SUPLEMEN PEKAN KELUARGA GBKP WARI V, KHOTBAH 1 JOHANES 4:16B-21

Invocatio         : 1 Timotius 5: 8

Ogen               : 2 Samuel 19: 31-39

Tema               : JABU SI NEHKEN KEKELENGEN (KELUARGA MENJADI SALURAN KASIH) 


A. Pendahuluan

Kasih merupakan kebutuhan dasar setiap keluarga dalam upaya pembentukan karakter yang sehat. Demikian pula dalam penerapannya, kasih dibarengi dengan disiplin harus diterapkan secara seimbang. Kasih adalah alasan, motif dan tujuan adanya disiplin, dan disiplin merupakan perwujudan kasih itu sendiri. Masalah yang dihadapi orang tua saat ini adalah orang tua terjebak ke dalam dua pilihan dalam menerapkan kasih dan disiplin, yaitu menerapkan kasih dan disiplin secara bersama-sama dan seimbang atau menerapkan salah satunya dan memisahkan yang lainnya. Hal ini terjadi akibat kesalahpahaman orang tua mengenai konsep relasi antara kasih dengan kebebasan serta disiplin dan hukuman. Konsep yang menyatakan bahwa disiplin sama dengan hukuman, membuat disiplin begitu sempit dan dipandang negatif, kejam serta tidak mencerminkan adanya kasih. Konsep inilah yang kemudian menciptakan konsep berikutnya, yaitu disiplin dan kasih adalah dua hal yang saling bertentangan sehingga orang tua terjebak pada penerapan kasih atau disiplin yang ekstrim.

Penulis surat 1 Yohanes memiliki kekhasan dalam tulisannya. Secara keseluruhan, Injil Yohanes dan surat 1 Yohanes memiliki kesamaan dalam penggunaan kata-kata. Artinya, kata-kata yang sering muncul atau digunakan dalam Injil Yohanes dan surat 1 Yohanes memiliki keterkaitan dan kemiripan yang sangat dekat. John Drane menyatakan bahwa ada banyak persamaan yang dekat antara Injil Yohanes dan Surat 1 Yohanes. Keduanya memakai bahasa dengan cara yang sama, mengkontraskan antara terang dan gelap, kehidupan dan kematian, kebenaran dan kesesatan, semuanya ditemukan baik dalam Kitab Injil maupun suratnya[1].

Menurut Sitompul dan Beyer, dalam Perjanjian Baru ada tiga jenis sastra besar (genre), yaitu naratif (narrative), tulisan (epistle) dan wahyu (apocalypse)[2]. Surat 1 Yohanes termasuk dalam kategori tulisan (epistle). Beberapa ahli Perjanjian Baru memperdebatkan bahwa 1 Yohanes tidak dapat dikatakan sebagai suatu surat sebagai mana lazimnya, karena struktur dokumen ini hampir tidak memenuhi unsur-unsur sebuah surat sebagaimana mestinya[3]. Gaya penyusunan 1 Yohanes adalah paraklese indicative. Dalam Perjanjian Baru, surat-surat kiriman (epistolary literature) pada umumnya memakai pola paranese imperative dan atau paraklese indicative[4]. Konteks kehidupan (setting in life/sitz im leben) dari surat ini adalah tradisi apologetis–parakletis. Hal ini dapat dilihat dalam karakter surat ini yang menyatakan kebenaran dengan cara yang bersifat apologia (persuasif). Dalam melawan dan membantah ajaran sesat yang dihadapi, penulis surat ini memilih untuk menyatakan hal-hal positif mengenai kebenaran yang asasi (kegeluhen si payo), jauh dari sikap kasar dan arogan. Nuansa kedewasaan iman dan keyakinan penulis mengenai kebenaran itu dalam surat sangat kuat. Dengan kata lain, penulis memilih mempertahankan keyakinannya akan kebenaran dengan berusaha memahami dan mendalami dasar kebenaran itu dalam konsep-konsep yang fundamental dari pada menyerang kesesatan dengan cara-cara yang frontal dan profan (lanai badia).

B. Isi

Kasih Allah adalah ketika apa yang sudah Ia lakukan dimasa lampau yaitu kasihNya dengan mengorbankan Anak-Nya yang tunggal dengan darah yang saat ini tidak bisa untuk manusia lakukan dan kasih Yesus Kristus adalah kasih yang sangat tertinggi dan tidak ada batasnya, oleh sebab itu manusia harus benar-benar menerapkan kasih Allah dalam kehidupan sehari-hari bukkan saja dengan perkataan tetapi bagaimana melakukan kasih itu dengan suatu tindak yang real terhadap orang-orang yang berada disekitarnya yaitu orangtua, teman-teman, sahabat, keluarga dll. Mengasihi dengan cara menolong atau membantu bisa juga dengan memberikan perhatian atau memberikan kepedulian terhadap mereka itulah bentuk sebuah kasih. 1 Yohanes 4:19 Allah adalah kasih.

“Kurikulum pembelajaran” kasih dapat dilakukan di dalam keluarga, Keluarga merupakan tempat utama dalam tugas mendidik.Sebagai pemberian Tuhan yang tak ternilai harganya keluarga Kristenlah yang memegang peranan penting dalam pendidikan agama Kristen (kasih). Peranan orang tua dalam mengasuh anak-anak sangatlah penting, bukan hanya anak belajar dan mengalami pertumbuhan di dalam keluarga, tetapi seluruh anggota keluarga dapat saling belajar dari yang lain melalui interaksi satu sama lain. Ketika orang tua menjalankan peranan pendidikan iman dalam kasih terhadap anak, ia sendiri juga belajar untuk bertumbuh dalam iman didalam dimensi tindakan. Dalam Perjanjian Baru, nats yang ditampilkan adalah Efesus 6:1-4. Bagian ini berbicara mengenai rumah tangga atau keluarga sebagai tempat pendidikan iman anak kepada Tuhan, serta cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan mengingat anak sebagai anugerah pemberian Allah, dapat dipahami bahwa anak harus taat kepada orang tua di dalam Tuhan.

Barzilai adalah orang yang menolong Raja Daud dan yang telah memberi bantuan logistik ketika Daud berada dalam pelarian di Mahanaim (2 Sam. 17:27-29). Ketika Raja Daud hendak menyeberangi sungai Yordan untuk kembali ke Yerusalem, Ketulusan perbuatan baiknya terlihat semakin nyata ketika Raja Daud mengajak Barzilai untuk tinggal di Yerusalem dan berjanji untuk memelihara dia, Barzilai tidak melihat tawaran itu sebagai sebuah kesempatan/aji mumpung artinya kesempatan untuk memanfaatkan situasi yang menguntungkan. Dengan bijak, ia menolak tawaran tersebut dengan alasan bahwa ia sudah terlalu tua dan tidak ingin menjadi beban bagi Raja Daud dengan tinggal di Yerusalem. Sebaliknya, Barzilai justru malah menawarkan Kimham hamba kepercayaannya untuk ikut mendampingi Raja Daud di Yerusalem. Dari bahan bacaan (ogen) mampu kita cemati bahwa, ketulusan hati untuk melakukan kasih harus dengan ketulusan tidak mengharapkan imbalan. Tutus ibas nampati, la ngidoi nari. Dalam keputusan di keluarga tetap menekankan kasih untuk saling menolong tanpa harus saling mengintimidasi dengan kekurangan atau kelemahan bagian dari keluarga tersebut.

C. Kesimpulan

Dalam 1 Yohanes 4:16b-21 Kita mengasihi, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita, yang ditulis oleh 1 Yohanes bukan karena usaha manusia akan tetapi semuanya dari Allah. Bila seseorang atau keluarga mengasihi berarti sudah membuktikan bahwa ia anak Allah. Makna sejati dan sumber asli dari hidup dari kasih hanya dapat ditemui disalib, karena Allah mengasihi manusia Ia rela mengorbankan anakNya yang tunggal supaya manusia memperoleh keselamatan dan kehidupan yang kekal. Oleh sebab itu 1 Yohanes 4 dengan tegas mengatakan bahwa didalam kasih tidak ada ketakutan, sebab ketakutan mengandung hukuman dan barang siapa takut, ia tidak sempurna didalam kasih (ayat 18)[5]. Jadi sebagai manusia harus memiliki kasih karena Allah lebih dahulu mengasihi manusia, mengasihi berarti melakukan sesuatu yang benar-benar nyata bukan hanya dengan perkataan, karena dalam ayat yang ke-20 jikalau seorang hanya mengasihi Allah tetapi tidak mengasihi saudaranya yang kelihatan atau orang-orang disekitarnya apalagi Allah yang tidak kelihatan oleh sebab itu jika seseorang mengasihi Allah yang tidak kelihatan berarti harus juga mengasihi saudaranya yang kelihatan. Manusia yang hidup selalu membutuhkan kehadiran dan bantuan orang lain. Selain itu, manusia hanya dapat mewujudkan eksistensi dirinya ketika berhadap dengan orang lain. Dengan perkataan lain kemanusiaan manusia hanya dapat bertumbuh dan berkembang berhadap dengan kondisi dan situasi orang-orang di sekitarnya[6]. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pengaruh kepedulian di era globalisasi ini nilai-nilai kepedulian terus mengalami kemunduran khususnya dikalangan muda atau kalangan pelajar, nilai dalam kepedulian saat ini sudah mulai luntur contohnya acuh tak acuh, sikap ingin menang sendiri, tidak setia-kawan dan lain sebagainya[7].

Dalam hidup kebersamaan sebagai makhluk sosial dalam keluarga harus hidup dalam kasih yaitu dengan memiliki rasa kepedulian terhadap satu sama lain, tetapi pada zaman sekarang ini tingkat kepedulian itu kurang diterapkan dikarenakan keegoisan seseorang atau keluarga masih terikat dalam dirinya sehingga kurangnya kepedulian terhadap sesamanya. Oleh sebab itu kasih sangat memiliki peran yang sangat penting jika dalam kehidupan seseorang atau dalam sebuah kebersamaan tidak memiliki kasih maka kemungkinan sebagai mahasiswa mahasiswi tersebut tidak akan mengalami suatu kedamaian. Oleh sebab itu kasih perlu dibuktikan melalui kehidupan sehari-hari terutama mengenai kepedulian terhadap sesama. Seseorang peduli bukan saja dengan perkataan. Tetapi bukti dari peduli ialah melalui suatu tindakan yang nyata. Seperti kasih Allah yang telah rela mengorbankan anak-Nya yang tunggal untuk menebus semua dosa umat manusia. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini maka Ia pun memberikan anak-Nya yang tunggal yaitu Yesus Kristus untuk turun kedunia menghapuskan segala belenggu dosa yang ada di dunia

Pdt. Anton Keliat/Semarang

 

[1] John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 519.

[2] A. A. Sitompul dan Ulrich Beyer, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 227.

[3] Struktur surat lihat Hasan Sutanto, Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang: Literatur SAAT, 2011), 416-418.

[4] John Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 56.

[5] Matthew Henry, Tafsiran Matthew Henry Surat Ibrani, Yakobus, 1&2 Petrus, 1-3 Yohanes, Yudas, Kitab Wahyu, ed. by Johny Tjia; Barry van der Schoot (Surabaya: Momentum, 2016).

[6] A. Tabi’in, ‘Menumbuhkan Sikap Peduli Pada Anak Melaui Interaksi Kegiatan Sosial’, 1 (2017)

[7] Nurhaidah, ‘Dampak Pengaruh Globalisasi Bagi Kehidupan Bangsa Indonesia’, 3 (2015).

 

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD