Khotbah Minggu 09 Juli 2017

KHOTBAH MINGGU 09 JULI 2017 (MINGGU IV SETELAH TRINITATIS/MINGGU PENDIDIKAN) Invocatio : Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya (Amsal 13:24). Bacaan : Amsal 15:10-14 (Responsoria) Kotbah : Ibrani 12:5-8 (Tunggal) Tema : Ajarlah Anak-Anak Dengan Disiplin I. Pengantar Orang tua yang sungguh-sungguh mengasihi anak-anaknya akan memberikan pendidikan melalui keteladanan hidup kepada anaknya. Teladan yang yang jelas tentang bagaimana seorang harus hidup. Anthony de Mello dalam bukunya Doa Sang Katak 2 Meditasi dengan Cerita menuliskan suatu cerita tentang betapa pentingnya pendidikan melalui teladan orang tua dan juga orang yang ada disekeliling kepada anak. Sedemikian ceritanya. Ada tiga orang anak yang dituduh telah mencuri buah semangka dan dibawa ke pengadilan. Mereka menghadap hakim dengan perasaan takut. Mereka berpikir akan menerima hukuman berat karena hakim itu dikenal sebagai orang yang sangat keras. Hakim itu juga seorang pendidik yang bijaksana. Dengan satu ketokan palu ia berkata, “Kalau di sini ada orang yang ketika masih anak-anak belum pernah mencuri buah semangka, silahkan tunjuk jari.” Ia menunggu. Para pegawai pengadilan, polisi, pengunjung dan hakim sendiri tetap meletakkan tangan mereka di meja mereka. Ketika sudah puas melihat bahwa tidak ada satu jaripun yang diangkat dalam sidang itu, hakim itu berkata, “Perkara ditolak”. Cerita ini memperlihatkan kepada kita bahwa betapa pentingnya keteladanan hidup dalam memberikan pendidikan kepada anak. Melalui bahan kotbah hari ini, kita akan melihat bagaimana kita diberikan pengajaran untuk mengajar anak-anak untuk berdisiplin. II. Pembahasan Nats Bahan kotbah dari Ibrani 12:5-8, dapat kita lihat bahwa di sini penulis surat Ibrani memberikan suatu penjelasan tentang mengapa orang harus menanggung kesusahan yang melanda hidupnya dengan sukacita. Mengapa demikian? Karena sesuatu yang harus mereka tanggung itu hanya kecil saja jika dibandingkan dengan apa yang telah ditanggung oleh Yesus Kristus. Mereka harus menanggung kesusahan, karena kesusahan itu adalah pelajaran disiplin dari Allah dan hidup tanpa disiplin tidak punya nilai sedikitpun. Seorang ayah akan menghajar anaknya. Sama seperti yang disampaikan dalam invocatio: “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya (Amsal 13:24)”. Adalah bukan suatu tanda kasih untuk membiarkan anak berbuat sekehendaknya, dan menganggap enteng semuanya. Sikap seperti itu akan menunjukkan bahwa sang ayah memandang anaknya sebagai anak yang tidak perlu dikasihi atau dipertanggungjawabkan. Tetapi Allah, yang memberikan hajaran kepada kita manusia adalah Allah yang dari padanya kita menerima jiwa yang kekal, dan yang dalam kebijaksanaanNya selalu mengusahakan yang terbaik untuk kita. Tuhan mendisiplinkan kita karena IA mengasihi kita. Dengan mendisiplinkan kita, IA menegaskan lagi bahwa kita adalah bagian dari keluargaNya, kita adalah anak Allah. Ketika kita mendisiplinkan anak-anak, kita sedang mengisyaratkan bahwa kita mengasihi mereka. Berdasarkan surat Ibrani 12:5-8, marilah memperhatikan beberapa hal tentang didikan Tuhan atas orang-orang percaya dan kesukaran serta penderitaan yang diizinkanNya terjadi dalam kehidupan. Mari kita menilik beberapa hal berikut tentang didikan Tuhan : 1. Semuanya itu merupakan tanda bahwa kita adalah anak Allah (ayat 7-8) 2. Semuanya itu merupakan jaminan kasih dan perhatian Allah kepada kita (ayat 6) 3. Didikan Tuhan akan mendorong kita untuk tetap dapat bertahan dalam kesukaran dengan pimpinan Allah, tunduk kepada kehendak Allah dan tetap setia kepadaNya (ayat 5-6). Dengan melakukan hal ini, kita akan tetap hidup sebagai anak-anak rohani Allah (ayat 7-9). 4. Dalam kehendak Allah, kesulitan mungkin tiba bagi kita : Sebagai akibat perjuangan rohani untuk melawan iblis (Efesus 6:11-18) Sebagai ujian untuk memperkuat iman kita (1 Petrus 1:6-7). Sebagai persiapan untuk menghibur saudara seiman yang lain (2 Korintus 1:3- dan menyatakan kehidupan Kristus (2 Korintus 4:8-10,12,16). 5. Di dalam segala bentuk kesengsaraan kita harus mencari Allah, memeriksa kehidupan kita (2 Tawarikh 26:5; Masmur 3:5; 9:13; 34:18) dan meninggalkan segala sesuatu yang bertentangan dengan kekudusanNya (ayat 10, 14) Penjelasan di atas memperlihatkan betapa pentingnya didikan yang disampaikan oleh Tuhan kepada kita sebagai seorang yang percaya kepadaNya. Dia adalah Bapa kita yang penuh dengan hikmat dalam memberikan didikan untuk mendisiplinkan kita agar tetap setia serta mengandalkanNya dalam langkah kehidupan setiap hari. III. Aplikasi Jikalau Allah yang sedemikian mengasihi kita setiap orang yang percaya kepadaNya memberikan didikan yang sangat berguna dalam kehidupan kita, bagaimanakah kita selaku orang tua dalam mendidik anak-anak kita agar menjadi seorang yang disiplin? Salah satu pemberian terbesar yang dapat diberikan oleh orangtua kepada anaknya adalah disiplin. Tentu saja hal ini dimulai dari orang tua sendiri yang juga harus disiplin dalam memberikan pengajaran kepada anak. Keluarga menjadi kelas katekisasi. Anak-anak belajar katekisasi di rumah mereka. Gurunya adalah ayah dan ibu mereka sendiri. Kehidupan keluarga sehari-hari dijadikan kelas katekisai. Dengan demikian, ayah dan ibu memiliki peranan penting dalam pendidikan iman. Ayah dan ibu menjadi “guru dan pendeta” bagi anak-anaknya. Dalam kelas ini anak-anak dapat diajarkan tentang iman kepada Tuhan (Ulangan 6:4-9) sehingga anak-anak tumbuh dalam disiplin baik moral dan juga spiritual. Selain keluarga sebagai kelas katekisasi, keluarga dapat juga disebut sebagai Universitas, yaitu universitas keluarga sebagai tempat mendidik anggota keluarga setiap hari. Sedangkan dalam metode pendidikan yang akan diterapkan, sesungguhnya tidak ada satu metode yang khusus, yang dapat diteraplkan kepada anak-anak. Mengapa? Karena setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Itulah sebabnya, metode tertentu mungkin tepat bagi anak tertentu, tetapi tidak tepat dan mengakibatkan kegagalan bagi anak lainnya. Mari kita perhatikan beberapa hal berikut yang penting bagi kita untuk berdisiplin dalam memberikan pengajaran kepada anak-anak kita : 1. Tanggung jawab utama ada pada kedua orang tua. Yang lain hanya membantu, pelengkap. 2. Keteladanan: Like father, like son. 3. Didik dalam kasih dan ajaran Tuhan (Ef.6:4) 4. Nyatakan penerimaan kepada anak, begaimana pun kondisinya 5. Namun demikian, harus tetap tegas dalam pengajaran dan mendisiplin (band: 1Sam.2:11-26, kisah anak-anak Eli) 6. Miliki ketekunan dan disiplin; bukan instant (bd. Ul.6:6-9). 7. Harus konsisten, baik dalam ajaran, maupun perilaku. 8. Gunakan setiap kesempatan (Ul.6:6-9) 9. Bila perlu, gunakan hukuman: Ams:13:4; 15:10; 22:15; 23:13-14; 29:15. 10. Jadilah guru 11. Miliki kedekatan dengan anak: jadilah teman bermain mereka. Cari dan ciptakan sebanyak mungkin jenis permainan yang membuat kita menjadi salah seorang ‘teman’ bermain mereka. 12. Sediakan waktu secukupnya bersama anak-anak. Tidak cukup hanya kwalitas, tapi juga kwantitas. Ingat: kasih menuntut waktu dan pengorbanan. Dan lagi, sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kita dapat diukur dari segi penggunaan waktu kita. Apakah anak-anak, keluarga penting bagi kita? Apakah hal itu terlihat dari waktu dan prioritas yang kita gunakan ? SELAMAT MENDIDIK ANAK-ANAK DENGAN DISIPLIN Pdt. Crismori Veronika br Ginting GBKP Yogyakarta

Khotbah Minggu 02 Juli 2017

KHOTBAH MINGGU 02 Juli 2017 (MINGGU III SETELAH TRINITATIS/MINGGU PESTA PANEN) Invocatio : “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Korintus 9:6) Bacaan : Ulangan 16:13-15 Khotbah : 2 Korintus 9:11-15 Tema : “Persembahkanlah Hasil Panenmu!” I. PENDAHULUAN Ada sebuah tradisi tidak tertulis bahwa ketika kita harus mentraktir orang yang dekat dengan kita ketika kita memperoleh gaji pertama. Banyak yang memberikannya kepada orang tua mereka sebagai tanda terima kasih atau kepada orang-orang yang dianggapnya ‘berjasa’ dalam hidupnya. Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, orang biasa mempersembahkan atau memberikan hasil pertama dari penghasilan mereka kepada orang-orang tertentu dan kepada yang dianggap sesuatu adikodrati/ilahi. Di jawa misalnya, orang yang bercocok tanam dengan menanam padi akan memberikan sebagian padinya kepada dewi sri atau dewi padi. Nelayan yang menangkap ikan misalnya akan membuang ke laut sebagian hasil tangkapannya sebagai tanda syukurnya kepada ‘laut’. Intinya orang memberikan kembali sebagian dari yang mereka terima sebagai ucapan syukur mereka. Tradisi ini juga berlaku bagi “umat Israel”, hanya saja mereka memberikannya sebagai persembahan kepada Allah yang hidup, bukan kepada dewa-dewa tanah atau laut. Dan persembahan itu juga sebagai lambang keadilan sosial bagi umat Allah, dalam mereka berbagi atas berkat-berkat Tuhan. II. PENDALAMAN NAS Dalam Ul. 16:13-15 dikatakan tentang Hari Raya Pondok Daun. Dalam bahasa Ibrani Khag hasukkot (Im. 23:24; Ul. 16:13) atau khag ha’asif (Kel. 23:16; 34:22). Salah satu dari tiga pesta besar Yahudi, yang dirayakan dari tanggal 15-22 bulan ke-7. Inilah akhir tahun ketika panen dituai, dan merupakan salah satu dari pesta ketika setiap laki-laki harus muncul di hadapan Tuhan (Kel. 23:14-17; 34:23; Ul. 26:16). Pesta itu sangat meriah (Ul. 16:14). Nama “hari raya Pondok Daun” berasal dari kebiasaan bahwa setiap orang Israel harus diam di pondok yang dibuat dari cabang dan daun selama 7 hari pesta itu (Im. 23:42). Selama 7 hari pesta itu korban-korban dipersembahkan. Pada hari pertama 13 lembu jantan dan binatang-binatang lain, setiap hari jumlahnya dikurangi sampai pada hari ke tujuh maka 7 ekor lembu jantan dikorbankan. Pada hari ke-8 diadakan perkumpulan khidmat, yang dipersembahkan seekor lembu jantan, seekor kambing jantan dan 7 ekor anak domba (Bil. 29:36). Yoh. 7:37 menyebut hari ini ‘puncak perayaan itu’. Pesta ini yang ditetapkan pleh Allah tidak pernah terlupakan. Diadakan pada waktu Salomo (2 Taw. 8:13), Hizkia (2 Taw. 31:3; bnd. Ul. 16:16) dan sesudah pembuangan (Ezr. 3:4; Zak. 14:5, 18-19). Pesta ini mengingatkan orang Israel akan keluaran dari Mesir dan pengembaraan Israel di padang gurun pada saat mereka tinggal di pondok (Im. 23:43). Tapi ini tidak merupakan bukti bahwa suatu pesta berlatar belakang agraris telah diubah menjadi pesta yang bersifat historis. Malah, pesta ini menunjukkan bahwa kehidupan Israel didasarkan pada penebusan yang pada akarnya berarti pengampunan dosa. 2 Korintus 9:11-15, dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus bagian kedua ini, khusus pasal 9 ditekankan mengenai pengumpulan uang untuk membantu jemaat Yerusalem. Paulus memakai ilustrasi menganai pertanian, dimana seorang petani yang menabur benih, akan kehilangan benih itu dari tangannya ketika dia menaburkannya. Namun benih itu tidak hilang begitu saja, karena ada harapan bahwa benih itu akan memberikan hasil yang berlipat ganda kemudian hari. Jika si petani ingin terus menggenggam benih itu maka ia hanya akan memanen sedikit hasil. Sementara petani yang melepaskan lebih banyak benih akan menghasilkan panen lebih banyak pula. Korintus adalah kota besar, titik temu jalan perdagangan darat utara selatan di propinsi Akhaya. Lagipula Korintus adalah kota pelabuhan dimana semua penduduknya dalam keadaan makmur. Di Korintus hanya ada 200.000 penduduk, tetapi disana juga ada 600.000 tenaga kerja (pembantu, buruh dan budak). Kalau dibandingkan rasionya yaitu 1:3, untuk satu orang Korintus tersedia tiga orang pelayan atau tenaga kerja. Orang Korintus memang makmur tetapi mereka kurang suka memberi bantuan mereka kepada gereja di Yerusalem dan mereka tidak perhatian tentang gereja lain. Mereka hanya sibuk dengan urusan sendiri atau gereja lokalnya saja, mereka sibuk tentang persoalan rebutan kedudukan pemimpin, apakah dari golongan Paulus, Apolos atau golongan Kefas. Yang mereka persoalkan lainnya adalah mengenai makanan sembahyang, persoalan tutup kepala perempuan dalam ibadah, persoalan bahasa lidah, dan lainnya. Kalau urusan ‘memberi’ atau menyokong gereja lainnya seolah-olah mereka tidak perduli dan acuh. Sudah sekian lama jemaat Korintus memberi bantuan kepada jemaat di Yerusalem, tapi upaya itu tetap tidak dirampungkan (bd. 2 Kor. 8:10-11), karena itu Paulus memberi pengandaian sekaligus penekanan lewat kalimat, “orang yang menabur banyak akan menuai banyak juga”. Bahwa apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituai (bd. Amsal 11:24-29; 19:17), bukan cuma persoalan menabur dan menuai secara materi/jasmani, tapi termasuk juga tuaian rohani (Gal. 6:7-10). Disini ditekankan tentang adanya sebab-akibat dari apa yang diperbuat umatNya. Dengan demikian setiap orang sepatutnya tetap mengawasi, mengontrol tingkah laku dan perbuatan diri sendiri. Mawas diri dan mewaspadai setiap apa yang diperbuat (yang ditabur), termasuk dalam praktek ‘memberi’. Selanjutnya Paulus menegaskan untuk “memberi dengan sukacita, bukan karena paksaan, bukan karena sebuah keharusan atau sebuah peraturan. Sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita serta mencukupkan, menyediakan, dan melipatgandakan apa yang perlu, baik materi maupun rohani dalam pelbagai kebajikan (bd. Filipi 4:19). Memberi adalah wujud pelayanan kasih dan itu bukan hanya mencukupi keperluan jasmani orang lain. Tapi juga sebagai wujud syukur kepada Allah yang adalah karunia ilahi yang mengilhami segala perbuatan. Dengan memberi orang lain pun akan merasa terberkati dan dengan perbuatan ‘memberi dengan sukacita’, maka orang lain pun semakin kuat dalam keyakinan-keyakinan pengakuan percaya kepada Yesus Kristus. Ini berarti bahwa perbuatan “memberi”, kita akan menjadi kesaksian yang hidup bagi orang lain (bd. 2 Kor. 9:13). Pemberian yang terbaik bagi pelayanan dan pembangunan jemaat adalah pemberian yang dilandasi keterbukaan dan tanpa paksaan. Tuhan tidak melihat besar kecilnya persembahan, melainkan motivasi dan ketulusan hati kita dalam memberi. Jangan pernah hitung-hitungan dengan Tuhan, apalagi menahan berkat yang seharusnya kita salurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkannya. Ketika kita memberi dengan kasih maka kita akan memperoleh kelimpahan anugerah dari Allah. III. APLIKASI Ada beberapa hal yang menjadi pusat perhatian kita dalam memberi persembahan dalam rangka ucapan syukur karena berkat Allah, baik oleh karena rejeki dalam pekerjaan, usaha, bisnis maupun dengan jalan lainnya yang kesemuanya itu kita katakan dengan “hasil panen”. Yang pertama adalah sikap kita dalam memberi. Dalam Ul. 16:14 dikatakan “haruslah engkau bersukacita pada hari rayamu itu”. Tuhan meminta kita untuk bersukacita dalam memberikan yang terbaik bagi Allah. Ini bukanlah kewajiban yang mendukakan, melainkan sebuah kesempatan untuk memberi dan bergembira. Bayangkan ketika kita baru saja menerima gaji (apalagi gaji pertama), maka kita pasti sangat berbahagia dan sukacita dan karena sukacitanya mentraktir ‘orang-orang terdekat’ juga kita sangat berbahagia. Perasaan ini jugalah yang harus ada pada kita ketika kita memberi persembahan kita kepada Tuhan. Yang kedua, hal penting yang harus kita perhatikan dalam hal memberi adalah kita diminta untuk memperhatikan yang lain. Kita juga harus membantu orang lain untuk bersukacita. Ada faktor kebersamaan, dalam hari raya pondok daun/pesta panen diingatkan kita harus bersukacita bersama dengan hamba laki-laki, hamba perempuan, orang Lewi, orang asing, anak yatim piatu dan janda yang ada di sekitar kita. Artinya, ketika kita bersukacita atas segala yang Tuhan berikan kepada kita, kita juga membagikannya kepada orang lain dan “Yerusalem-Yerusalem” yang membutuhkan dimanapun mereka berada. Irenaeus, seorang Bapa gereja berkata, “the jews were constrained to a regular payment of tithes; christians, who have liberty, assign all their possessions to the Lord, bestowing freely not the lesser portions of their property, since they have the hope of greater things”, yang berarti orang Yahudi diatur oleh Tuhan memberi pembayaran perpuluhan secara reguler; orang Kristen diberi kebebasan menyerahkan apa yang ada dari milik mereka kepada Tuhannya, tetapi memberi dengan kebebasan ini tidak berarti bahwa kita memberi kurang daripada apa yang diaturkan, sebab kita memiliki pengharapan yang lebih besar di sana. Untuk itu mari kita memberikan persembahan syukur kita bukan dengan terpaksa apalagi merasa rugi karena persembahan kita adalah buah dari berkat yang telah terlebih dulu kita terima dari Tuhan dan persembahan itu akan menjadi berkat yang melimpah apabila “ditaburkan” dengan cara yang baik. Pdt.Irwanta Brahmana,S.Th GBKP Surabaya

Khotbah Minggu 25 Juni 2017

KHOTBAH MINGGU 25 JUNI 2017 Invocatio : “Tangan yang lamban membuat miskin,tapi tangan orang rajin menjadikan kaya” (Amsal 10:4). Bacaan : Kolose 3:22-25 Khotbah : Kejadian 1:28-29 Tema : Bekerja adalah perintah Tuhan A.Pendahuluan Banyak orang merasa bahwa pekerjaan yang mereka tekuni sekarang adalah terasa berat dan membosankan sehingga bekerja tidak lagi menjadi sukacita dalam hidup mereka. Keadaan ini membuat manusia menjadi lelah dan tertekan karena tuntutan dari pekerjaan di lakukan. Mengapa kita harus bekerja? Apa yang menjadi latar belakang atau alasan kita bekerja? Memahami alasan serta latar belakang kita bekerja sangat penting untuk membantu kita melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin serta menentukan prioritas, sasaran serta tujuan yang ingin kita capai melalui pekerjaan tersebut. Dengan pemahaman yang benar tentang bekerja akan memotivasi kita terutama pada masa-masa dimana bekerja adalah melelahkan, membosankan ataupun saat-saat dimana bekerja itu sesuatu yang dipaksakan atau suatu keharusan. Kalau bekerja dihubungkan dengan Alkitab, maka akan kita temukan bahwa manusia dirancang Allah sebagai mahluk yang bekerja. Dengan kata lain bekerja adalah perintah Allah sejak manusia pertama diciptkan. Menurut Alkitab Allah yang menciptakan manusia yang segambar dengan diriNya adalah Allah yang bekerja Kej.1:28-29; Ul 5:13 adalah perintah untuk bekerja. B.Pendalaman Teks 1.Kolose 3:22-25 Dalam kolose 3:22-25 Paulus menekankan 2 hal penting kepada jemaat kolose yaitu: Pertama bekerja adalah ibadah kepada Tuhan. Hal itu menepis anggapan bahwa pekerjaan bukanlah hal yang rohani. Banyak orang beranggapan gereja ya gereja, kerja ya kerja, keduanya terpisah, sehingga kalau di gereja benar dan penuh kasih dan kalau lagi bekerja boleh tidak benar dan tidak ada kasih. Kedua Bekerja adalah pelayanan kepada Kristus, kita adalah pekerja Kristus, oleh karena itu seharusnya kita menjadi pelayanNya di tempat kerja, bekerja menjadi lahan untuk memuliakan Kristus. Dengan pemahaman diatas sebagai orang yang percaya kepada Kristus, Paulus mengatakan sikap yang seharusnya kita miliki yaitu: 1) Taat kepada pimpinan dalam segala segala hal. Di tempat kerja merupakan suatu keharusan taat kepada pimpinan selama ketaatan itu bukan dosa. Memang hal ini terkadang sulit, namun tuntutan kita sebagai pekerja Kristus harus lebih diutamakan. 2) Bekerja dengan memberi yang terbaik. Sebagai pekerja Kristus sudah semestinya kita bekerja dengan sebaik-baiknya, karena buah pekerjaan itu tidak hanya ditujukan untuk pinpinan tapi juga untuk Tuhan. 3) Bekerja dengan takut akan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah kehidupan yang berintergritas, bekerja dalam kebenaran dalam kekudusan dan kejujuran. Tuhan turut menilai buah dari pekerjaan kita. 2. Kejadian 1:28-29 Setelah Allah menciptakan manusia menurut gambar rupaNya, kini Allah memberkati dan memberi mandat kepada manusia. Kata kerja yang dipakai dalam kata “Allah memberkati mereka” adalah “wayvarekh” yang diterjemahkan “Dia telah memberkati”. Perkataan selanjutnya adalah “Beranak cucu lah dan bertambah banyak, penuhilah bumi. Berkat Allah atas manusia yaitu beranak cucu dan bertambah banyak, sama seperti ciptaanNya yang lain. Selanjutnya Tuhan memberitahu kepada manusia, ”taklukkan lah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Ketika Allah memberikan mandat kepada manusia dan berkata taklukkanlah dan berkuasalah mengandung arti harafiah “tundukkanlah dan memerintahlah yang memiliki arti bahwa kuasa dan kemampuan untuk memerintah tersebut diberikan kepada manusia yang sudah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang menjadi wakil Allah diatas bumi. Dengan demikian manusia digambarkan sebagai pengelola yang memelihara dan melindungi ciptaanNya. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia sebagai yang mewakili Allah yang bertugas memelihara ciptaan Penciptanya. Kekuasaan itu bukan mengeksploitasi ciptaanNya, melainkan penatalayanan seorang pengelola yang bertanggung jawab, yang mengakui bahwa segala sesuatu diperoleh dari tangan Allah. Mandat yang diberikan Allah bagi manusia untuk megelola ciptaanNya dikuti dengan perkataan “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji, itulah yang akan menjadi makananmu” (ay.29). Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal penciptaan Allah sebenarnya memberikan segala fasilitas bagi manusia. Segala tumbuhan dan pohon yang buahnya berbiji adalah menunjukkan ketersediaan kebutuhan makanan yang tidak akan habisnya karena biji itu bisa ditanam untuk menghasilkan buah. Dengan demikian manusia tidak akan mati kelaparan, Allah ingin manusia bisa memanfaatkan dan menikmati berkat yang sudah Ia sediakan. C. Aplikasi Tema kita adalah Bekerja adalah perintah Tuhan, hal ini memberi pengertian kepada kita bahwa manusia memang dirancang Allah untuk bekerja. Tubuh jasmani kita juga sangat mendukung untuk senantiasa melakukan aktivitas bekerja. Ketika Allah menciptakan manusia, Ia tidak hanya mencipta, melainkan mempunyai tujuan, agar manusia menjadi rekan sekerjanya dibumi (Kej 1:26). Bekerja merupakan hakekat kemahlukan manusia. Menurut Verkuyl yang dikutip oleh Eka Darmaputra dalam bukunya: Etika sederhana untuk semua; bisnis ekonomi dan penatalayanan mengatakan bahwa manusia itu harus bekerja, agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak hanya bertalian dengan dosa dan kutuk yang menimpa bumi melainkan juga termasuk tata asali Allah.Istilah antropologi “homo faber” artinya manusia sang pembuat (maker). Dengan tangannya manusia membuat perkakas kerja (teknologi) lalu dengan perkakas itu ia mengubah diri dan dunia sekitarnya (bnd. invocatio). Dengan demikian bekerja bukan hanya sebagai suatu keharusan atau paksaan tetapi merupakan hakekat manusia. Paulus berkata dalam 2 Tes.3:10b bahwa jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan. Paulus ingin mengatakan bahwa inilah pandangan orang Kristen tentang bekerja. Ungkapan ini menekankan kehendak “jika seseorang menolak bekerja dan selanjutnya buah dari penolakan itu, ia tidak akan makan apapun”. Hal ini menjelaskan bagi kita bahwa kita tidak boleh menjadi pemalas tapi harusnya menjadi pekerja. Untuk mewujudkan bahwa kita manusia adalah segambar dengan Allah dengan cara bekerja sebaik mungkin mengikuti teladanNya. Kita bekerja bukan sekedar mendapatkan upah untuk diri kita sendiri tapi melalui pekerjaan kita bisa melayaniNya. Bekerjalah selagi kita masih mampu melakukannya dan jangan hanya mewariskan harta kepada anak cucu kita tapi wariskan juga kepada mereka semangat dan motivasi untuk bekerja. Pdt Rena Tetty Ginting GBKP Bandung Barat

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD