MINGGU 26 NOVEMBER 2023, KHOTBAH 2 TIMOTIUS 4:6-8
Tema :
“Lit Paksana Nadingken Kegeluhen” (Ada Waktunya Meninggalkan Kehidupan)
Invocatio :
“Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kau katakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." (Kel 3:14)
Tema :
“Lit Paksana Nadingken Kegeluhen” (Ada Waktunya Meninggalkan Kehidupan)
Pengantar :
Dalam hidup ini ada begitu banyak hal yang tak pasti, tapi ada satu hal yang pasti, bahwa kita semua akan mati. Berpikir tentang hari kematian bisa membantu mendorong kita memakai waktu yang kita punya sekarang sebaik mungkin sehingga hidup kita menjadi lebih berkesan dan berarti. Coba bayangkan, jika minggu ini adalah minggu terakhir kita hidup, apa yang akan kita lakukan? Kita pasti tidak akan menyia-nyiakan waktu. Kita tidak akan lagi mempermasalahkan hal-hal remeh yang sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan.
Memento mori ! Demikianlah bunyi sebuah peribahasa Latin, yang artinya: Ingatlah, Anda akan mati. Filsuf Seneca dan Marcus Aurelius berkata: “Hiduplah seakan hari ini hari terakhir kita bernafas,” dan “Jadikanlah ini penentu apa yang kita lakukan, utarakan dan pikirkan.”
Kesadaran akan kematian dan bahwa hidup kita terbatas, dapat menuntun kita untuk menjalani hidup lebih mendalam.
Minggu ini adalah Minggu Akhir Tahun Gerejawi. Inilah Minggu terakhir bagi kita berdasarkan perhitungan tahun gerejawi, sekaligus minggu ini kita pakai sebagai moment untuk memperingati saudara-saudara kita yang telah meninggal mendahului kita dari dunia ini. Memasuki minggu seperti ini terbersit dalam benak kita bahwa segalanya akan berakhir. Dunia akan berakhir, dan dengan sendirinya aktifitasnya akan berhenti. Manusia tidak ada yang abadi, tidak ada yang kebal menghadapi masa akhir itu. Kehidupannya akan terhenti, perbuatan dan ucapannya akan berakhir. Di saat kita memperingati saudara-saudara kita yang telah meninggal, yang sudah lebih dulu mengalami masa perhentian dari dunia ini, kita disadarkan bahwa kita pun akan berhenti dari kehidupan dunia ini. Untuk itu Tema Firman Tuhan di Minggu ini mengajak kita untuk mengisi hidup kita sebijaksana mungkin, melakukan yang terbaik selagi kita hidup, melayani Tuhan sang pemberi kehidupan. Minggu khusus ini mengingatkan kita akan beberapa hal, bahwa: Hidup ini sementara dan hanya sekejap, maka kita diajak untuk tidak menyia-nyiakannya, mengisinya dengan berjalan bersama Tuhan. Mengingat masa akhir kita di dunia ini, sekaligus menghantarkan kita mempersiapkan diri kita memasuki awal tahun gerejawi yang baru.
PENJELASAN TEKS
Teks Khotbah 2 Timotius pasal 4 adalah bagian terakhir dari Surat Paulus yang Kedua kepada Timotius. Paulus menulis suratnya ini kepada Timotius pada saat ia dipenjarakan untuk kedua kalinya di Roma, tidak lama sebelum kematiannya. Pemenjaraan ini dicatat dalam Kisah Para Rasul 28. Pada saat menulis surat ini, Kaisar Nero sedang berusaha untuk menghentikan perkembangan kekristenan di Roma dengan penganiayaan yang bengis terhadap orang percaya. Paulus sekali lagi menjadi tahanan di Roma (1:16), dia menderita sebagai seorang penjahat biasa (2:9, ditinggalkan oleh kebanyakan sahabatnya (1:15), dan sadar bahwa pelayanannya sudah berakhir dan kematiannya sudah dekat (lihat: Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Gandum Mas, 2003, hlm. 2031).
Paulus menulis pesan terakhir ini kepada Timotius sebelum pelaksanaan eksekusi hukuman mati atasnya oleh kaisar Nero. Melalui suratnya ini Paulus menasehati Timotius untuk berpegang teguh pada iman, memenuhi panggilan pelayanan, melakukan tugas pemberitaan Injil yang benar serta menentang pengajar-pengajar palsu yang menyesatkan (4:2-5). Kesaksian terakhir Paulus adalah sebuah contoh mengharukan dari keberanian dan harapan ketika menghadapi mati syahid yang sudah menantinya di depan mata (4:6-8)
Ayat 6-7 : Bagian teks ini berbicara tentang akhir hidup Paulus, ia sungguh menyadari kematiannya sudah dekat. Paulus sedang diadili di Roma dan sudah menjalani pemeriksaan pertama (2 Tim. 4:16-17). Ia diadili karena pemberitaan Injil dan tahu bahwa ia akan dihukum mati. Tapi Paulus menghadapi kematiannya dengan cara yang luar biasa, dan dengan kalimat yang penuh kesiapan mengahadapi kematiannya ia mengungkapkan: ”.... darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”
Sejak diselamatkan & ditangkap oleh Kristus, ia sudah mempersembahkan dirinya sebagai persembahan yang hidup untuk melayani Tuhan & memberitakan Injil bagi banyak orang. Sekarang ia akan menyempurnakan persembahan itu dengan mengorbankan hidupnya bagi Tuhan. Paulus melihat realita dan menghadapi kematiannya dengan hati yang lapang, dia tidak takut menghadapi kematian karena baginya “hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Paulus menggambarkan hidup ini ibarat sebuah pertandingan, dan meyakini bahwa ia telah menyelesaikan pertandingannya dengan baik, karena di tengah pencobaan dan pergumulan, ia telah berjuang tetap setia kepada Tuhan dan Juruselamatnya selama hidup (bdk. 2 Tim 2: 11-12). Sungguh membuat kita kagum, betapa Paulus menghadapi kematiannya dengan berani dan tulus ikhlas, sebab ia sungguh yakin bahwa ia sudah mengakhiri pertandingannya dengan baik. Bisa dibayangkan bagaimana Paulus berada dalam penjara yang gelap, lembab, pengap dan dingin sedang menghadapi saat-saat terakhirnya, dia menulis dengan ketenangan yang sempurna. Tidak dipenuhi ketakutan, sebaliknya justru memandang ke belakang dengan hati yang bersyukur karena telah menjalani kehidupannya dengan baik dan akan mengakhirinya juga dengan baik. Ada tiga hal yang diungkapkan Paulus yang membuatnya menghadapi kematiaannya dengan rasa syukur dan optimis : “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, aku telah memelihara iman”.
Ay. 8 : Paulus tetap setia kepada Tuhan dan Injil yang dipercayakan kepadanya, inilah yang membuatnya sanggup memandang ke depan & menjelang kematiannya dengan penuh sukacita sambil dengan penuh keyakinan ia berkata: “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, hakim yang adil,...bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Tim 4:8).
Mahkota kebenaran adalah upah kekal yang disediakan bagi umat Tuhan yang tetap hidup di dalam jalan kebenaran. Ada banyak jalan yang dapat kita pilih di sepanjang kehidupan kita di dunia ini. Akan tetapi, memilih jalan kebenaran, taat dan setia kepadaNya, adalah komitmen yang harus kita buat hari demi hari bahkan langkah demi langkah. Memang tidak selalu mudah namun Tuhan berjanji akan selalu menyertai kita!
Ogen : Kejadian 5:1-32 menjelaskan silsilah Adam, termasuk nama sepuluh orang, dari Adam sampai Nuh; Silsilah keluarga ini juga tercatat dalam silsilah keluarga orang Israel dalam 1 Taw. pasal 1-4. Di dalam silsilah ini juga tercatat dua orang dalam daftar orang beriman di Surat Ibrani 11 dalam Perjanjian Baru, yaitu Henokh (5:21-24) dan Nuh (5:32). Henokh, dicatat sebagai keturunan dari Set, yang mempunyai kualitas hidup yang sangat istimewa. Bukan hanya tentang nama, lamanya dia hidup, generasi yang diturunkan, tetapi juga mengenai cara dia mengisi hidupnya. Henokh hidup bersama Allah. Alkitab terjemahan baru menyebut “bergaul dengan Allah”. Henokh mengisi umur panjangnya dengan mentaati sedemikian rupa, apa yang Allah kehendaki. Dia terus mencari suara Allah untuk menuntunnya dan menjadi peka. Di kitab Kejadian pasal 4 dan 6 dicatat, bagaimana manusia di zaman Henokh, semakin melakukan apa yang jahat dimata Tuhan, tetapi Henokh didapati setia karena ia bergaul dengan Allah. Henokh hidup bersama Allah, dalam iman,kesetiaan, dan ketaatan. Dan Alkitab mencatat, Henokh menerima upah yang mulia. Dia tidak mengalami kematian, karena Allah mengangkatnya.
Invocatio: Bagian teks ini menceritakan kisah pemanggilan Allah atas Musa untuk memimpin bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan Mesir (Kel. 3:1-10), Musa awalnya menolak dengan alasan ia tidak cukup baik untuk melakukan tugas itu. Ia bahkan berdebat panjang dengan Allah dan bertanya kepada-Nya: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun?“ (Kel. 3:11), Allah meyakinkannya akan hadirat-Nya. “Aku akan menyertai engkau” (ay.12) sesuai dengan pernyataan “AKU ADALAH AKU” (ay.14), dalam bahasa Ibrani: ehyeh-ahsher-ehyeh (yhwh). Nama ini menunjukkan identitas diri Allah dan otoritas yang Allah kerjakan: bahwa: Allah adalah satu- satunya Allah, tidak ada allah lain; Allah ada dari diri-Nya sendiri, tidak bergantung pada hal lain apapun; Allah adalah kekal dan tidak dapat berubah, baik dulu, sekarang maupun yang akan datang. Allah satu-satunya yang memegang otoritas atas seluruh alam semesta.
Dari jawaban Allah ini seharusnya membuat Musa memahami perbedaan antara Allah dengan dewa-dewi lainnya dan membuatnya semakin mengenal Allah & yakin untuk menerima panggilan Allah tersebut.
Jika kita mengenal Allah sebagai satu-satunya pemegang otoritas atas kehidupan di alam semesta ini maka kita tidak akan pernah ragu lagi untuk menerima panggilanNya dan mengandalkanNya di sepanjang hidup kita.
Aplikasi/Kesimpulan
Melalui ketiga bagian Firman Tuhan di Minggu Akhir Tahun Gereja ini kita menemukan beberapa point penting yang menjadi perenungan kita bersama, yaitu :
- Hidup Kita Ada Batasnya, Pakai Kesempatan Yang Terbatas Itu Untuk Melakukan Yang Terbaik !
Bagaimana kita diingatkan bahwa hidup kita terbatas & begitu singkat. Namun, dalam waktu yang singkat tersebut, Tuhan memberikan kesempatan kepada kita menjalaninya sesuai dengan kehendak kita atau kehendakNya. Jika Hidup ini hanya sekejap, maka kita diajak mengisi setiap detik kehidupan ini dengan melakukan yang terbaik & menjalaninya dengan baik, sehingga kita tidak “asal hidup” atau “sekedar hidup”, tapi menjadikan hidup kita berarti & bermakna bagi orang lain, terlebih bagi Tuhan, sang pemberi kehidupan. Marilah kita mengevaluasi diri, seberapa sungguh kita sudah memakai kehidupan & kesempatan yang Tuhan beri, mengabdi & melayani Tuhan melalui gerejaNya. Sebagaimana kata Pemazmur : “ajarlah kami menghitung hari-hari kami..., hingga kami beroleh hati yang bijaksana”(Mzm. 90:12) . Kita perlu memiliki kewaspadaan untuk memahami bahwa waktu hidup kita sangat terbatas dan ada saatnya akan hilang. Mari renungkan "sejauh mana hidup yang kita miliki sudah sesuai dengan tujuan Tuhan, sang pemilik hidup kita". Perjalanan hidup kita suatu hari akan berakhir, maka mari berjuang menjalaninya dengan baik sampai kelak kita dapat mengakhirinya juga dengan baik, sehingga kita dapat berkata seperti Paulus: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah melihara iman.”
- Setia Berjuang Sampai Garis Akhir, Dengan Tetap Memelihara & Memegang Teguh Iman
Paulus menggambarkan kehidupan sebagai suatu pertandingan iman, dimulai dari titik awal yaitu garis START dan berakhir pada titik akhir yaitu garis FINISH.
Menarik untuk melihat kisah hidup Paulus , bagaimana ia menjalani sisa hidup sebagai kesempatan untuk melayani. Paulus berkata "aku telah mencapai garis akhir", artinya ia telah bertekun menjalani hidup, dan mengabdikan diri kepada Tuhan sampai akhir hayatnya, sekalipun untuk itu dia harus menjadi martyr. Perlombaannya sudah berakhir dan ia menjadi pemenang. Masing-masing kita saat ini, sedang menuju garis akhir kehidupan kita. Bagaimana kita menjalaninya saat ini merupakan persiapan menuju garis akhir dalam hidup kita. Maka marilah berjuang dan mengupayakan agar kita dapat juga seperti Paulus meng-akhiri pertandingan kita dengan baik (finishing well). Kunci dari sukses mengakhiri dengan baik adalah menjalani hidup dalam takut akan Tuhan, hidup dalam kebenaran dan kesetiaan (bandingkan Paulus, Henokh dan Nuh ---Ogen)
- Siap mengerjakan panggilan Tuhan sebagai satu-satunya pemegang otoritas atas seluruh perjalanan kehidupan kita.
Penting bagi kita untuk peka terhadap panggilanNya & setiap kesempatan yang Tuhan berikan untuk memberitakan kebenaran-Nya. Meskipun dalam keadaan yang tidak baik dan waktu yang tidak tepat, selama Sang pemberi kehidupan masih memberi kesempatan & mempercayakan nafas kehidupan, kita harus menunaikan tugas panggilanNya. Marilah kita meningkatkan kesungguhan hati & pelayanan kita sebagai pengikut Kristus, dengan sukacita melayani dan ambil bagian dalam semua pelayanan di gerejaNya, menjadi pelaku aktif pelayanan (sesuai sasaran GBKP 2023) sekaligus menguji diri dan melakukan apa yang berkenan bagi Tuhan (Ef. 5:10).
- Meraih Mahkota Kekal atau Hukuman Kekal ? Pilihannya ada pada kita !
Bagi kita semua yang menyelesaikan pertandingan dengan baik, ada janji mahkota kebenaran sebagai upah kekal yang Tuhan karuniakan pada hari-Nya. Paulus dengan optimis telah melihat dengan mata iman bahwa ia akan meraih hadiah kemenangannya yang telah tersedia baginya, sekalipun dia belum mati. Sebaliknya yang tidak setia dan konsisten hidup dalam ketaatan dan komitmen iman, serta gagal mengakhiri pertandingan iman dengan baik maka jangankan mahkota kemenangan akan diperoleh, sebaliknya hukuman kekal akan menanti.
Masa akhir kita di dunia ini, sekaligus menghantarkan kita memasuki awal yang baru bersama Tuhan. Kita akan mengakhiri tahun gerejawi ini, namun sekaligus juga mempersiapkan diri memasuki awal tahun gerejawi yang baru. Minggu Akhir Tahun Gerejawi hendaknya menjadi sebuah dorongan bagi kita, bahwa kita harus berkarya dan melayani selagi masih ada waktu & kesempatan. Selagi hidup kita belum berakhir, masih ada waktu menjadi pribadi yang berdampak, bermakna & menjadi berkat bagi sesama. Perlakukan waktu yang kita punya sekarang sebagai hadiah. Ingatlah hari kematianmu ! Hadapi kematianmu dengan cara menjalani hidup ini dengan bijak, sehingga kelak kita mengakhirinya juga dengan bijak ! Tuhan memampukan.
Pdt. Jenny Eva Karosekali-GBKP Rg. Harapan Indah
MINGGU 19 NOVEMBER 2023, KHOTBAH KEJADIAN 18:1-8
Invocatio :
Akan tetapi, jika seseorang tidak memelihara sanak keluarganya sendiri, khususnya keluarga dekatnya, berarti ia telah menyangkali imannya dan ia lebih buruk daripada orang yang tidak percaya. (1 Tim.5:8)
Bacaan :
Roma 12:9-16 (Tunggal)
Tema :
Jabu si Metemue/keluarga yang bertamu
I. Pengantar
Minggu ini kita memasuki minggu keluarga, di dalam minggu ini kita hendak dibimbing dan diingatkan kembali bagaimana tujuan dan panggilan Allah sejak awal terbentuknya keluarga. Menurut Wikipedia Keluarga adalah sekelompok orang yang terikat dengan hubungan darah, ikatan kelahiran, hubungan khusus, pernikahan, atau yang lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan serta orang orang yang selalu menerima kekurangan dan kelebihan orang yang ada di sekitarnya baik buruk nya anggota keluarga, tetap tidak bisa merubah kodrat yang ada, garis besarnya yang baik diarahkan dan yang buruk diperbaiki tanpa harus menghakimi.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Berdasar Undang-Undang 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab I pasal 1 ayat 6 pengertian Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami (Kepala keluarga), istri dan anaknya yang di sebut dengan Rumah Tangga atau dengan sebutan lainnya ialah keluarga kecil; sedangkan yang disebut dengan keluarga besar selain suami, istri dan anak-anaknya dirumah tangga tersebut terdapat orang tua atau disebut ayah dan ibu dari pihak suami dan juga terdapat anak-anaknya orang tua yang lain termasuk orang tua dari ayah (Kakek dan nenek), Menurut Paul B. Horton bahwa Masyarakat adalah kumpulan manusia yang memiliki kemandirian dengan bersama-sama untuk jangka waktu yang lama dan juga mendiami suatu daerah atau wilayah tertentu. Di mana dalam wilayah tersebut memiliki kebudayaan yang tidak namun memiliki adat yang berbeda di dalam wilayah, daerah tersebut.. Di dalam Bahan sermon kali ini penulis hendak menggali teks khotbah dalam bentuk BGA.
II. Nats Alkitab (Khotbah) Genre narasi
18:1 Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik.
18:2 Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah,
18:3 serta berkata: "Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini.
18:4 Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini;
18:5 biarlah kuambil sepotong roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan meneruskan perjalanannya; sebab tuan-tuan telah datang ke tempat hambamu ini." Jawab mereka: "Perbuatlah seperti yang kaukatakan itu."
18:6 Lalu Abraham segera pergi ke kemah mendapatkan Sara serta berkata: "Segeralah! Ambil tiga sukat tepung yang terbaik! Remaslah itu dan buatlah roti bundar!"
18:7 Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, ia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan memberikannya kepada seorang bujangnya, lalu orang ini segera mengolahnya.
18:8 Kemudian diambilnya dadih dan susu serta anak lembu yang telah diolah itu, lalu dihidangkannya di depan orang-orang itu; dan ia berdiri di dekat mereka di bawah pohon itu, sedang mereka makan.
III. Apa yang kubaca?
Mengindentifikasi tokoh
- Tuhan : - Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. (1)
- Abraham : - Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. (2)
- Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah,(2)
- serta berkata: "Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini. (3)
- Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini;(4)
- biarlah kuambil sepotong roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan meneruskan perjalanannya; sebab tuan-tuan telah datang ke tempat hambamu ini." (5)
- Lalu Abraham segera pergi ke kemah mendapatkan Sara serta berkata: "Segeralah! Ambil tiga sukat tepung yang terbaik! Remaslah itu dan buatlah roti bundar!" (6)
- Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, ia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan memberikannya kepada seorang bujangnya, lalu orang ini segera mengolahnya.(7)
- Kemudian diambilnya dadih dan susu serta anak lembu yang telah diolah itu, lalu dihidangkannya di depan orang-orang itu; dan ia berdiri di dekat mereka di bawah pohon itu, sedang mereka makan.(8)
- Tiga orang tamu : - Jawab mereka: "Perbuatlah seperti yang kau katakan itu."(5)
Interaksi tokoh:
Tuhan/tiga orang tamu |
Abraham |
Sara |
seorang bujang |
IV. Apa pesan Allah Padaku? (P3JT)
- Pelajaran /Pengajaran: - Allah adalah tamu yang melayani artinya Allah lebih dahulu melayani kita, dan kita mencontoh menjadi keluarga yang melayani bagi sesama.
- Apa yang kita perbuat untuk sesama kita itulah yang kjita perbuat kepada Tuhan.
- Abraham adalah sosok tuan rumah yang terbuka dan melayani dengan rendah hati.
- Abraham dan Sara beserta bujangnya memberikan pelayanan yang maksimal.
- Tuhan selalu menepati janjiNya terhadap orang yang menaruh percaya padaNya.
- Perintah/nasehat: - melayani adalah sebuah panggilan dan tanggungjawab orang yang percaya.
- Peringatan/larangan: -
- Teladan : - meneladani perbuatan Abraham melayani dengan sepenuh hati.
- Meneladani sikap keramahtamahan Abraham dalam menyambut tamu.
- Pesan fasilitator:
Siapa yang tidak mengenal tokoh Abraham, seorang yang memiliki integritas yang dapat kita teladani hingga saat ini. Mulai dari sikap dan keputusan yang sulit untuk meninggalkan sanak saudara dan semua yang seharusnya menjadi hak miliknya, semuanya dia tinggalkan untuk sebuah panggilan yang mulia dari Yahweh. Keputusan yang diambilnya, bukanlah keputusan yang mudah. Bukan hanya itu dia memilih jalan yang sulit di antara jalan yang mudah sebenarnya. Siapakah Abraham? Abraham adalah keturunan Shem, anaknya Nuh. Dia adalah keturunan generasi Shem yang ke-sepuluh. Shem masih hidup pada waktu Abaraham meninggal dunia. Abraham banyak mendengar tentang Yahweh dari Shem. Dia sudah mendengar tentang air bah. Dari waktu datangnya air bah sampai ke zamannya Abraham, manusia sudah beranak cucu selama empat abad, populasi penduduk semakin bertambah.
Tanah kelahiran Abraham adalah Ur-Kasdim yang berada dekat dengan Teluk Persia. Sungai Efrat mengalir tidak jauh dari kota itu. Pasokan air sangat melimpah, mengairi ladang-ladang di sekitarnya. Hal ini membuat tanah di situ subur dan rumput-rumputan hijau di mana-mana. Ur merupakan tempat yang paling bagus untuk hidup di tengah-tengah generasi yang mengandalkan pertanian dan peternakan untuk hidup. Banyak orang yang tertarik untuk tinggal di kota ini. Kota yang sangat makmur dan kaya, seperti kota-kota besar di dunia sekarang. Leluhur Abraham sudah tinggal di tempat itu selama beberapa generasi. Namun, suatu hari Yahweh malah berkata kepadanya,
“Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”
Allah meminta Abraham untuk meninggalkan negerinya sendiri. Lalu, apakah tempat tujuan yang dituju Abraham? Abraham sendiri tidak tahu. Tuhan belum menunjukkan langkah selanjutnya. Setelah dia maju selangkah, baru Tuhan akan menunjukkan apa yang harus dia lakukan seterusnya. Nama Abraham aslinya adalah Abram. Allah secara pribadi memberikannya nama lain, yaitu Abraham, yang artinya adalah “Bapa bagi Banyak (Orang)” (father of many). Allah mengaruniakan kepadanya berkat yang tak terkatakan. Dia adalah sahabat Allah, bapa orang Israel dan bapa iman kita. Alkitab sangat memuji iman Abraham, kenapa? Hal ini adalah karena Abraham selama hidupnya telah berjalan di dalam iman. Sangatlah banyak catatan peristiwa tentang Abraham. Namanya muncul sebanyak 285 kali di dalam Alkitab. Dia mendengarkan panggilan Allah dan meninggalkan kampung halamannya ke tempat yang Allah janjikan kepadanya. Namun, dia tidak mendapat sebidang tanah itu. Di Kisah Para Rasul 7:5 dikatakan,“Allah tidak memberikan milik pusaka kepadanya, bahkan setapak tanah pun tidak.”Abraham sepenuhnya merantau di negeri milik orang lain tanpa milik kepunyaan. Akan tetapi, iman Abraham melihat pada janji Allah, dia percaya dan mengikuti pimpinannya. Demi memperoleh janji Allah yang belum kelihatan, Abraham sama sekali tidak ragu untuk menggunakan seluruh hidupnya untuk mengembara mencarinya. Apa yang paling luar biasa adalah Abraham tidak mendapatkan janji Allah sampai ia meninggal.
Dalam nats khotbah minggu keluarga ini sebenarya kita sedang memperingati arti teologi keramahtamahan (hospitality). Dalam khotbah Kejadian 18:1-8, disebutkan bahwa saat Abraham sedang duduk-duduk di pintu kemahnya saat panas terik, tiga tamu asing datang dan Abraham bersujud pada mereka sebagai bentuk penghormatan. Abraham kemudian menghidangkan anak lembu, roti, dan susu, dan para tamu tersebut menyantapnya. Setelahnya, mereka mengabarkan bahwa pada tahun depan, Abraham dan Sarah akan memiliki anak laki-laki. Sara tertawa mendengar kabar tersebut, kemudian Tuhan menanyakan alasan Sara tertawa, padahal tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Sara kemudian menyangkal bila tadi tertawa karena takut. Tidak mudah untuk menerima dan melayani tamu yang tidak kita kenal. Sebab tamu yang masih asing bagi kita bukan tanpa resiko. Tamu yang sudah kita kenal, tidak begitu beresiko karena kita sudah tahu orangnya. Sedangkan tamu asing beresiko karena bukan saja ada kemungkinan bahwa ia adalah tamu yang baik tetapi bisa jadi ia adalah musuh yang berniat buruk. Oleh karena itu, terhadap tamu asing, kita biasanya berhati-hati, was-was dan penuh prasangka. Kewaspadaan seringkali membuat kita enggan untuk melayaninya dengan cepat dan sungguh-sungguh.
Tetapi tidak demikian bagi Abraham. Ketika dikunjungi tamu asing, Abraham memilih untuk menempatkan diri sebagai hamba dan memperlakukan tamu sebagai tuan yang dilayani dengan segenap hati dan pengorbanan tanpa takut disakiti. Tindakan Abraham adalah sebuah keramahtamahan, suatu hospitalitas yang luhur. Gereja mesti membudayakan sikap keramahtamahan itu agar kehadirannya di dunia benar-benar menjadi berkat.
Keramahtamahan merupakan tindakan luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan budaya mana pun. Namun keramahtamahan bukanlah tanpa risiko. Risiko itu melekat dalam arti kata keramahtamahan iu sendiri. Kata keramahtamahan dalam bahasa Inggerisnya adalah hospitality, yang diterjemahkan juga dengan istilah hospitalitas, atau kesanggrahan. Kata hospitality berasal dari bahasa Latin “hospes” yang berarti “tamu” dan sekaligus “tuan rumah”. Kata “hospes” sendiri adalah gabungan dua kata Latin lain, “hostis” dan “pets”. Kata pets berarti “memiliki kuasa”. Sedangkan kata hostis berarti “orang asing”, namun juga memiliki konotasi musuh. Dari kata hostis itu kita mengenal kata Inggris hostile (bermusuhan) dan hostility (permusuhan). Asosiasi makna “orang asing” dan musuh di dalam kata hostis mungkin muncul karena kemenduaan (ambiguitas) dari orang asing itu sendiri, di mana ia dapat menjadi musuh atau tamu. Jadi di dalam hospitalitas sekaligus terdapat risiko bahwa tamu menjadi musuh.
Dalam bahasa Yunani, untuk kata hospitalitas/keramahtamahan dipakai philoxenia, yang terdiri dari dua kata, philos (kasih) dan xenos (orang asing, yang lain). Maka keramahamahan berarti mengasihi orang lain sebagai sahabat, atau menyahabati orang asing, atau menerima orang asing.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keramahtamaan (hospitalitas) adalah sebuah proses yang melaluinya status orang asing diubah menjadi tamu, bahkan menjadi sahabat. Hal itu terjadi karena dalam keramahtamahan, orang asing, orang lain itu diterima dengan tulus, apa pun suku, agama, atau etnis orang itu. Hospitalitas juga dapat berarti menciptakan ruang bebas di mana orang asing dapat masuk dan menjadi kawan dan bukan lawan.
Lebih jauh, dalam hospitalitas, terjadi pertukaran posisi: tamu seolah tuan rumah, dan tuan rumah seolah tamu. Tamu diperlakukan layaknya tuan rumah, dan dilayani dengan sungguh-sungguh. Namun perlu diingat bahwa hospitalitas tidak mengubah orang, tetapi hanya menawarkan mereka suatu ruang di mana perubahan dapat terjadi. Hospitalitas menawarkan kebebasan kepada sesama. Secara praktis, hospitalitas berarti kesediaan kita untuk menerima orang lain apapun pun latar belakangnya, menghormatinya sebagai manusia utuh, memberi tumpangan kepadanya, menyediakan makanan untuknya, melayani kebutuhannya, dan menyelamatkannya dari bahaya yang mengancam hidupnya.
Dalam arti itu, sikap Abraham dalam bacaan hari ini tidak lain adalah sebuah hospitalitas/keramahtamahan. Ada beberapa tindakan Abraham yang dapat diambil sebagai bentuk keramahtamahan.
Pertama, nampak terjadi pertukaran posisi antara tamu dan tuan rumah. Diceritakan bahwa ketika melihat tiga orang asing itu di depannya, Abraham menyongsong mereka, lalu sujud sampai ke tanah serta memohon agar mereka mau singgah (ay.2-3). Mestinya, sebagai tamu, tiga orang asing itu merendahkan diri, bersujud di hadapan Abraham, dan memohon belas kasihan agar bisa diterima dan dilayani kebutuhannya. Tetapi tindakan merendahkan diri itu dilakukan oleh tuan rumah (Abraham), kepada para tamunya, seolah mereka adalah tuan rumah. Tanpa sadar, tindakan keramahtamahan Abraham itu membuat tiga orang asing itu merasa diterima dan merasa at home. Mereka tidak diperlakukan sebagai orang asing atau musuh, melainkan sebagai sahabat oleh Abraham.
Kedua, keramahtamahan Abraham ditunjukan melalui peragaan adat penghormatan kepada tamu. Hal itu nampak dalam tindakan Abraham yang memberikan air kepada tamu untuk mencuci kaki yang panas dan berdebu karena perjalanan yang jauh. Itu adalah adat penghormatan yang pertama untuk seorang tamu.
Ketiga, keramahtamahan Abraham kepada orang asing nampak dalam tindakannya yang mau melayani kebutuhan pokok para tamu. Abraham menyuguhkan makanan kepada mereka. Abaham mengambil tiga sukat tepung untuk dibuatkan roti bagi tamu. Menurut perhitungan, itu sama dengan tiga puluh sembilan liter tepung. Itu adalah suatu jumlah atau ukuran yang luar biasa besarnya, jika hanya diberikan untuk tiga orang. Sesungguhnya tiga sukat tepung adalah ukuran untuk raja. Demikian pula Abraham mengambil seekor lembu tambun untuk dihidangkan pada ketiga tamu itu. Ini adalah ukuran yang sangat besar. Lalu mereka menerima makanan itu, dan itu berarti mereka menerima persahabatan yang ditawarkan Abraham.
Dengan demikian, pihak asing yang berpotensi sebagai lawan/musuh (hostis) telah diubah menjadi kawan (hospes), perseteruan menjadi persahabatan. Yahweh yang bersembunyi dibalik tiga orang itu menerima korban Abraham sambil memakan dan meminum apa yang dihidangkan. Abraham memberi secara total, utuh, tidak setengah-setengah, tanpa hitung-hitungan. Ia memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya bagi orang asing. Ia membuat tamu merasa nyaman, merasa diterima, dan dijadikan sahabat. Hospitalitas yang dipraktikkan oleh Abraham tidak lepas dari pengalamannya sendiri. Sebagaimana Allah sudah memelihara Abraham, maka saatnya ia juga menunjukan sikap ini kepada sesama. Dengan kata lain, hosptalitas yang dialami Abraham bersama Allah, mau ia praktekan juga kepada orang lain.
V. Apa responku? SDDT (kongkreat,terukur,dan dapat dinikmati)
- Syukur (mau melakukan sesuatu):
- Doa (bagi teman, keluarga, gereja dan bangsa)
- Dosa (sesuatu hal yang salah yang dilakukan)
- Tekad (jamji untuk melakukan yang terbaik)
VI. Beberapa usul pointer khotbah:
- Budaya individualisme dan primordialisme merongrong budaya keramahtamahan kita. Di satu sisi, masyarakat manusia saat ini terancam oleh individualisme di mana masing-masing orang hanya berfokus pada kepentingan dirinya, sehingga sulit baginya untuk peduli pada orang lain secara sungguh-sungguh. Di sisi lain, banyak warga pun terpenjara oleh fanatisme primordial suku, etnik, agama, golongan, ideologi, kelompok kepentingan, sehingga tak mampu menerima perbedaan dan tak mau hidup bersama orang lain. Kaum primordial cenderung memusuhi orang lain, misalnya para pendatang di satu daerah, atau mereka yang berbeda suku dan agama. Hal itu nampak misalnya dalam ungkapan yang cenderung memuji suku/agama/kelompoknya sendiri dan menjelekkan suku/agama/kelompok lain.
- Seperti yang dikatakan Paulus kepada jemaat Roma (bacaan), 12:9 Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Apa yang dikatakan Paulus memberikan pengajaran bagi kita tenta melayani sesama dengan tidak melihat motivasi atau alasan mengapa mereka dekat dengan kita.
- Belajar dari sikap Abraham, kita melihat benang merah antara khotbah, bacaan dan invocatio, pentingnya membudayakan keramahtamahan, yakni selalu bersedia menerima orang lain/orang asing, apapun identitasnya, mau menghormatinya, dan melayani kebutuhan-kebutuhannya dengan segenap hati. Kita juga belajar menerima perbedaan dan mau hidup bersama mereka yang berbeda dengan kita. Orang lain, agama lain, suku lain, etnis lain, bukanlah musuh kita, melainkan sahabat kita sesama manusia.
- Hidup dalam keramahtamahan berarti mau mengubah orang asing menjadi sahabat, musuh menjadi kawan, perseteruan menjadi persahabatan, konflik menjadi perdamaian, kekerasan menjadi kelembutan, kebencian menjadi kasih, dendam menjadi pengampunan.
- Mau tidak mau, tuntutan keramahtamahan seperti itu harus menjadi cara hidup kita. Sebab sesungguhnya hospitalitas adalah karakter Allah sendiri di dalam Yesus. Allah melalui Yesus Kristus menerima kita apa adanya, mengubah status kita dari musuh/seteru menjadi sahabat-Nya bahkan kita dijadikan sebagai anak-anak-Nya. Maka kita pun mesti belajar untuk menerima sesama dengan hati yang tulus dan gembira, mau bersahabat dengan mereka walaupun kita berbeda suku/agama. Allah telah mengampuni dosa kita dan mengasihi kita secara utuh, maka sudah semestinya kita pun belajar saling mengampuni dan mengasihi. Keramahtamahan Allah di dalam Kristus yang menerima kita dan mau hidup bersama kita, menjadi contoh bagi kita untuk mau menerima sesama dan mau hidup bersama orang lain. Kita terpanggil untuk membudayakan/membiasakan diri mau menerima sesama dan hidup bersama orang lain dengan saling mengasihi agar kehidupan ini menjadi indah.
Pdt. W.Mazmur Ginting-Runggun Karawang
MINGGU 12 NOVEMBER 2023, KHOTBAH JEREMIA 17:14-18
Invocatio :
Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang (Amsal 16:24)
Ogen :
3 Johanes 1:1-4 (Tunggal)
Tema :
Salom Bersama Tuhan (Mejuah-juah ras Tuhan)
I. Pendahuluan
Ada ungkapan mengatakan bahwa “kesehatan itu bukan segala-galanya tapi tanpa kesehatan segala-galanya tidak berarti”. Namun demikian jika itu hanya sebatas perkataan dan tidak ada penerapan maka perkataan tersebut sia-sia. Padahal manusia adalah satu-satunya makhluk yang selalu mendambakan hidup-nya dalam keadaan sehat secara paripurna baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Salah satu upaya untuk mencapai dambaan itu tiap orang harus berupaya menjaga kesehatannya. Pentingnya kesehatan ini bukan hanya berkaitan terhadap tubuh atau fisik tetapi juga kesehatan batin serta iman, kesehatannya bisa dipengaruhi oleh cara hidup atau pola hidup yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Inilah yang dibahas dalam bahan kotbah kita kali ini yang dikritik oleh Nabi Yeremia.
Melalui Yeremia, Allah menegaskan kepada bangsa Yehuda 3 dosa mereka yang mendatangkan bencana dan malapetaka. Pertama, dosa sudah terukir dalam hati bangsa Yehuda (ayat 1-4). Ini menggambarkan dan menunjukkan apa yang terjadi di dalam kehidupan batiniah yang menjadi pusat kepribadian mereka. Tidak ada tanda atau goresan sedikit pun pada hati mereka yang menandakan suatu respons yang baik terhadap firman-Nya. Apa yang tergores sangat dalam di dalam hati mereka hanyalah dosa (1). Kedua, mereka lebih mengandalkan manusia daripada Allah (ayat 5-8). Ketiga, hati bangsa Yehuda sudah sedemikian bobrok dan korup sehingga tidak mungkin diperbaharui lagi (ayat 9-13). Hati mereka secara terus-menerus berpaling kepada dosa. Karena itu Allah tidak dapat dipersalahkan jika Ia mendatangkan malapetaka dan bencana besar atas bangsa Yehuda yang hidup moral, sosial, dan spiritualnya sudah bobrok dan amburadul.
II. Isi
Kotbah: Jeremia 17:14-18, Sebagai Nabi yang langsung dipanggil Tuhan pada masa mudanya (Yer. 1:4-18), selama pelayanannya Yeremia banyak menghadapi pergumulan dalam pelayanan, yaitu dari keluarga (Yer. 11:11-18; 12:6), dari imam dan raja (Yer. 20:1-6; 37:11-21) dan dari nabi palsu ( Yer. 23:18). Saking beratnya pergumulan yang dihadapi, dia kadang-kadang merasa putus asa dan berkeluh kesah (Yer. 20:8-9), bahkan dia sempat menyesali kelahirannya (Yer. 20:14-18). Dia bergumul karena beratnya dosa bangsa Israel yang mau saja menyembah berhala. Begitu banyak disebutkan dalam kitab ini tentang perilaku Israel yang telah mengabaikan Tuhan untuk menyembah berhala (Yer. 2:10-11; 7:31; 10:2; 19:5; 32:35). Yeremia berbeban berat karena ia harus menubuatkan kejatuhan kota Yerusalem (pasal 36-39), maka ia dimasukkan ke dalam sumur dan hendak dibunuh (Yer. 38:6). Tetapi, meskipun pergumulannya berat, sebagai Nabi, ia tetap setia melaksanakan tugas panggilannya dan janji Tuhan untuk menyertainya nyata (Yer. 1:8, 19; 20:11).
Respons bangsa Yehuda terhadap Yeremia adalah buah yang pasti dari hati manusia yang sudah dikuasai dan dibutakan oleh dosa. Bukankah ini juga yang terjadi dan yang kita lihat di sekeliling kita saat ini? Mereka yang secara terang-terangan terlibat dalam berbagai tindak kejahatan; korupsi tingkat tinggi dan kejahatan terhadap hak azasi manusia justru dapat berbalik mengancam dan menyerang pembela-pembela kebenaran, bahkan menimbulkan gejolak politik dan sosial di negara ini. Ketika gereja dan hamba Tuhan menyuarakan kebenaran, maka harus siap menghadapi resiko yang mungkin datang sebab kedegilan hati manusia akibat dosa akan menganggap kebenaran itu sebagai ‘musuh’ yang harus dihabisi. Inilah sebenarnya yang membuat Nabi Jeremia merasa sakit, karena maksud hati baik, tetapi ditanggapi buruk. Yeremia menderita “sakit”. Yeremia bukan sakit secara fisik, tapi lebih ke sakit batin (Jer 11:18-23 Nyawa Yeremia terancam di Anatot).
Ayat 14 “Sembuhkanlah aku, ya TUHAN, maka aku akan sembuh; selamatkanlah aku, maka aku akan selamat, sebab Engkaulah kepujianku!” Nabi Jeremia berseru kepada Tuhan meminta kesembuhan karena dia tahu benar bahwa di dalam Tuhan ada kesembuhan “Jehovah Rapha” artinya Tuhan menyembuhkan. Sepanjang hidupnya, Yeremia setia menyampaikan Firman Tuhan kepada bangsa Israel yang tersesat, meskipun pesannya ditolak oleh banyak orang dan dicemooh oleh raja. Namun Yeremia percaya pada janji Tuhan. Dia adalah bagian dari sisa kecil orang percaya yang berkomitmen dan berseru memohon kesembuhan dan pembebasan kepada Tuhan.
Ayat 15-17 “Sesungguhnya mereka berkata kepadaku, Dimanakah Firman Tuhan itu? Biarlah ia sampai” Yeremia merasakan penderitaan yang sangat luar biasa dari sebuah bangsa pilihan Tuhan. Mereka tidak menurut dan taat pada perintah Tuhan. Sehingga Yeremia turut menderita atas ulah bangsa itu. Ketika berhadapan dengan penganiayaan dan pertentangan, Yeremia berdoa memohon kasih karunia Allah untuk membantunya tetap setia melakukan pelayanan sebagai nabi. Umat itu dan nabi palsu telah mencela dan mengejek nubuat-nubuatnya karena belum digenapi (ayat 15). Kendatipun menderita, Yeremia menolak untuk meninggalkan pelayanannya, melainkan terus mengharapkan kekuatan dan pertolongan dari Allah. Akankah kita takut dan berdiam diri menghadapi respons yang justru mengancam dan menyerang? Kita mungkin takut, berteriak-teriak kesakitan, dan meratap kepada Allah mohon perlindungan, namun itu bukan alasan berdiam diri dan membiarkan dosa terus menguasai seluruh anak bangsa. Begitulah ujian yang sering dihadapi para hamba Tuhan. Dalam bentuk-bentuk yang berbeda, ujian itu pasti datang pada setiap hamba-Nya. Tiap orang mungkin berbeda cobaan yang dihadapinya, yang pasti menjadi hamba Tuhan bukan sebuah jaminan menjalani hidup dengan mulus tanpa goncangan.
Bangsa Yehuda bukannya segera menangisi dan menyesali dosa-dosanya serta memohon belas kasihan-Nya, sebaliknya mereka mengolok-olok Yeremia dan firman-Nya yang ia beritakan. Tindakan ini menunjukkan bahwa mereka sudah tidak takut lagi terhadap penghukuman Allah, bahkan cenderung menantangnya (ayat 15). Mereka juga menuduh Yeremia mengada-ada dan senang jika bangsanya ditimpa bencana dan malapetaka (16). Bahkan mereka mengancam keselamatan Yeremia sehingga menyebabkan Yeremia berteriak minta tolong kepada Allah agar membela dan melindunginya (ayat 17).
Ayat 18 “…Buatlah hari malapetaka menimpa mereka, dan hancurkanlah mereka dengan kehancuran berganda” Yeremia awalnya gak mau meminta untuk datangnya malapetaka ke tengah-tengah Yehuda, tetapi akhirnya Yeremia memang sudah kesel sama seperti Tuhan yang sudah marah kepada Israel di ayat 3-4. Artinya pada awalnya Yeremia mau belain Israel supaya selamat dan mendapatkan salom Allah, tapi ternyata tetap mengeraskan hatinya dan merasa kesal serta kurang menyehatkan terhadap ucapan Nabi Yeremia yang mengkritik cara hidup mereka yang salah serta cara beribadah yang tidak menyehatkan rohani.
Ogen: 3 Johanes 1:1-4, Kata kukasihi adalah ciri khas surat Johanes, kata ini menunjukkan rasa senang atau perasaan yang menyukai yang berasal dari hati dan bukan dibuat-buat. Perkataan yang dilontarkan seperti ini bagi orang yang mendengar dan menerimanya pasti merasa senang dan itu juga pasti memberikan dorongan yang positif banginya yang akan menimbulkan ras senang atau bahagia yang akhirnya akan memberikan kesehatan bagi pendengarnya.
Iman Kristen bukanlah sekadar teori atau ide abstrak, melainkan hidup secara konkret dalam sosok yang dapat disebut namanya. Dalam perikop kita, nama itu adalah Gayus (1). Gayus dilaporkan hidup dalam kebenaran (3). Kata kebenaran dalam surat-surat Yohanes adalah cara unik Yohanes untuk mengacu kepada Yesus. Surat 3 Yohanes menggambarkan iman yang dihidupi pribadi-pribadi yang berelasi. Gayus hidup dalam relasi kasih dengan penatua. "Hidup dalam kebenaran" berpadanan makna dengan "berjalan dalam kebenaran" dalam bahasa aslinya. Istilah tersebut menunjukkan sikap iman yang aktif dan konkret dalam hidup Gayus. Sikap imannya nyata disaksikan oleh para sahabatnya dan membangkitkan sukacita dalam diri penatua. "... hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan" (lih. 2Kor. 3:6). Iman tak boleh hanya menjadi doktrin atau ritual, melainkan harus berdenyut aktif dalam kehidupan. Iman tak bisa hanya menjadi aturan dan larangan, namun harus dihidupi dalam kasih dan kebenaran, menjadi perbuatan nyata yang dihidupkan oleh Roh. Hubungan atau relasi yang baik seperti ini juga akan memberikan atau menyalurkan energi yang positif dan ini akan memberikan kesehatan bagi orang yang memiliki relasi yang baik dan orang yang menjalankan perbuatan yang baik.
Invocatio: Amsal 16:24, “Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu, manis bagi hati dan obat bagi tulang-tulang” kitab Amsal ini memberikan peringatan dan pengajaran Dengan perkataan kita dapat memilih untuk dapat memberkati atau menyakiti hati orang lain ataupun dapat menguatkan diri sendiri atau orang lain. Jadi perkataan itu mempunyai power yang besar sekali, satu sisi dapat memberikan semangat dan pendengaran itu menjadi sehat juga hati sehat (Sebagai Obat), tetapi dalam sisi yang lain perkataan itu bisa menyakiti perasaan bahkan bisa membuat orang lain menjadi putus asa (Sebagai Racun).
III. Aplikasi
- Setidaknya setiap orang mesti memiliki komitmen untuk menjalankan pola hidup sehat, serta hal yang perlu lagi diperhatikan adalah segala aspek kondisi kesehatan mulai dari aspek makanan, minuman, nutrisi yang dikonsumsi, olah raga dan istirahat yang teratur, bebas dari zat adiktif, dan spiritualitas yang sehat serta perilaku hidup sehari-hari, sehat jasmani dan sehat rohani.
- Bicara tentang menggenapi rancangan Tuhan, biasanya kita fokus kepada mengembangkan potensi jiwa dan roh tetapi cenderung mengabaikan tanggung jawab untuk merawat dan mengembangkan potensi fisik. Kita tidak mungkin hanya merawat salah satu aspek saja, dan tidak memperdulikan yang lain karena tubuh, jiwa, dan roh saling mempengaruhi satu sama lain. Jika kita kurang tidur (tubuh), emosi menjadi kurang stabil (jiwa), dan kita seringkali lupa melibatkan Tuhan dalam berkata-kata dan bertindak (roh). Kelalaian dalam menjaga kesehatan tubuh akan mempersulit kita menggenapi rancangan Tuhan.
- Besarnya ancaman yang dihadapi, bisa saja membuat para hamba Tuhan melemah kesetiannya dalam melayani Dia. Firman ini mengingatkan kita semua gereja dan para hamba Tuhan agar bersikap seperti Yeremia yang setia dalam pelayanannya sekalipun nyawanya menjadi taruhan. Kita harus percaya bahwa Tuhan Allah tidak akan membiarkan persoalan itu menekan kita juga pelayanan kita asalkan kita mau dengan rendah hati seperti Yeremia, bersimpuh di hadapanNya mengakui kelemahan dan keterbatasan kita serta berharap hanya pada Tuhan Allah yang memberikan tugas pelayanan itu
- Hendaklah perkataan kita memberikan motivasi bagi pendengar yang menyehatkan bukan berarti perkataan yang membuat seseorang itu senang walupun ia bersalah (Bdk Nabi Yeremia mengkritik dan menegur bangsa Israel). Buatlah komitmen untuk lebih serius lagi membangun hubungan yang dekat dengan Tuhan dan terus berjalan dalam kebenaran, agar kita selalu ada dalam lindungan Tuhan dan beroleh kesehatan ilahi yang sempurna (Yesaya 33:15-16,24).
- Jagalah kesehatan kita, karena selain keluarga maka kesehatan juga merupakan harta yang paling berharga. Hal ini dapat kita lihat bagaimana sekarang orang mengeluarkan Cost yang tinggi untuk menjaga kesehatan dan cek kesehatan secara rutin. Beberapa hal yang memotivasi kita untuk menjaga kesehatan kita yaitu: Tuhan memang mengharapkan kita menjaga tubuh, Tubuh adalah lahan dan bangunan Tuhan, Roh Kudus bersemayan dalam tubuh, Yesus telah membayar keselamatan tubuh di kayu salib.
Pdt Julianus Barus-GBKP Bandung Pusat