupakan sebuah pengakuan otoritatif bahwa apa yang akan disampaikan-Nya adalah benar, dapat dipercaya, dan berasal langsung dari sang sumber kehidupan. Namun, dalam hal ini muncul sebuah teguran yang keras bahwa kondisi spiritual jemaat digambarkan sebagai "suam-suam kuku" alias tidak panas, tidak dingin. Metafora ini sangat kontekstual, mengingat letak geografis Laodikia di antara Hierapolis yang terkenal dengan mata air panasnya, dan Kolose dengan air dinginnya yang menyegarkan. Kondisi "suam-suam kuku" menunjukkan iman yang pasif, suam, tidak berdaya, dan tidak menghasilkan dampak nyata.
Teguran ini semakin dalam karena jemaat Laodikia hidup dalam ilusi rohani: mereka merasa kaya, cukup, dan tidak kekurangan apa-apa, padahal di mata Kristus mereka miskin secara spiritual, buta secara rohani, dan telanjang dalam kehidupan iman. Dalam kasih-Nya, Kristus tidak hanya menegur, tetapi juga memberikan solusi yang penuh makna simbolis seperti, "membeli emas yang dimurnikan dengan api" sebagai gambaran kekayaan iman yang sejati, "pakaian putih" untuk menutupi aib rohani, dan "minyak untuk mata" sebagai lambang pencerahan batin yang sejati. Lebih dari itu, Yesus mengucapkan kalimat yang sangat personal dan menyentuh hati: "Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok..." (ay. 20). Ini adalah undangan yang tidak hanya berlaku bagi jemaat Laodikia, tetapi juga bagi setiap orang percaya di sepanjang masa bahwa Kristus terus mengetuk hati, menanti agar kita mendengar dan membuka diri untuk bersekutu kembali dengan-Nya. Bagian ini memberi pembalikan yang penting yaitu, sering kali manusia berseru agar Tuhan mendengar doa mereka, namun dalam Wahyu 3 ini, justru Tuhanlah yang mengetuk dan memohon agar manusia mau mendengarkan suara-Nya. Relasi dengan Tuhan bukan hanya soal permintaan dari pihak manusia, tetapi juga kesiapan untuk mendengar dan merespons panggilan Tuhan dengan iman dan ketaatan. Surat kepada Laodikia menjadi cermin bagi gereja dan orang percaya masa kini bahwa sekalipun dalam kemakmuran dan kenyamanan hidup, kita harus tetap menjaga kepekaan rohani, tidak menjadi suam, dan tidak tertidur dalam rasa puas diri. Ketika kita berseru agar Tuhan mendengarkan doa kita, Tuhan pun sedang mengetuk dan berseru agar kita mau mendengarkan suara-Nya dan merespons-Nya dengan pertobatan dan iman yang sungguh.
Mazmur 88 :1-10 sebagai teks khotbah merupakan salah satu teks yang unik dalam Kitab Mazmur. Tidak seperti mazmur ratapan lainnya yang umumnya berakhir dengan nada pengharapan atau pujian, Mazmur 88 tetap berada dalam nada keputusasaan dari awal hingga akhir. Hal ini menimbulkan pertanyaan teologis dan pastoral yang mendalam: apakah Tuhan tetap hadir dalam keheningan? Apakah iman masih mungkin diungkapkan melalui ratapan yang tidak berujung dengan pujian?
Teks ini dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari genre mazmur ratapan individu. Secara struktural, mazmur ini terdiri atas tiga bagian utama yaitu : seruan pembuka kepada Tuhan (ay. 1-2), deskripsi mendalam mengenai penderitaan dan kedekatan dengan kematian (ay. 3-7) dan keluhan tentang keterasingan sosial serta perasaan ditinggalkan oleh Allah (ay. 8-10). Meskipun mengikuti pola umum mazmur ratapan, hal yang paling menonjol adalah tidak adanya penutup berupa ungkapan pujian atau pengakuan iman seperti yang lazim ditemukan dalam mazmur lainnya. Ketiadaan ini bukanlah sebuah kekurangan dalam bentuk, melainkan penegasan terhadap kedalaman penderitaan yang dialami pemazmur. Ia tidak berdoa dari tempat yang terang akan pengharapan, tetapi dari kegelapan yang menyelimuti jiwanya. Dalam teks ini kita melihat pilihan kata yang tajam dan sarat makna simbolik. Ungkapan seperti "Sheol" (dunia orang mati), "lubang kubur" dan "aku dianggap seperti orang yang tidak lagi Engkau ingat" membangun gambaran tentang kehancuran dan keputusasaan total. Pengulangan serta nada ratapan yang dominan memperkuat kesan bahwa pemazmur tidak hanya menyampaikan penderitaan, tetapi juga mengekspresikan bagaimana kehidupannya berada pada batas ambang antara kehidupan dan kematian. Dalam konteks sastra Ibrani, bentuk ratapan seperti ini memperlihatkan bahwa ekspresi iman tidak harus selalu optimistis atau penuh pujian kadang kala, iman justru mewujud dalam bentuk protes yang jujur dan terbuka di hadapan Allah.
Iman sejati tidak selalu berbicara bersinar terang, tetapi kadang merintih dalam gelap, sehingga hal ini menggarisbawahi realitas iman yang jujur dan manusiawi. Dalam kehidupan rohani, ada saat-saat di mana terang pengharapan seolah redup, dan kehadiran Allah terasa jauh. Namun justru dalam situasi seperti inilah kualitas iman diuji dan dimurnikan. Mazmur ini menunjukkan bahwa berseru kepada Tuhan dari tempat yang gelap bukanlah tanda kelemahan iman, melainkan wujud dari keberanian untuk tetap bergantung pada-Nya ketika semua rasa dan logika tidak lagi mendukung. Di balik ratapan yang sunyi dan keheningan yang menyakitkan, terdapat kepercayaan yang dalam bahwa Allah, meski tampak diam tetapi sesungguhnya tidak pernah benar-benar meninggalkan umat-Nya. Iman seperti inilah yang akan membentuk kedewasaan spiritual, karena iman ini bukan lahir dari kenyamanan, melainkan dari pergumulan dan perjuangan yang tidak pernah menyerah.
Refleksi
Melalui tema “Dengarkanlah Permohonanku” kita belajar bahwa dalam memohon kepada Tuhan melalui doa bukan hanya sekedar seruan permintaan, tetapi jauh lebih penting akan pengakuan iman kita bahwa Allah mendengar, walaupun jawabannya tertunda, berbeda, atau bahkan seakan-akan tidak ada. Di sisi lain, minggu ini juga mengingatkan bahwa saat kita berseru, Tuhan pun berseru kepada kita memanggil untuk kembali, untuk percaya, dan untuk membuka pintu hati. Relasi doa antara manusia dan Allah tidak selalu terjadi dalam suasana terang dan kepastian. Justru, sering kali hubungan itu berlangsung dalam situasi penantian, keheningan, bahkan kebingungan rohani. Teks Mazmur menjadi cerminan bahwa iman tidak selalu tampil sebagai kemenangan, tetapi sebagai keberanian untuk tetap bertahan, sekalipun satu-satunya kekuatan yang tersisa hanyalah kemampuan untuk berseru kepada Tuhan. Dalam kehidupan nyata, banyak orang percaya yang bergumul dalam doa saat menghadapi penyakit kronis yang tak kunjung sembuh, tekanan ekonomi yang tak teratasi, atau konflik keluarga yang terus berlarut tanpa titik terang.
Doa dan pengharapan berjalan beriringan, bukan dalam kecepatan waktu yang kita inginkan, melainkan dalam kepastian waktu Tuhan yang tak pernah meleset. Di sisi lain, menanti Tuhan bukan hanya soal meminta agar didengar, tetapi juga membuka diri untuk mendengar saat Tuhan berbicara dan mengetuk pintu hati kita melalui firman, orang sekitar, bahkan melalui situasi yang sulit. Iman sejati adalah iman yang tetap berseru dalam gelap, karena keheningan Tuhan bukanlah tanda Ia tidak hadir, melainkan ruang pembentukan yang memperdalam ketergantungan dan kejujuran rohani umat-Nya. Maka, Eksaudi menjadi momen reflektif, mengajarkan bahwa dalam diamnya langit, dalam panjangnya waktu, dan dalam ketegangan antara naiknya doa dan datangnya jawaban, Tuhan tetap bekerja, dan iman tetap bertumbuh.
Sebagai penutup mari kita belajar dari kisah hidup William Tyndale yang memperlihatkan keteladanan nyata bagaimana iman sejati tetap berseru, bahkan di tengah keheningan dan bahaya. Tyndale, seorang sarjana Alkitab yang berani menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Inggris agar dapat diakses oleh semua rakyat yang memiliki keterbatasan dan hidup dalam bayang-bayang penganiayaan. Doanya sederhana namun berani yaitu, agar setiap orang, bahkan petani sekalipun, dapat memahami Firman Tuhan. Ia dikhianati, dipenjara, dan akhirnya dibakar hidup-hidup pada usia 42 tahun. Namun dalam masa penantian, pelarian, dan keheningan yang panjang, ia tetap menggenggam keyakinan bahwa Tuhan pasti mendengar seruannya. Kalimat terakhirnya sebelum dieksekusi adalah: “Ya Tuhan, bukalah mata Raja Inggris.” Sebuah doa yang tidak langsung dijawab saat itu, namun bertahun-tahun kemudian setelah ia wafat doa itu terwujud ketika Alkitab dalam bahasa Inggris diizinkan beredar luas. Peristiwa tersebutlah yang menjadi cikal bakal penerjemahan Alkitab jika hari ini kita bisa membacanya dengan bebas. Faktanya, 90% isi Alkitab versi King James dan 75% isi Revised Standard Version berasal dari terjemahan Tyndale. Bahkan, banyak istilah Alkitab dalam bahasa Inggris yang kita kenal sekarang berasal dari terjemahannya yang jernih dan mudah dipahami. Kisah Tyndale menegaskan bahwa iman sejati tidak selalu diiringi jawaban instan, tetapi tetap bertahan dalam keheningan dengan keyakinan bahwa Tuhan bekerja, meski kadang dari balik tirai sejarah. Tyndale mengajarkan kita bahwa seruan dari hati yang setia tidak pernah sia-sia di hadapan Tuhan yang hidup.
Pdt. Maria E. br Sitepu, S.Th-Runggun Surabaya
KAMIS 29 MEI 2025, KHOTBAH MARKUS 16:19-20 (KENAIKAN TUHAN YESUS KE SURGA)
Invocatio :
“Allah telah naik dengan diiringi sorak-sorai, ya TUHAN itu, dengan diiringi bunyi sangkakala. (Mazmur 47:6)
Ogen :
Amsal 30: 1-5
Khotbah :
Markus 16: 19-20
Thema :
Yesus Nangkih Ku Surga / Yesus Naik Ke Sorga
Pembuka
Pada hari Kamis 29 Mei 2025 umat kristiani di seluruhpenjuru belahan dunia menghayati hari kenaikan Tuhan Yesus ke sorga. Khususnya umat kristiani yang ada di Indonesia boleh berbangga hati karena pemerintah Indonesia telah menetapkan hari kenaikan Tuhan Yesus ke surga sebagai hari libur Nasional, sehingga umat kristiani bisa melaksanakan peribadatan di hari yang bersejarah itu. Dibeberapa negara seperti Singapura misalnya Hari kenaikan tersebut bukan merupakan hari libur. Itulah sebabnya, perkantoran dibuka seperti biasanya. Kendati pun memang realita yang kita lihat, bahwa peristiwa kenaikan ini dirayakan tidak semeriah, gaungnya sampai kemana-mana dalam menyambut hari-hari besar umat Kristiani yang lain semisal Natal, Paskah dll. Hal ini tidak berarti bahwa peristiwa Natal dan Paskah, lebih agung, lebih mulia, lebih besar, dari pada peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke Surga.
PENJELASAN TEKS
Markus 16:19-20
Kenaikan Tuhan Yesus merupakan salah satu peristiwa penting bagi kehidupan umat Kristen. Peristiwa ini terjadi pada hari keempat puluh setelah hari raya Paskah. Dalam satu bagian perikop yang utuh (Markus 16:9-20) serangkaian peristiwa setelah kebangkitan Yesus, hampir semua diceritakan begitu ringkas. Para murid menjadi tokoh utama kedua setelah Yesus. Lalu diawali dari Yesus menampakkan diri beberapa kali kepada beberapa murid, kemudian Yesus mengutus mereka untuk menyampaikannya kepada murid-murid yang lain sampai Ia menampakkan diri kepada kesebelas murid (ay.9-14). Dilanjutkan dengan Tuhan Yesus mengutus para murid untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia dan seluruh makhluk (15-18). Diakhiri dengan peristiwa Yesus terangkat ke sorga dan para murid pergi memberitakan Injil sesuai dengan perintah Yesus (ay. 19-20). Peristiwa kenaikan Tuhan Yesus diceritakan begitu singkat. Tuhan Yesus terangkat ke sorga setelah berbicara dengan para murid-Nya.
Alkitab mencatat bahwa sesudah kebangkitanNya dari antara orang mati, selama 40 hari Ia berulang ulang kali menampakkan diri kepada murid-muridNya. Bahkan bukan hanya sekedar menampakkan diri, tetapi juga berdialog dan makan bersama-sama dengan mereka. Tentunya ada maksud Allah mengapa Tuhan Yesus harus menampakkan diri secara berulang-ulang selama 40 hari. Masih segar dalam ingatan, hal mana kematian Tuhan Yesus yang sangat sadis itu telah mengguncang iman para murid, sehingga mereka pun hidup tercerai berai, bagaikan domba tanpa gembala, bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Mengapa tidak, guru yang mereka teladani, bangga-banggakan terbujur kaku, mati dengan sadis dan sangat hina (disalib gambaran kematian paling hina). Saat itu pengharapan para murid telah kandas itulah sebabnya para murid kembali ke aktifitasnya masing-masing sebelum mereka dipanggil. Tetapi pemikiran murid-murid beda dengan kemahakuasaan Allah. Karena realitasnya berbalik seratus persen. Kematian tidak mampu menahan tubuh Tuhan Yesus di dalam kubur. Dan pada hari yang ke tiga Ia bangkit dari antara orang mati. Kebangkitan Tuhan Yesus disusul dengan penampakan diriNya secara berulang-ulang, tentunya untuk memulihkan iman para murid yang telah goncang itu. Dan menjelang kenaikanNya ke surga, Tuhan Yesus pun memberikan perintah kepada muridNya untuk memberitakan Injil (Markus 16:15).
Khususnya pada ay. 15-20 ada tiga pokok pembahasan mengenai pengutusan Yesus kepada murid-muridNya. Pertama penugasan kepada para murid untuk pergi ke seluruh dunia untuk mengabarkan Injil kepada segala mahluk sehingga mereka menerimanya dan beroleh keselamatan. Kedua ditegaskan bahwa para murid akan disertai tanda-tanda yang hebat yaitu mampu mengusir setan-setan, mampu berbicara bahasa baru, bisa menumpangkan tangan ke atas orang sakit. Begitulah para murid yang berangkat memberitakan Injil ke seluruh dunia diteguhkan dengan tanda-tanda yang dibekalkan kepada mereka.
Amsal 30: 1-5
Dalam nas ini, kita mendapatkan perkataan Agur bin Yake dari Masa. Agur mengerti jika manusia itu bodoh dan tidak berhikmat. Ia mengakui kalau dirinya bodoh (2-3). Ini menunjukkan dirinya merupakan orang berhikmat sebab umumnya, orang bodoh selalu menganggap dirinya pintar, tetapi orang berhikmat mengerti betapa ia tidak tahu apa apa. Bagian ini dibuka dengan sebuah pengakuan dari Agur bin Yake tentang dirinya yang penuh keterbatasan dalam memahami Allah. Beragam pertanyaan tentang siapa yang naik ke surga lalu turun, siapa yang mengumpulkan angin dalam genggaman, siapa yang menetapkan segala ujung bumi, merupakan sebuah refleksi iman tentang kebesaran Allah. Lantas, dengan rendah hati Agur bin Yake mengakui: “Engkau tentu tahu”. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa manusia penuh dengan keterbatasan, sedangkan Allah tak terbatas. Sebagai manusia yang terbatas maka sudah selayaknya manusia senantiasa berlindung kepada Allah saja. Sebab melalui pengetahuan-Nya sajalah manusia dimampukan untuk belajar mengerti tentang kehidupan ini. Mengakui keterbatasan diri di hadapan Allah adalah bentuk dari kerendahan hati. Kesadaran akan keterbatasan diri akan menjadikan diri sebagai pribadi yang selalu bersandar dan berlindung pada-Nya.
MAZMUR 47:6
Di Mazmur 47, dalam teks renungan kita pada hari ini, pemazmur mengajak segenap umat Tuhan untuk melantunkan puji-pujian dan sorak-sorai bagi Tuhan Allah yang telah turun dari Surga untuk menolong dan melindungi mereka (Mzm. 46), dan sekarang Tuhan Allah itu kembali naik ke Surga (ay.6), menuju tahta kerajaan-Nya yang kudus (ay.9). Pemazmur mengajak seluruh umat Tuhan, bahkan mengajak segala bangsa (ay.2) yang telah mengalami pertolongan dan perlindungan-Nya untuk bermazmur sekaligus mengakui kekuasaan Allah sebagai Raja yang sesungguhnya, Raja yang tidak hanya memerintah atas bangsa Israel tetapi juga memerintah atas bangsa-bangsa lain, Raja yang besar atas seluruh bumi (ay.3), Raja yang sangat dimuliakan (ay.10). Apa artinya, yaitu bahwa tidak ada alasan untuk tidak memuji Tuhan, tidak ada alasan untuk tidak mengakui kekuasaan Tuhan, dan tidak ada alasan untuk tidak menerima Dia sebagai penolong, pelindung, dan penguasa mutlak dalam kehidupan manusia.
APLIKASI
- Alkitab mencatat secara lengkap peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke sorga. Kita mulai dari Injil Markus 16:19 mengatakan “Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah Ia ke sorga”. Sedangkan Injil Lukas 24:51 mengatakan “Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga”. Lebih detail lagi dapat kita lihat dalam kitab Kisah Para Rasul 1:9 “Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka”. Saksi mata dalam sebuah peristiwa sangatlah penting. Itu sebabnya dalam peradilan yang ada didunia ini pun membutuhkan saksi mata untuk menguatkan suatu peristiwa ataupun persidangan. Tempat kejadian perkata (TKP) yaitu Bukit Zaitun menjadi saksi bisu terhadap kenaikanNya, dan murid-murid Tuhan Yesus, menjadi saksi mata yang menyaksikan secara langsung peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke sorga. Ada pandangan yang mengatakan bahwa peristiwa kenaikan merupakan sebuah mitos. Tidak benar bahwa Ia bangkit dari antara orang mati apalagi naik ke sorga. Kedua pandangan ini tidak mempunyai dasar yang benar, sebab peristiwa kebangkitan dan kenaikan Tuhan Yesus kesorga ada saksi mata yang menyaksikan peristiwa itu.
- Para murid melihat bagaimana Yesus terangkat ke Surga. Mereka menyaksikan kemuliaan-Nya. Betapa indahnya peristiwa itu. Bisa dibayangkan, betapa takjubnya para murid melihat peristiwa itu. Tetapi, lihatlah respons para murid, mereka tidak berhenti pada rasa takjub yang mereka alami, melainkan mereka segera pergi memberitakan Injil ke segala penjuru.
Di dalam kehidupan kita, tentu ada juga hal-hal yang membuat kita terkagum-kagum. Di sinilah kita diajak meneladani apa yang dilakukan oleh murid-murid Yesus. Mereka tidak tertawan oleh rasa takjub, melainkan bergegas memberitakan kabar baik itu. Kejadian luar biasa dalam hidup kita tentulah membawa sukacita besar. Tetapi, jangan biarkan sukacita itu hanya mengendap di hati kita sendiri. Kita perlu menyaksikan kebaikan Tuhan yang telah kita lihat dan terima. Misalnya, pemulihan dari sakit. Kita saksikan pemulihan yang kita terima itu untuk mendukung sesama yang sedang bergumul dalam sakit. Jangan biarkan sukacita itu berhenti pada diri kita, melainkan saksikanlah!
- Biarlah kita hidup dengan menghormati hadirat Tuhan dengan menyembah-Nya, bukan hanya lewat kata-kata saja, tetapi bisa juga melalui sikap bersujud, bertelut, tersungkur, mengangkat tangan dan sebagainya sebagai tanda merendahkan diri dan ketidaklayakan kita di hadapan Tuhan, karena Dia adalah Allah yang besar, dan Raja yang besar mengatasi segala allah. Berbagahagialah kita semua yang telah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Raja kehidupan kita. Terima dan laksanakanlah ajaran-Nya dalam setiap langkah kehidupan kita, Dia telah mempersiapkan tempat bagi kita semua dalam Kerajaan Allah Bapa di surga. Karena itu, bertepuk tangan dan eluk-elukkanlah Tuhan sepanjang hidup kita. Marilah kita menyembah-Nya dengan yang benar. Beribadah kepada-Nya dengan penuh hormat dan takut akan Dia, karena Dialah Raja di atas segala raja, Tuhan kita.