Minggu 01 September 2019, Khotbah Markus 7:1-13
Invocatio :
“Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” (Mazmur 25 : 15)
Bacaan :
Mazmur 150 : 1 – 5 (Responsoria)
Tema :
“Mersaksi Melalui Adat”
Pendahuluan
Saudara-saudari yang terkasih, bersaksi adalah satu dari tiga tugas/ panggilan Tuhan bagi umat percaya (Gereja). Kita senang dan berbangga bahwa umumnya gereja kita cukup semangat dan semarak dalam minggu budaya. Minggu budaya tampil beda dari minggu-minggu lainnya. Dalam minggu budaya liturgos dan pengkhotbah memakai bulang/ tudung dan beka buluh/ uis nipes atau istilahnya berpakaian lengkap tanpa emas-emas. Sementara jemaat berpakaian adat baik Lansia, Mamre, Moria ras Permata. Mimbar Gereja dan ruangan juga dihias/ didekorasi bernuansa budaya. Tidak ketinggalan alat musik dan musik etnis/ tradisional kita ikut menyemangati ibadah kita. Semua senang dan gembira. Itulah salah satu bentuk dan wujud Gereja yang menghargai adat dan budaya, Gereja yang bersaksi melalui budaya. Namun, apakah hanya dengan begitu saja kita telah bersaksi melalui budaya kita? Apakah cukup hanya dengan pakaian adat, aksesori dan alat musik etnis Karo saja yang namanya bersaksi melalui budaya? Mari kita melihatnya lebih jauh dan lebih dalam lagi.
ISI
Bukan lahiriah dan formalitas belaka
Para Farisi dan ahli Taurat sengaja datang dari Yerusalem untuk menjumpai Yesus tapi bukan dengan maksud baik. Mereka menolak Yesus sebagai Mesias, Anak Allah oleh karena sebelumnya Yesus meminta mereka untuk menunjukkan iman mereka melalui perbuatan. Berkali-kali sebelumnya mereka mengkritik Yesus karena Ia menunjukkan kepada orang banyak bahwa Ia bisa mengampuni dosa, murid-muridNya tidak berpuasa, Ia memberikan pengertian baru tentang hari Sabat, bahkan menyembuhkan orang lumpuh pada hari Sabat (2:1-3:6). Orang Farisi dan ahli Taurat datang menjumpai Yesus untuk menyalahkan dan menolak Dia. Mereka mencari celah untuk ‘menyerang’ Yesus. Ketika mereka melihat murid Yesus makan dengan tidak mencuci tangan terlebih dahulu maka mereka mengangkat kasus itu sebagai senjata untuk menjatuhkan Yesus. Mereka ‘mendakwa’ Yesus bahwa murid-muridNya telah melanggar adat istiadat nenek moyang mereka. Kita tahu adat pembasuhan sangat penting bagi orang Yahudi. Hal ini diperkuat oleh penemuan arkeologi dimana ada banyak tempat pembasuhan sebagai adat, ritual mereka. Salah satunya yaitu di Qumran. Yesus justru membalikkan tuduhan mereka. Yesus mengkritik balik mereka dengan menyebut mereka sebagai orang munafik. Yesus mengutip firman yang tertulis dalam Yes. 29:13. Orang Farisi cs memuliakan Allah hanya dengan bibirnya saja, tapi hatinya jauh dari Allah. Ajaran mereka hanyalah ajaran manusia saja. Karena itu sia-sia mereka beribadah kepada Allah. Mereka telah mengabaikan perintah Allah dengan berpegang pada adat istiadat manusia.
Jangan menghakimi dari kulitnya/ penampakan luarnya saja. Inilah yang telah dilakukan orang Farisi dkk terhadap Tuhan Yesus dan muridNya. Mereka menolak Tuhan hanya dengan melihat yang terlihat oleh mata jasmaninya saja. Mereka tidak mampu melihat lebih dari yang terlihat oleh mata. Mereka tidak mampu melihat sampai ke dalam hati. Mereka terlalu berfokus pada yang lahiriah dan formalitas saja. Mereka terlalu memutlakkan adat dan aturan belaka. Adakah gereja kita juga berlaku demikian? Adakah aturan yang adat dan gereja kita sedemikian keras dan ketat sehingga bisa mengabaikan perintah Tuhan? Perhatikan aturan diakonia di runggun kita. Apakah tindakan, perlakuan harus persis sama terhadap anggota yang ada? Perhatikan cokong-cokong di pesta adat Karo khsususnya di Sumatra. Aturan yang tidak tertulis itu telah demikian membebani tamu/ undangan. Contoh lain tentang pembagian harta warisan. Ada anak yang meminta pembagian warisan harus sama. Kalau tidak sama berarti tidak adil. Bukankah pembagian warisan itu didasari dengan kasih? Sudah saatnya kita gereja melihat isi, inti dan hakekat dari satu aturan, adat dan tradisi yaitu untuk saling mengasihi seperti perintah Allah bagi kita.
Adat istiadat tidak menggantiken firman Allah
Yesus menegor dengan keras orang Farisi dkk karena mereka telah menggantikan perintah Allah dengan adat istiadat nenek moyang mereka. Melalui jawabNya, Yesus sangat prihatin apabila tafsiran manusia dibiarkan menggantikan firman Tuhan yang adalah sumber otoritas dan kuasa. Adat ada bukan menggantikan perintah Allah, tapi untuk menegaskannya. Adat ada untuk mendukung firman Tuhan, bukan sebaliknya. Adat tidak boleh menggantikan posisi firman Tuhan. Yesus memberi contoh bagaimana orang Farisi cs mengesampingkan firman Tuhan demi adat istiadat. Perintah Allah yang kelima, “Hormatilah ayahmu dan ibumu!” (ayat 7, Kel. 20:12). Selain firman ini ada ayat mengatakan bahwa nazar atau sumpah kepada Allah harus ditepati (Bil. 30:2). Orang Farisi cs telah mengembangkan firman ini dan telah menjadi tradisi. Tradisi tersebut mengatakan bahwa seseorang dapat bersumpah menyatakan bahwa sebagian harta bendanya dia persembahkan kepada Allah. Lebih lanjut adat/ tradisi mengatakan bahwa harta yang telah dipersembahkan tersebut tidak harus diserahkan ke Bait Allah. Harta tersebut tetap di tangan mereka sekalipun telah dinazarkan untuk Allah. Harta yang telah dipersembahkan itu akan diberikan bila dia sudah mati. Sementara mereka masih hidup, harta tersebut boleh mereka pakai dan nikmati. Tetapi ketika orangtuanya butuhndibantu dan didukung secara finansial, mereka bisa mengelak dengan alasan uang tersebut telah disumpahkan untuk dipersembahkan kepada Allah. Mereka menggunakan sumpah mereka bukan untuk menghormati Allah tetapi sebagai cara untuk mengelak dari tanggungjawab mereka menghormati orangtua. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia dapat memberi banyak contoh lain bagaimana adat dan tradisi mengizinkan orang mengelak dari hukum Allah daripada mematuhinya (ayat 13).
Dalam hal membuat aturan, undang-undang dan adat orang Farisi jagonya. Dari 10 perintah Allah mereka telah kembangkan menjadi 613 perintah dan aturan. Tetapi banyak sekali akhirnya yang dikembangkan itu yang disebut dengan adat, aturan tradisi telah begitu bersifat legal, procedural dan formalitas. Kita harus begitu berhati-hati dalam menggunakan adat, budaya dan tradisi yang kita punya dalam menyatakan kehendak Allah. Jangan kiranya adat dan tradisi kita menggantikan kebenaran firman Allah. Jadikanlah Alkitab sebagai otoritas tertinggi dan terakhir dalam hidup dan kesaksian kita. Jangan pandai sekali membuat aturan, AD/ ADT kalau itu justru keluar dari perintah Tuhan.
Adat tidak boleh menggantiken firman dan perintah Tuhan. Ketika adat dipakai untuk menggantikan perintah Allah maka yang ada hanyalah peraturan-peraturan manusia saja. Saat adat menggantiken perintah Tuhan maka adat telah ditempatkan di atas Kristus. Kristuslah justru yang mentransformasi budaya dan tradisi. Dimana budaya ditransformasi, maka budaya itu akan baik, berguna dan mejadi berkat. Itulah yang menyenangkan Tuhan. Tuhan mau kita menyembah dan memuliakan Dia dengan hati kita.
Bersaksi melalui adat
Kita percaya bahwa segala sesuatu dari Allah, oleh Dia dan kepada Dia. Kita dan adat kita yang baik juga berasal dari Dia. Tuhan memanggil kita semua untuk memuliakan Dia (Roma 11:36). Kita bisa memuliakan Dia dengan memuji-muji Dia bdk Mazmur 150). Pujian kita bisa menjadi kesaksian kita. Dan kita bersaksi melalui adat kita. kita bisa bersaksi melalui falsafah kekaroan kita yaitu merga silima, tutur siwaluh, rakut sitelu dan perkade-kaden 12 tambah sada. Kita bisa beraksi melalui pakaian adat kita, tarian kita, alat musik kita, seni budaya, seni suara dst. Tetapi sudah saatnya bersaksi melalui adat dan budaya yang lebih substansial bukan formalitas dan lahiriah saja. Memakai adat dan budaya, kita untuk menyatakan kasih kepada Allah dan sesama.
Memakai pakaian adat, bulang-bulang, beka buluh, tudung langge-langge dan uis nipes, rose la eremas-emas di saat minggu budaya itu bagus dan indah. Tetapi akan jauh lebih bagus dan lebih indah bila fisosofi dan pesan dibalik aksessori dan adat yang ada itu kita tunjukkan di dalam hidup berjemaat dan bermasyarakat. Sebagai senina, kita semakin peduli dan mendukung saudara dan keluarga kita. Sebagai kalimbubu, kita semakin memberkati anak beru kita. Dan sebagai anak beru kita menyatakan hormat dan kasih kita kepada kalimbubu kita.
Penutup/ kesimpulan
Gereja yang hidup adalah gereja yang bersaksi. Sebaliknya, gereja yang tidak bersaksi, enggan/ malu bersaksi, dan tidak mau bersaksi adalah gereja yang mati. Panggilan untuk bersaksi tetap berlaku sampai Tuhan Yesus datang kali kedua (bnd Mat. 28:18-19; Mrk. 16:16; Kis. 1:8; 2 Tim. 4:2). Kita dipanggil untuk bersaksi kapan saja dan dimana saja kepada siapa saja. Bersaksi bisa melalui banyak media dan cara. Kita bersaksi melalui adat dan budaya kita. Adat dan budaya kita bisa menjadi sarana dan alat yang efektif untuk menyampakan kehendak Tuhan. Bersaksi melalui budaya kita membuat orang Karo semakin mudah memahami firman Tuhan dan melaksanakannya. Bersaksilah melalui budaya menjangkau jiwa-jiwa yang belum percaya. Bersaksilah baik secara pribadi, keluarga maupun bersama. Kita bersaksi melalui adat kita untuk memuliakan Dia. BagiNyalah kemuliaan dari sekarang sampai selama-lamanya. Amin.
Pdt. Juris Tarigan, MTh;
GBKP RG Depok – LA