MINGGU 24 AGUSTUS 2025, KHOTBAH MATIUS 22:34-40 (MINGGU NGERGAKEN HAM)
Invocatio :
Mazmur 8:6
Ogen :
Zakaria 7:8-14
Tema :
Kelengi Tuhan Dibata ras Teman Manusia
Pendahuluan
Secara prinsip, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bagaimana memanusiakan manusia. Atau dalam kata lain sesuatu yang diterima oleh setiap orang sejak lahir semata-mata karena dia adalah manusia (sebagai hukum alam). HAM adalah sesuatu yang universal untuk semua orang, secara filosofi; berhak untuk hidup, setara/diperlakukan sama. Dalam perspektif hukum, menurut Bapak hukum internasional “Hugo Grotius” dari Belanda, bahwa HAM adalah aspek hukum secara universal untuk individu dan kelompok untuk mempertahankan diri. HAM dirumuskan melalui sistem hukum dan masyarakat. Ketika penulis berusaha mengkaji dari beberapa sumber umum, memang pada perkembangannya, HAM digumuli atau diklarifikasi sesuai dengan konteks dimana HAM itu digumuli.
Dalam liturgi Minggu “ngergaken Hak Asasi Manusia” kita bisa melihat bagaimana Gereja juga memberi perhatian pada hal-hal yang bersangkutan dengan HAM. Secara khusus pada tema yang diberi “kelengi Tuhan Dibata ras Teman Manusia”. Kita bisa melihat bagaimana garis vertikal dan horizontal, bahwa sebagai orang yang beriman dan percaya kepada Tuhan, ternyata sejalan dengan bagaimana kita menghargai dan memperlakukan sesama manusia, itulah perintah Tuhan kita Yesus Kristus.
Isi
Matius 22:34-40
Yesus tak habis-habisnya menghadapi pertanyaan dari kalangan Farisi, setelah sebelumnya menghadapi pertanyaan orang Saduki tentang kebangkitan dan sebelumnya juga oleh orang Farisi tentang membayar pajak kepada Kaisar. Dalam konteks ini seorang ahli Taurat bertanya, "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Ini bukan sekadar pertanyaan akademik, tetapi sering dijadikan perdebatan besar di kalangan para rabi Yahudi, karena Taurat berisi 613 perintah (mitzvot), dan mereka berusaha mencari yang paling utama. Atau dalam sisi lain, karena mereka berusaha menjebak Yesus, dan berharap Yesus mengucapkan hal yang salah, sehingga bisa di cap sebagai penista agama. Atau bisa juga karena mereka ingin tahu lebih jelas bagaimana posisi Yesus dalam memahami Taurat. Dalam konteks ini, Yesus tidak memilih satu hukum khusus, melainkan menyatakan intisari dari seluruh hukum Taurat. Dengan jawaban ini, keseluruhan hukum taurat yang ada tetap penting bagi Yesus, tidak dibatalkan atau digantikan dengan kedua hukum ini. Memang sebelumnya dalam Matius 5:17 sudah jelas Yesus katakan, bahwa Dia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para Nabi, tetapi untuk menggenapinya. Dalam contoh lain, Matius 5:38-39; “Kamu telah mendengar firman; mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi akau berkata kepadamu; janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu”. Yesus memberi rumusan baru dari hukum dalam Ulangan 19:21.
Ayat 37 : Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu
Ayat 39 : Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri
Dalam ayat 37 dan 39 tentang kata kasihilah, menariknya dalam terjemahan asli, sama-sama menggunakan kata “agapeseis” (kasihilah). Kita sama-sama tahu bahwa kasih dalam terjemahan agape adalah cinta tanpa syarat, cinta yang berkorban atau cinta Illahi. Dalam bahasa inggris biasanya kita kenal dengan unconditional love (kasih tanpa syarat). Secara pribadi sebagai penulis, saya melihat Yesus sepertinya mengajarkan model cinta kasih yang Dia bawa ke dunia ini dalam rangka keselamatan. Dia memperkenalkan model cinta kasih itu kepada kita agar kita perbuat untuk mengasihi Allah, dan tidak cukup sampai di situ, tapi Dia juga mengajarkan kita untuk melakukan itu kepada sesama kita.
Ogen : Zakaria 7:8-14
Pada tahun keempat pemerintahan Raja Darius, beberapa orang dari Betel datang ke rumah Tuhan untuk bertanya apakah mereka masih perlu berpuasa dan meratap pada bulan kelima, sebagaimana mereka lakukan selama masa pembuangan. Tuhan menjawab melalui nabi Zakaria bahwa puasa yang mereka lakukan selama 70 tahun itu tidak sungguh-sungguh ditujukan kepada Tuhan, melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Bahkan ketika mereka makan dan minum, mereka melakukannya tanpa kesadaran relasional kepada Allah. Tuhan lalu menegaskan kembali perintah-perintah moral yang telah lama disampaikan oleh para nabi, yaitu agar umat-Nya melakukan keadilan yang sejati, menunjukkan kasih dan belas kasihan, serta tidak menindas janda, anak yatim, orang asing, dan orang miskin. Namun bangsa itu menolak mendengar, mengeraskan hati, dan bersikap keras kepala terhadap firman Tuhan. Akibatnya, Tuhan murka dan tidak lagi mendengar seruan mereka, lalu menyerakkan mereka ke antara bangsa-bangsa lain dan membiarkan tanah mereka menjadi sunyi sepi. Pesan utama dari bagian ini adalah bahwa Tuhan tidak menginginkan ibadah yang hanya bersifat lahiriah dan ritual, melainkan menghendaki ketaatan sejati yang diwujudkan dalam kehidupan sosial yang adil, penuh kasih, dan peduli terhadap kaum lemah.
Invocatio : Mazmur 8:6
Dalam Mazmur ini menceritakan tentang pujian Daud kepada Tuhan yang Agung, yang kemuliaan-Nya memenuhi seluruh bumi dan langit. Mazmur ini mengagumi bagaimana Allah, yang menciptakan alam semesta yang begitu dahsyat, justru memberi perhatian besar kepada manusia. Meskipun manusia tampak kecil dan lemah dibanding ciptaan yang megah, Allah meninggikannya hampir sama dengan Allah, memahkotainya dengan kemuliaan dan kehormatan, serta memberinya kuasa untuk mengatur dan memelihara seluruh ciptaan—burung, binatang, dan ikan. Mazmur ini menekankan keagungan Allah sekaligus martabat tinggi manusia sebagai ciptaan yang dipercayakan tanggung jawab atas dunia, dan diakhiri dengan seruan penyembahan: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!”
Aplikasi
- Dalam minggu Hak Asasi Manusia yang memartabatkan manusia, sejalan dengan invocatio, ogen dan nats khotbah, serta kita diberi alur, yaitu :
- Manusia adalah ciptaan yang mulia dan bermartabat.
- Ibadah dan puasa bukan sekedar ritual dan seremonial kemudian mengabaikan yang lain. Hal ini sejalan dengan kepeduliaan pada kaum yang lemah.
- Hubungan yang baik dengan Tuhan, seiogiyanya sejalan dengan hubungan yang baik dengan sesama.
- Yesus mengajarkan tentang kasih tanpa syarat untuk Allah dan kepada sesama manusia. Karena itu adalah hal yang diajarkan Yesus dalam rangka keselamatan kepada dunia. Kita pun demikian untuk melakukannya. Kita sering terjebak pada ego, harga diri, ingin menunjukkan eksistensi diri, kalau orang baik maka kita baik, atau masih tergantung situasi, belum jadi satu keputusan, dan terlebih masih terganggu dengan keterbatasan orang lain. Kasih tanpa syarat tidak melihat itu, dia lakukan itu bukan karena sesuatu, tapi dia lakukan itu karena itu memang harus dilakukan. Pengampunan, memartabatkan orang lain, terciptanya kedamaian, saling menghargai dan menghormati.
- Semuanya itu bukanlah sesuatu hal yang mudah, kita terus belajar untuk pikul salib. Sulit, bukan berarti tidak bisa, tapi Kristus yang memampukan. Beri hidup dipimpin oleh Roh, karena kita tau daging kita lemah. Tuhan Yesus Memberkati.
Vic. Aditrama Sinulingga, S.Th – Sintang Kalimantan Barat