MINGGU 04 AGUSTUS 2024, KHOTBAH 1 YOHANES 3:11-18
Invocatio :
“Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia” (Efesus 2:11)
Bacaan :
Yosua 5:2-8 (Tunggal)
Tema :
Kasih Dinyatakan dalam Perbuatan (Kekelengen Teridah Arah Perbahanen)
I. Pengantar
Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari kasih. Dan kita sangat bersyukur bahwa sebagai orang Karo bahwa mulai dari dalam kandungan pengajaran dan praktek kasih sudah diperkenalkan dan diajarkan bagi kita. Apalagi sebagai orang Karo Kristen kita harus merasa sangat istimewa karena dalam dua dimensi keberadaan kita (orang karo dan orang kristen), mengajarkan topik yang sama yang menjadi pengajaran utama dalam kebudayaan dan juga kekristenan. Tapi kita juga harus menyadari bahwa pengajaran itu berhasil jika dapat di praktekkan dalam kehidupan budaya dan agama kita, sebagaimana firman Tuhan dalam Matius 7:24, “Setiap orang yang mendengar perkataanKu dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.”
II. Teks
Teks khotbah kita di minggu budaya I, diambil dari kitab ditulis oleh Yohanes karena berkembangnya ajaran-ajaran palsu dari guru-guru palsu tentang “kehidupan yang kekal”. Mereka menyangkal bahwa Yesus itulah Kristus atau bahwa Kristus menjelma menjadi manusia, dari segi etika, mereka mengajarkan bahwa menaati perintah Kristus dan hidup kudus dan terpisah dari dosa dan dari dunia tidak diperlukan untuk iman yang menyelamatkan. Sehingga banyak jemaat yang dulu adalah bagian dari pembaca meninggalkan persekutuan jemaat (2:19).
Sehingga Yohanes menulis surat ini dengan tujuan: (1) untuk membeberkan dan menyangkal doktrin dan etika yang salah dari guru palsu, (2) untuk menasihati anak-anak rohaninya agar mengejara lehidupan persekutuan yang kudus dengan Allah dalam kebenaran, dalam sukacita penuh (1:4) dan kepastian (5:13) hidup kekal, melalui iman yang taat kepada Yesus Kristus dan dengan kehadiran Roh Kudus yang selalu membimbing kita.
Oleh sebab itu sebutan, “anak-anak Allah”, tidak hanya sebagai anugerah yang diterima tetapi juga menekankan tentang tanggung jawab. Kebenaran bahwa Allah adalah Bapa sorgawi kita dan kita menjadi anak-anakNya adalah salah satu pernyataan terbesar. Menjadi anak Allah adalah hak istimewa terbesar dari keselamatan kita. Menjadi anak Allah adalah landasan dari iman dan kepercayaan kita kepada Allah dan pengharapan kita di masa depan. Menjadi anak Allah adalah dasar dari disiplin kita oleh Bapa dan alasan kita untuk menyenangkan Allah. Tujuan akhir dari menjadikan kita anak-anakNya ialah menyelamatkan kita selama-lamanya (Yoh 3:16) dan menjadikan kita serupa denganNya. Untuk itu kita harus tetap “berada di dalam Dia” dan “lahir dari Allah” (ay.6) karena hanya yang tetap tinggal dan berada didalam Allah akan tetap lahir dari Allah, dan orang yang lahir dari Allah tidak akan berbuat dosa lagi (ay.9). Kata “berbuat dosa” (Yun: hamartano) ditulis dalam bentuk infinitive yang menunjukkan tentang tindakan yang terus berlangsung. Yohanes menekankan bahwa orang yang sungguh-sungguh dilahirkan kembali dari Allah tidak mempunyai cara hidup yang berdosa karena hidup Allah tidak akan hadir dalam diri mereka yang berbuat dosa. Kelahiran baru menghasilkan kehidupan rohani yang mendatangkan hubungan bersinambungan dengan Allah. Memiliki hidup Allah di dalam diri kita dan berbuat dosa terus adalah suatu kemustahilan rohani. Orang percaya bias kadang-kadang gagal untuk memenuhi standar Allah yang tinggi, tetapi mereka tidak akan terus menerus hidup dalam dosa.
Oleh sebab itu 1 yoh 3:10-18 menjadi kesimpulan pengajaran Yohanes agar kita mampu menolak setiap pengajaran bahwa seorang tidak perlu bersekutu dengan Allah (1:3), berbuat dosa terus, melakukan perbuatan iblis (3:8), mengasihi dunia (2:15), merugikan orang lain, namun tetap menjadi anak Allah yang sudah diselamatkan. Bertentangan dengan ajaran palsu, Yohanes dengan jelas menyatakan bahwa seseorang yang tetap berbuat dosa bukan “anak Allah dan berasal dari iblis.”. Oleh sebab itu yang menjadi ciri Anak Allah yang sejati adalah kasih akan Allah yang ditunjukkan dengan melakukan perintahNya (5:2), sambal menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kebutuhan rohani dan jasmani sesama orang percaya (ay. 16-17). Kasih terungkap dengan sungguh-sungguh, dalam ay. 16 bagaimana kasih Kristus yang yang sudah menyerahkan nyawaNya untuk kita. Demikian juga hal yang harus kita lakukan bagi sesame kita, dengan memberikan apa yang kita miliki, membagikan harta milik kita dengan mereka (bd. Yak. 2:14-17, jika seorang saudara/saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, lalu mengatakan: “selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah dengan kenyang, tapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang dibutuhkan). Menolak membagikan makanan, pakaian atau uang bagi yang benar-benar membutuhkan berarti menutup hati kita terhadap mereka. Sementara iman yang meyelamatkan senantiasa nerupakan iman yang hidup yang tidak berhenti dengan sekedar mengaku Kristus sebagai juruselamat, tetapi juga juga mendorong ketaatan kepada Dia. Iman sejati yang menyelamatkan begitu penting sehingga mau tidak mau harus menyatakan diri dalam tindakan saleh dan pengabdian kepada Yesus Kristus.
Dalam Pembacaan yang pertama, Yosua melakukan satu ajaran atau perintah Allah yang mulai berlaku dari zaman Abraham. Dalam kejadian 17:11, dikatakan maka “sunat” adalah tanda perjanjian yang dibuat Allah dengan Abraham. Sunat menjadi tanda setiap laki-laki sebagai anak Abraham dan hamba Tuhan. Sunat membuatnya berhak untuk ikut ambil bagian dalam berkat-berkat perjanjian. Apalagi sunat merupakan tanda ketaatan mereka kepada perjanjian. Maka Yosua juga melakukan hal yang sama kepada bangsa Israel yang merupakan generasi baru yang lahir dipadang gurun dalam perjalanan dari Tanah Mesir. Aturan sunat ynag diterapkan kepada keturunan bangsa Israel kemudian dibakukan dalam Hukum Taurat. Hal ini yang kemudian diwarisi oleh orang Yahudi sehingga “sunat” akhirnya di legitimasi sebagai syarat untuk memperoleh keselamatan. Ini yang ditentang Paulus dalam invocatio kita di kitab Efesus. Sehingga seolah oleh orang yang tidak bersunay tidak beroleh keselamatan. Aturan/pengajaran ini membuat bahwa “keselamatan” hanya milik orang yahudi dengan budaya sunatnya.
III. Penutup/Aplikasi
Dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai manusia yang berbudaya dan beragama (kalak Kristen karo), mempraktekkan kehidupan saling mengasihi dan berbagi bukanlah hal yang baru.
Sebagai masyarakat, ada banyak praktek budaya yang sudah sering kita lakukan sebagai bukti nyata hidup saling mengasihi. Apalagi dengan system kekerabatan ER SENINA, ER KALIMBUBU ras ER ANAK BERU yang menjadi mengatur cara hidup dalam bersikap dan berkata-kata (orat nggeluh).
- Metenget er-senina/ersembuyak lit sikap peduli, sigejap uga susah ras senangna geluhna, empati sibanci mpepalemken pusuh, ukur ras tendi. Ada pengajaran bagaimana seharusnya hubungan kita dalam “ersenina”: “adi keri page man berenken man senina, page ibas keben pe I legi (dikutip dari buku RANAN ADAT, tulisan Pdt. Sadakata Ginting Suka). Tujuannya adalah memperlihatkan kasihnya yang besar sehingga padi yang ada diladang (keben) yang adalah persiapaan makanan untuk bertahan hidup sampai masa panen tiba dengan rela dibagikan kepada senina.
- Mehamat er-kalimbubu, sebab kalimbubu sumber berkat (ulu tuah). Mehamat man Kalimbubu diperlihatkan dengan rasa hormat, sikap hidup yang sopan dan santun dalam berkata-kata. Posisi kalimbubu sangat penting dalam kehidupan masyarakat karo karena Kalibubu adalah pemilik”benih” yang diberikan kepada anak beru.
- Metami er-anak beru. Lit sada kuan-kuan Karo nina: keleng ate anak beru (erturang) la bias beras ibas busan ibereken, tapi page ibas lebengen pe ikur-kur”. Ertina keleng ate anak beru man kalimbubu, adi perlu page sienggo isuanken pe ikurkur mulihi guna kiniulin ras kemalemen ate man Kalimbubu.
Jadi dalam prinsipnya, hidupnya saling mengasihi menjadi tatanan nilai dasar dalam kehidupan masyarakat Karo. Apalagi pengajaran ini di sempurnakan dalam pengajaran kekristenan maka sudah semestinya dalam kenyataannya praktek hidup saling mengasihi semakin sempurna. Tapi walaupun demikian pengajaran yang sudah ditanamkan bagi kita mulai dari dalam kandungan tidak mudah untuk melakukannya dengan setia. Perkembangan zaman membuat manusia semakin egois dan individualis, yang mata dan hatinya hanya tertuju bagi dirinya atau kelompok-kelompok tertentu saja (circle nya saja). Kasih orang Kristen Karo sudah seharusnya mampu menembus tembok-tembok yang memisahkan dan membeda-bedakan. Kasih sudah seharusnya tak bersyarat.
Pdt. Sripinta br Ginting-Runggun Cisalak