PEKAN DOA GBKP TAHUN 2023 WARI II, 1 SAMUEL 14:57-52
Invocatio :
1 Tesalonika 1:3
Khotbah :
1 Samuel 14:57-52
Thema :
Keluarga Yang Setia Melayani (Jabu Si Tutus Ngelai)
Paulus memulai dengan mencatat bahwa ia dan teman sekerja “selalu mengucap syukur” karena jemaat di Tesalonika, serta selalu mengingat mereka. Dan alasan Paulus mengucap syukur karena Paulus mengingat pekerjaan iman, usaha kasih dan ketekunan pengharapan kepada Tuhan Yesus Kristus. Pekerjaan iman maksudnya di sini adalah pekerjaan kepercayaan, menjelaskan bahwa iman jemaat ini menjadi nyata dalam tindakan tertentu. Tindakan itu salah satunya adalah tentang kasih persaudaraan. Jelas bahwa pekerjaan iman juga bisa disebut “usaha kasihmu”. Kasih itu terhadap warga jemaat dan terhadap semua orang. Kita teringat akan apa yang dikatakan Paulus di Roma 13:10 “kasih adalah kegenapan hukum Taurat”. Dan salah satu dasar dari usaha kasih itu adalah pengharapan kepada Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu kepada keselamatan dan kedatanganNya. Paulus mengingat sikap dan tindakan jemaat di Tesalonika di hadapan Allah dan Bapa kita. Dengan demikian, kehidupan dan tindakan jemaat ditempatkan dalam terang pengucapan syukur kepada Allah. Paulus dan jemaat ini berdiri dalam terang Injil anugerah.
Dalam rangkaian cerita tentang perang melawan kaum Filistin, Saul dan anaknya Yonatan mendapat penghargaan yang tinggi karena keunggulan mereka. Perang melawan Amalek juga diceritakan sebagai cerita pertolongan Tuhan kepada Saul. Rahasia kemenangan Saul dan putranya, Yonatan, terletak dalam ketergantungan mereka kepada Tuhan. Mereka meminta petunjuk keputusan Tuhan dan sadar akan pertolongan Tuhan. Berulang-ulang Saul digambarkan sebagai hamba Tuhan. Ia mempersembahkan kurban dan bertindak sebagai kepala umat, sama seperti kepala keluarga berhak membawa kurban.
Iman adalah respons personal seseorang kepada Allah, sehingga secara pribadi seseorang berjumpa dengan Sang Khalik yang menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus. Namun di dalam Alkitab respons iman secara personal senantiasa dikaitkan dengan seisi anggota keluarga. Abram menjawab panggilan Tuhan dengan membawa anggota keluarganya, yaitu Sarai dan Lot (Kej. 12:5). Musa menerima panggilan dan utusan Tuhan dengan membawa istri dan anak-anaknya (Kel. 4:20). Demikian pula sikap Yosua. Dia menegaskan: “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan” (Yos. 24:15b). Pernyataan sikap Yosua tersebut dinyatakan di hadapan umat Israel dalam perjanjian di Sikhem. Yosua menegaskan terlebih dahulu sikap iman dan anggota keluarganya, lalu mempersilakan umat Israel mengambil pilihan, yaitu: “Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada Tuhan, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos. 24:15). Sikap Yosua tersebut dinyatakan tanpa menunggu sikap umat Israel.
Tentu sikap iman individu yang mandiri dihargai oleh Tuhan. Tetapi lebih sempurna lagi bila sikap iman seseorang didukung oleh anggota keluarga, sehingga seluruh anggota keluarga juga percaya kepada Tuhan Yesus. Karena itu apabila kita seorang diri yang baru percaya kepada Kristus, seharusnya yang paling banyak kita doakan adalah anggota keluarga kita. Selaku orang yang percaya kepada Kristus, seharusnya kita menjadi teladan dalam kata dan tindakan sehingga anggota keluarga kita semakin terbuka dan tersentuh hatinya untuk mengikuti jejak iman kita. Namun sayang sekali dalam praktik kehidupan, anggota keluarganya semakin bersikap antipati terhadap iman Kristen karena setelah menjadi orang Kristen kehidupannya semakin tidak beres. Menjadi orang Kristen relatif mudah asal dia mau ikut katekesasi selama 9-12 bulan, tetapi menjadi pengikut Kristus yang sejati tidaklah mudah, sebab dituntut perubahan dan pembaruan hidup yang radikal, yaitu pola kehidupan yang sesuai dengan karakter Kristus. Keteladanan adalah sikap hidup yang konsisten dan yang terus-menerus dibarui oleh Roh Kudus, sehingga karakter Kristus menjadi nyata.
Pdt. Andreas P. Meliala-Runggun Cibinong