MINGGU 10 AGUSTUS 2025, KHOTBAH 2 KORINTI 4:16-18 (MINGGU SAITUN)
Invocatio :
“Cawir metua kam nggeluh, bali ras page si megersing ibas paksa peranin” (Jop 5:26 )
Ogen :
Jop 32 :6b -10 (Antiphonal)
Tema :
Ukur Tetap I Pelimbarui
I. Pengantar
Masa lanjut usia adalah tahap terakhir dalam perkembangan manusia dan pada masa ini juga akan tampak jelas beberapa kemunduran dari aspek kesehatan fisik dan psikologis. Kemunduran dari fungsi beberapa panca indra manusia seperti, penglihatan, pendengaran dll, daya ingat yang mulai menurun. Namun sering kita dengar bahwa di usia ini sering disebut dengan Usia Emas. Gereja kita sering menyampaikan bahwa sampai di masa Saitun adalah sebuah anugerah karena belum tentu semua orang akan sampai di tahap ini. Ada sebuah lagu yang berjudul “Siapa Bilang Lansia Tidak Berguna” dalam lagu ini terdapat sebuah syair yang mengatakan Mengapa harus malu, mengapa harus loyo kulit keriput rambut putih tidak masalah. Biar umur tinggallah bonus, biar lutut harus dibungkus, tapi lansia tetap semangat di hari tua” Minggu Saitun mbabai kita ngidah pasu-pasu Dibata nandangi orangtuata si seh bas tahap enda, pentingna semangat ndalani kegeluhen, njaga kesehatan ras kiniteken alu rembak ras Dibata. Ukur si i pelimbarui teptep wari mabai kita ngidah maka nguda tah metua tetap lit kesempaten erlajar kerna Kata Dibata dingen ngaloken keleng ate Tuhan.
II. Isi
- Ayub 5:26
Kitab Ayub berisi tentang kehidupan Ayub dan penderitaan yang dialami dari penyakit, keluarga dan oang-orang terdekatnya serta percakapan Ayub dan teman-temannya seputar penderitaan yang dialami Ayub. Percakapan itu bersifat teguran, anjuran, bantahan dan berbagai perenungan teologis tentang penderitaan dan realitas hidup. Umumnya teman-teman Ayub menegaskan bahwa penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa, sehingga membutuhkan pertobatan. Ayub membantah dengan menunjuk kepada fakta kesalehannya. Elifas mengakui fakta dampak positif hidup Ayub pada banyak orang. Nasihat dan teladan hidup Ayub telah membangun kehidupan banyak orang. Elifas juga mengakui fakta bahwa, kesalehan Ayub dan takutnya akan Allah adalah dasar Ayub memiliki kehidupan yang penuh pengharapan meski secara keseluruhan dalam pasal 5 inti argumen dari Elifas menyatakan penderitaan Ayub adalah teguran atau didikan dari Allah akan dosanya, dan jika Ayub bertobat, ia akan dipulihkan dan hidup sejahtera hingga tua. Ayat 26 menuliskan sebuah janji penghiburan kepada Ayub akan usia (cawir metua kam nggeluh), seperti berkas gandum dibawa masuk pada waktunya yang melambangkan kehidupan yang telah mencapai kematangan penuh, berlimpah dan berhasil. Gandum yang siap panen adalah gandum yang berisi dan matang, bukan yang layu atau belum waktunya namu pasti diwaktu yang tepat.
- Ayub 32:6b-10
Dalam pasal 32 Elihu yang akhirnya angkat bicara setelah mendengar pembicaraan antara Ayub dan ketiga sahabatnya. Di ayat sebelumnya Elihu disebut sebagi anak Barakheel, orang Bus dari kaum Ram, kemungkinan keturunan Nahor saudara Abraham. Elihu menahan diri menunggu Ayub dan sahabatnya berbicara, dia menunjukkan sikap hormat kepada yang lebih tua, meski ada amarah dalam dirinya, namun ia memberanikan diri menyampaikan bahwa hendak memberikan pendapatnya agar merasa lega (ay. 20) karena hikmat seringkali diasosiasikan dengan usia dan pengalaman, sehingga Elihu merasa segan dan ragu untuk berbicara di hadapan merea yang lebih tua, karena tradisi menghargai orangtua dan kebijaksanaan mereka. Selain itu, Elihu juga menegur teman-teman Ayub karena mereka tidak mampu memberikan jawaban yang memadai atas penderitaan Ayub dan hanya menuduhnya tanpa bukti yang kuat. Ayub 32:3 menyatakan: "Ia murka juga terhadap ketiga sahabatnya, karena mereka tidak dapat menjawab Ayub, tetapi mereka menghukum dia. Teman-teman Ayub cenderung berpegang pada pandangan teologis tradisional bahwa penderitaan akibat dari dosa, tetapi mereka tidak dapat membuktikan dosa Ayub.
Elihu menjelaskan pemikirannya yang awal bahwa ia percaya bahwa orang-orang tualah yang seharusnya berbicara dan memaparkan hikmat, karena pengalaman hidup yang panjang, seharusnya memberikan mereka pemahaman lebih dalam, inilah pandangan umumnya. Kemudian Elihu menyampaikan pendapatnya akan sumber hikmat yang sejati ternyata tidak berasal dari usia atau pengalaman semata melainkan dari roh yang di dalam manusia dan nafas Yang Mahakuasa (ay.8) yang mengacu pada Roh Allah. Baginya hikmat adalah anugerah ilahi. Bisa diartikan sebagai akal budi, kapasitas untuk berpikir yang merupakan anugerah dari Allah. Elihu juga menyiratkan bahwa hikmat sejati adalah anugerah, bukan sekedar dari akumulasi pengetahuan dan pengalaman manusiawi. Dalam pidato-pidatonya yang panjang, Elihu mencoba memberikan perspektif baru tentang penderitaan. Berbeda dengan ketiga sahabat Ayub yang cenderung melihat penderitaan sebagai hukuman langsung atas dosa, Elihu mengajukan gagasan bahwa penderitaan juga bisa menjadi alat didikan dan pemurnian dari Tuhan. Ia menegaskan keadilan, kekuasaan, dan hikmat Allah yang tak terbatas. Elihu sebagai jembatan antara perdebatan manusiawi dan intervensi ilahi dari Allah sendiri. Ia tidak ditegur oleh Allah seperti ketiga sahabat Ayub. Ia mengakui pentingnya menghormati yang lebih tua, tetapi ia juga menekankan bahwa hikmat sejati tidak dibatasi oleh usia atau pengalaman. Sebaliknya, hikmat yang benar berasal dari Allah sendiri melalui Roh-Nya yang memberikan pengertian kepada manusia. Dengan dasar ini, Elihu merasa berani untuk menyuarakan pendapatnya, meskipun ia adalah yang termuda di antara mereka.
- 2 Korinti 4:16-18
Ketiga ayat ini berisi nasehat-nasehat dan peringatan-peringatan bagi umat Kristen di Korintus. Ayat 16-18 juga tidak bisa dilepaskan dari ayat 1-15, yaitu bagaimana Paulus menerangkan apa artinya mengambil bagian dalam kehidupan Kristus dengan perumpamaan Harta Rohani dan Juga Bejana Tanah. Paulus juga menegaskan dengan tujuan menguatkan jemaat di Korintus bahwa apa yang mereka alami dengan mengikut Yesus juga sudah terlebih dahulu ia alami. Surat ini ditulis Paulus untuk membela pelayananya dan menguatkan jemaat Korintus untuk menghadapi penderitaan, sebagaimana orang percaya untuk menghadapi penderitaan dalam prespektif eskatologis.
Paulus memulai dengan kalimat “kami tidak tawar hati” walaupun mereka mengalami penderitaan fisik dan psikologis dalam melaksanakan pelayanan. Ia membandingkan “tubuh lahiriah yang mulai merosot”, mengacu pada tubuh fisik, kekuatan fisik, penampilan, dan bahkan kehidupan di dunia ini yang tunduk pada kerusakan, penuaan, penyakit, dan kematian. Paulus mengakui kenyataan bahwa, seperti semua manusia, semakin tua, lemah, dan menghadapi kehancuran fisik karena kerasnya hidup dalam pelayanannya. Ini adalah proses alami yang tidak dapat dihindari. “Manusia batiniah” yang diperbaharui terus menerus, mengacu pada roh, jiwa, pikiran, dan karakter seseorang yang diperbarui oleh Roh Kudus. Meskipun tubuh fisik melemah, sisi rohani mereka justru semakin kuat, diperbaharui, dan bertumbuh dalam kekudusan, iman, harapan, dan kasih. Pembaharuan ini bukan hanya satu kali, tetapi merupakan proses berkelanjutan ("dari hari ke hari"), menunjukkan pertumbuhan rohani yang dinamis dan progresif di tengah tantangan. Kemudian Paulus menggunakan kontras yang kuat antara “penderitaan yang sementara” dengan “kemuliaan yang kekal”. Kata “tawar hati” di teks ini berhubungan dengan keadaan putus asa, lemah atau berkecil hati. Sehingga ‘tidak tawar hati’= tidak sedikitpun penderitaan yang dialami membuat putus asa atau berkecil hati. Catatan sejarah mengingatkan bahwa apa yang dialami Paulus maupun jemaat Korintus sudah juga pernah dialami jemaat Mula-mula, Ketika mereka berdiam di Gua-Gua, di katakombe (kuburan batu) hanya untuk bisa bertahan dalam iman pada Kristus, penolakan dimana-mana, dalam pikiran mereka hanya ada ketakutan, baik fakta sosial dan psikologis mereka merasakan kegelapan. Pengalaman ini menarik sebuah pesan teologis tentang arti eklesiologis bahwa gereja = keluar dari gelap ke terang yang ajaib, ini bukan sekedar kalimat biasa, namun fakta yang dialami jemaat mula-mula.
Atas pengalaman tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa ini juga yang dialami oleh Paulus dan juga Jemaat Korintus dalam melakukan pelayanan dan memberitakan tentang Yesus Kristus. Kata penderitaan yang dialami Paulus; berkaitan dengan pengalaman imannya Ketika di penjara namun tetap memberitakan kabar baik. Apakah yang dialami Paulus merupakan hal biasa? Tidak, karena penjara Romawi merupakan penjara yang kejam. Tangan Paulus di rantai, kaki juga di rantai kemudian antara tangan dan kaki juga diberi rantai yang mebuat dia tidak bisa berdiri tegak karena membawa beban dan tidak bisa tidur lurus. Ini merupakan sebuah keadaan berat dan sulit, namun Paulus mengatakan bahwa ini “penderitaan ringan”, hal ini dikarenakan Paulus memandang identitas keselamatan pada dirinya membuat dia mampu melewati keadaan itu. Kesaksian ini ingin menegaskan bahwa hanya seorang yang mengambil bagian dalam kehidupan Kristus yang mampu menjalani dan menang atas situasi ini. Bagi Paulus, penderitaan sebagai ruang perjumpaan dengan kebesaran Kristus dalam hidupanya.
Dalam 2 Korintus 4:16-18, Paulus menutup bagian ini dengan pernyataan tentang harapan eskatologis: "Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, sedang mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang jauh lebih besar dari pada semuanya itu." (2 Kor 4:17). Dalam bahasa Yunani, kata "παροῦσα θλίψις" (parousa thlipsis) berarti "penderitaan yang sekarang," yang bersifat sementara dibandingkan dengan "αἰώνιον δόξαν" (aiōnion doxan), yaitu "kemuliaan kekal." Ini menunjukkan perspektif Paulus bahwa integritas dalam pelayanan harus berorientasi pada realitas kekal, bukan sekedar pada penderitaan duniawi. Beratnya penderitaan dunia ini tidak sebanding dengan keagungan kemuliaan yang menanti. Penderitaan hanyalah persiapan kecil untuk kebahagiaan dan kemuliaan yang tak terhingga dan kekal.
"Yang kelihatan" mengacu pada segala sesuatu di dunia ini yang dapat dirasakan oleh indra kita: penderitaan fisik, kesulitan hidup, masalah, kekayaan, kesenangan duniawi, kehormatan manusia, dll. Paulus mengatakan bahwa fokus utama mereka bukan pada hal-hal ini, meskipun mereka harus menghadapinya. Semua hal duniawi, bahkan yang paling indah atau paling menyakitkan, bersifat sementara, fana, dan akan berlalu. “Yang tak kelihatan" mengacu pada realitas rohani dan kekal: Allah, Kerajaan-Nya, janji-janji-Nya, kemuliaan yang akan datang, kebenaran, kasih, iman, pengharapan, kehidupan setelah kematian. Dengan memfokuskan pandangan pada realitas rohani dan janji-janji Allah yang kekal, maka kita dapat mengatasi cobaan duniawi yang sementara.
III. Pointer Kotbah
- Tema “Ukur tetap Ipelimbarui”: Di tengah realitas kehidupan manusia beserta kerapuhan fisik yang pasti mengalami kemerosotan dan melemah dan memiliki batas dalam perawatan dan pembaharuannya, Tuhan menganugerahkan sesuatu yang secara terus menerus bisa dibaharui “manusia batiniah” (ukur si tetap ipelimbarui) yang tidak dibatasi oleh usia.
- Penderitaan Ayub dan isi surat Paulus menunjukkan kuasa Tuhan yang tidak terbatas dengan keterbatasan manusia memahaminya. Hanya dengan sikap kerendahan hati mengakui kebesaran Tuhan, memampukan manusia yang terbatas melihat bahwa kasih dan anugerah Allah melampaui semua keterbatasan dan penderitaan yang dihadapi manusia dalam perjalanan hidupnya, senantiasa menghadirkan pemulihan dan kekekalan yang mengatasi kesementaraan dunia saat ini.
- Minggu Saitun ngingetken kita kerna perdalanan kegeluhen ras Dibata mpetetap ukurta guna tetap mpelimbarui ukur segelah seh metua kita tetap erguna. Ukur si tetap ipelimbarui banci mbabai kalak erkiniteken la ngadi erberita kerna kemahakuasaan Tuhan ibas kegeluhenna. Karena hikmat sejati tidak terbatas pada usia.
IV. Penutup
Asa kai pe umur janah uga pe kondisi fisik, selalu ada ruang maupun kesempatan guna ersaksi kerna keleng ate Tuhan. Ukur si tetap ipelimbarui mbabai kita mpebagesi penandaita kerna Dibata arah kerina paksa-paksa kegeluhen. Si bagi ukur ras la bagi ukur, mberat tah menahang, tatap kerina paksa-paksa kegeluhen alu ukur si tetap ipelimbarui alu bage ngasup kita tetap bertahan ras ngataken bujur sebab sitandai dingen sieteh lit keleng ate Tuhan si mpepalem dingen mbaba kita ku kemulian si rasa lalap.
Vic. Senika br Sitepu-Perpulungen Sukabumi