MINGGU 12 JUNI 2022, KHOTBAH 8:1-10
Invocatio :
2 Tesalonika 1:2
Bahan bacaan pertama :
Roma 5:1-5 (Tunggal)
Tema :
Kemuliaan Tuhan nyata di seluruh Dunia
1. Kata Pengantar
Saudara-saudari yang terkasih dalam Yesus Kristus,
Dalam nyanyian Mazmur pasal ke-8 (https://www.youtube.com/watch?v=_Hfj2ziP_AE) dilantunkan dengan begitu indah, sebagai ungkapan kebesaran, dan kemuliaan Tuhan Allah. Jika kita memahami dalam kitab Mazmur pasal nya yang ke-8 lebih sering digambarkan sebagai doa syukur pemazmur kepada Tuhan yang telah membuat manusia menjadi ciptaan yang bermartabat karena dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat serta diberi kuasa atas buatan tangan Allah. Mazmur ini tidak secara langsung bersinggungan dengan pertanggung jawaban manusia terhadap ciptaan Allah lainnya. Memang Mazmur 8 secara garis besar memperlihatkan kekaguman sang pemazmur terhadap karya Tuhan yang ditemuinya di dalam alam semesta, tetapi tidak berbicara tentang tanggung jawab manusia kepada alam. Tapi menunjukkan kemuliaan Tuhan Allah kepada setiap hasil ciptaanNya.
Mengacu kepada tema yang diangkatkan mengenai kemuliaan, di dalam
Alkitab, arti kata "kemuliaan" (Glory), "Kabod" (bahasa Ibrani) adalah Mulia, Agung, Makmur, Berlimpah; "Doxa" (bahasa Yunani): Semarak, Kecemerlangan, Kemasyhuran. Khusus melihat Injil Lukas 2:14, kita menemukan kata "kemuliaan" seperti ‘doksologi‘. Kata (doxa) ini digunakan untuk menjelaskan beberapa hal penting yaitu: pertama, sifat dan tindakan Tuhan dalam manifestasi diri-Nya sendiri. Kedua, karakter dan cara Tuhan seperti yang diperagakan melalui Kristus dan melalui orang percaya (2 Korintus 3:18; 4:6). Ketiga, dari keadaan penuh berkat dimana orang percaya untuk selanjutnya masuk menjadi serupa dengan Kristus -- (Roma 8:18, 21; Filipi 3:21). Keempat, kecerahan atau kemegahan: supranatural, berasal dari Allah (seperti dalam shekinah "glory" dalam tiang awan dan dalam Kemah Suci).
2.Pembahasan Nats
Saudara-saudari yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus,
Menurut Marie Barth and Pareira menekankan Mazmur pasal ke-8 lebih menghubungkan “nyanyian untuk liturgi malam” ini dengan pengakuan akan eksistensi manusia yang menerima penghargaan sebagai raja kecil dari Tuhan[1]. Sedangkan Clinton McCann lebih melihat Mazmur 8 sebagai sebuah bentuk doa (ucapan syukur), lebih dari sekadar nyanyian pujian, yang menekankan bukan hanya keagungan Tuhan tetapi juga status manusia yang dimuliakan oleh Allah[2]. Ada dua tokoh utama yang mendapat perhatian dalam Mazmur ini, yaitu Tuhan sebagai Pencipta, dan manusia, yang dibuat segambar dan serupa seperti Allah dan telah dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat. Namun figur yang utama dan terutama di sini adalah Sang Pencipta itu sendiri yang hendak dimuliakan melalui Mazmur ini. Kesamaan bagian pembuka dan penutup dari Mazmur ini memperlihatkan bahwa yang ingin ditonjolkan di sini adalah “Allah yang Agung‟ yang keagungannya itu nyata melalui karyanya, khususnya melalui manusia.
Sementara itu manusia dalam Mazmur ini menjadi figur yang menyadari bahwa kemuliaan dan hormat yang dimilikinya hanya merupakan sebuah anugerah dari Sang pencipta. Karena itu kemuliaan dan kehormatan manusia tidak bisa disetarakan dengan keagungan dan kemuliaan Sang Pencipta. Dengan demikian pemahaman terhadap Mazmur ini jangan sampai memindahkan fokus dari Sang Pencipta kepada manusia. Catatan ini mengingat pembacaan sepintas terhadap Mazmur 8:6-9 akan memberi kesan bahwa fokusnya adalah pada manusia dengan segala keistimewaannya sebagai ciptaan Allah (Mazmur 8:6). Pemahaman dalam mazmur pasal ke-8 ini merupakan sebuah upaya khususnya ayat 6-9, dari sisi hubungan dan tanggung jawab manusia kepada ciptaan. Kuasa merupakan salah satu istilah yang menonjol dalam Mazmur ini dan sering dimengerti lebih sebagai dominasi manusia atas ciptaan. Karena itu kuasa ini diwujudkan dalam praktiknya, terutama ketika dihubungkan dengan persoalan-persoalan lingkungan yang dihadapi manusia saat ini. Persoalan pemanasan global, Tragedy of commons yang dihadapi dunia saat ini memang seharusnya mendorong manusia untuk menginterpretasi kembali bagaimana dia berelasi dengan alam.
Posisi dari Allah bukan hanya menyelamatkan diri dari manusia, bahkan Dia memahkotai (dalam teks Bahasa Indonesia, dari bahasa ibrani dengan akar kata “atarah” = mahkota) manusia dengan kemuliaan dan hormat (ayat 5), yang mana tindakan ini menunjuk kepada sebuah posisi penting yang dimiliki manusia. Tetapi dalam tradisi kerajaan, pemberian mahkota bukan hanya menunjuk kepada sebuah kedudukan penting dari penerima mahkota, tetapi juga tanggung jawab yang harus dilakukan oleh sang penerima mahkota. Seseorang yang dimahkotai tidak berarti bahwa dia bisa bertindak sesuka hatinya. Sebaliknya dia harus bertindak sesuai dengan kehendak Allah agar kemuliaan dan kehormatan yang diterimanya terpancar jelas melalui karyanya. Saul yang dimahkotai sebagai raja pada akhirnya ditolak karena dia tidak melakukan apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya (1 Samuel 15:1-35). Daud yang dimahkotai sebagai raja juga dihukum oleh Allah karena melakukan yang jahat kepada hambanya, Uria (2 Samuel 11:1- 12:25). Ini menunjukkan bahwa manusia yang dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat oleh Allah bukan saja menerima sebuah posisi penting tetapi juga tanggung jawab penting untuk selalu melakukan apa yang dikehendaki Allah kepadanya. Itu artinya bahwa sepanjang hidupnya manusia yang dimahkotai harus mampu memperlihatkan Allah yang memahkotainya. Jika ayat ini secara khusus dihubungkan dengan Daud, dimana dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat menunjuk kepada pengangkatan Daud sebagai raja, maka kisah kehidupan Daud dalam Alkitab menunjukkan bagaimana Daud berusaha untuk hidup selalu berkenan kepada Tuhan. Ada masa dimana Daud melakukan kesalahan (lih. 2 Samuel 11:1- 27) tetapi selalu ada upaya dari Daud untuk menyadari kesalahannya dan kembali hidup berkenan di hadapan Tuhan (lih. 2 Samuel 12:1-25) artinya, manusia juga harus menyadari dan ikut dalam pemulihan alam karena manusia adalah ciptaan yang “khas” dari Allah dan menerima mandat khusus untuk itu.
Kita harus menghindari diri dari membaca Mazmur 8 dengan pendekatanpendekatan pemahaman yang cenderung menonjolkan martabat manusia sebagai yang lebih tinggi dari yang lain dan menganggap ciptaan yang lain sebagai rendah martabatnya dari manusia dan karena itu manusia tidak perlu menjaga sikapnya terhadap ciptaan yang lain. Manusia tetaplah manusia, bukan Allah, karena kuasa yang dimilikinya tetaplah terbatas. Sekalipun dalam ayat 6 dikatakan bahwa: “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya”, namun kuasa itu terbatas hanya terbatas pada binatang (ayat 7-8), bukan pada seluruh ciptaan Allah. Ayat ini sekaligus memperlihatkan perbedaan dan persamaan antar Mazmur 8 dengan Kejadian 2:15- 16 berkaitan dengan pemberian kuasa atau mandat. Persamaannya adalah bahwa kuasa atau mandat yang diterimanya sama-sama terbatas, bukan kepada seluruh ciptaan. Perbedaannya adalah Mazmur memberi penekanan pada kuasa (Ibrani: tamshilehu (dari akar kata mashal), menunjuk kepada sebuah otoritas yang berwujud dalam situasi memerintah, mengontrol), sedangkan Kejadian memberi penekanan pada mengusahakan dan memelihara (Ibrani: le'avedah - dari akar kata abad – yang bukan hanya menunjuk tindakan kultivasi (bercocok tanam) tetapi juga menunjuk kepada sikap sebagai seorang pelayan; dan uleshamerah - dari akar kata shamar - yang menunjuk kepada tindakan menunggui, menjaga, melindungi, memberi perhatian, merawat). Perbedaan yang lain adalah mazmur membatasi kuasa itu pada binatang sedangkan Kejadian membatasinya pada tanaman atau taman.
Jadi baik Mazmur 8 maupun Kejadian 2 sama-sama memperlihatkan bahwa kuasa yang ada dimiliki manusia terbatas. Berkaitan dengan penyebutan “kaki” dalam ayat 6, menurut saya, istilah ini lebih tepat menyimbolkan kuasa atau kontrol, daripada diartikan sebagai penaklukan. Frase “di bawah kakinya” tidak bisa hanya diterjemahkan semata-mata sebagai dominasi manusia atas binatang. Dalam realitas kehidupan, manusia juga sering takluk kepada binatang, bahkan juga bisa menjadi korban binatang. Lagi pula binatang-binatang yang disebutkan dalam ayat 7-8 menunjuk kepada binatang-binatang yang dibutuhkan manusia di dalam hidupnya. Karena itu frase ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kuasa atas binatang-binatang tersebut untuk melindungi dan mengelola mereka demi kebaikan hidup manusia. Gambaran ini juga memperlihatkan suatu era di mana binatang mempunyai tempat penting dalam kehidupan manusia. Mungkin kita juga setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Othmar Kiel, bahwa pemberian kuasa dalam Mazmur 8:6 tidak harus diartikan sebagai keinginan sesuka hati menaklukkan binatang-binatang tersebut. Mazmur 8:6-8 ini harus lebih diartikan sebagai tugas manusia untuk melindungi binatang-binatang ternak atau yang hidup di sekitarnya (domestic animals).
Sebagai pandangan teologis yang dihubungkan dengan minggu Trinitas, saya mengangkatkan teologi dari Han Von Urs Balthasar yang mana ia seorang teolog terkemuka pada zamannya. Pengalaman iman akan kehadiran Allah telah menghantarnya pada sebuah kontemplasi ilahi. Kehadiran Allah di dunia melalui Yesus Kristus, adalah perwujudan kemuliaan Allah bagi manusia. Inilah sebuah estetika teologis sebagaimana yang dimaksud Balthasar. Untuk sampai kepada pemahaman tersebut, menurut Balthasar, manusia harus senantiasa mengkontemplasikan dirinya agar ia mampu sampai pada pemahaman yang mendalam akan karya Tuhan bagi dunia dan manusia. Hans von Balthasar mendekati misteri Trinitas pada dua sudut pandang, yakni sudut monopersonal[3] dan sosial[4]. Menurut Balthasar makna “pribadi” dalam pernyataan bahwa Allah itu satu pribadi, harus berbeda artinya dalam kalimat bahwa Ia tiga pribadi.
Menurut Balthasar, ketika Allah menyatakan diri, Allah menyatakan kebenaran- kebenaran-Nya kepada manusia. Dalam pernyataan diri Allah kepada manusia ini, Allah tidaklah menyatakan kebenaran- kebenaran-Nya yang melampaui roh manusia. Oleh sebab itu, keindahan (estetika) teologis dipahami oleh Balthasar sebagai pewahyuan Allah kepada manusia lewat Putera-Nya, dan melalui rahmat Roh Kudus, manusia dimampukan untuk menerima karunia Roh tersebut di dalam dirinya, sehingga ia mampu melihat gambaran alam sebagai ekspresi dari Imajinasi Ilahi yang melibatkan diri secara penuh di dalamnya.[5] Dengan demikian, di dalam semuanya ini, kita bisa menemukan yang baik, yang benar, dan yang indah sebagai yang berasal dari Allah sendiri sehingga kemualiaan Allah nyata di seluruh dunia.
Namun menurutnya, jika teologi mengabaikan status transendental dari keindahan, maka teologi tidak lagi menganggap dunia sebagai wilayah di mana roh ilahi sedang bekerja. Dengan demikian manusia dan alam semesta akan kehilangan statusnya sebagai ciptaan dan kehilangan kemuliaan karena tidak ada lagi yang dapat menjelaskan dari mana manusia berasal. Oleh sebab itu, lewat estetika keindahannya ini, Balthasar mengajak kita semua untuk memaknai hidup kita di dunia ini dalam kaca mata transendental sehingga pemahaman ini mampu menghantar kita pada pemahaman yang ilahi akan kehadiran kita di dunia. Alam ciptaan memberikan gambaran kepada kita betapa agung dan ilahinya Pencipta, Sang Maha dari segala yang ada di dunia ini. Dengan demikian, kita mampu memaknai hidup kita dalam hubungannya dengan dunia, sesama, dan alam semesta.
3. Aplikasi
Mengubah paradigma “menguasai” kepada “melindungi” dalam relasi manusia dengan ciptaan yang lain adalah cara tepat dalam mewujudkan kebaikan hidup bagi manusia dan juga ciptaan yang lain. Dengan perubahan paradigm ini, lebih memusatkan kita sebagai manusia ciptaan allah sebagai “Alat” untuk kemuliaan Tuhan. Bagi gereja, ini hanya bisa terwujud jika orientasi pelayanan gereja terutama dalam menggunakan kuasa yang dimilikinya tidak hanya ke dalam atau untuk kepentingan gereja sendiri tetapi juga untuk kepentingan yang lain, termasuk alam dan lingkungan. GBKP sudah sangat tepat mengusung tema tahun 2022 yaitu; Kreatif merawat lingkungan, karena manusia saat ini sering diperhadapkan dengan bencana alam yang juga disebabkan oleh kesalahan manusia dalam menggunakan kuasa yang dimilikinya, seperti Ekspolitasi alam secara berlebih dan juga banjir yang disebabkan oleh penebangan hutan oleh para pemilik HPH. Karena itu tanggung jawab gereja untuk selalu mengingatkan manusia untuk tidak hanya mengartikan kuasa yang dimilikinya sebagai dominasi atas alam dan lingkungan tetapi juga untuk merawatnya. Gereja harus lebih banyak membuat program-program yang bertujuan merawat dan melestarikan alam dan lingkungannya, terutama gereja yang masyarakatnya sering berhadapan dengan bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lainnya. Marilah kita menjadikan seluruh ciptaan Allah menjadi bagian untuk menyatakan kemuliaan Allah.
Pdt. Anton Keliat - Runggun Semarang
[1] Marie Claire Barth dan B. A. Pareira, Kitab Mazmur 1-72. Pembimbing dan Tafsirannya. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), h. 170, 174-175
[2] J. Clinton McCann Jr. Great Psalms of the Bible. Louisville, (Kentucky: Westminster John Knox Press, 2009), h. 17-18.
[3] Paham Trinitarisme monopersonal (Karl Rahner dan Karl Barth) mengatakan bahwa tiga persona (yang diterjemahkan pribadi) dalam Tradisi Gereja tidak sama artinya dengan tiga Pribadi atau diri dalam arti modern karena pemahaman pribadi dalam arti modern (person, ing.) cenderung jatuh pada paham Triteisme. Menurut paham ini, Allah Tritunggal tidak dapat berdiri dari tiga pribadi atau tiga subjek. Allah hanya mempunyai Satu; Aku bukan tiga, satu kehendak, satu wajah, satu sabda, dan satu karya. Allah itu satu pribadi dalam tiga cara berada. Cara berada yang rangkap tiga itu, berkaitan erat dengan pewahyuan dan “keterwahyuan”. Teolog yang menganut paham ini adalah Karl Barth dan Karl Rahner. (Dr. Nico Syukur Dister, OFM, Teologi Sistematika I, Yokyakarta:Kanisius, 2004, hlm., 165-169).
[4] Manurut paham Jurgen Moltman dan Wolfhart Panenberg, sejarah Trinitas merupakan sejarah tiga Subjek dalam hubungan persekutuan satu sama lain. Moltman berbicara terang-terangan tentang tiga Subyek yang secara intim dan intensif berhubungan. Wolfhard Penenberg mengatakan bahwa Bapa, Putera, dan Roh Kudus digambarkan sebagai tiga penampakan dari satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai cinta kasih. (ibid.)
[5] http://www.wordtrade.com/religion/christianity/Balthasar, loc.cit. (pernyataan ini tidak memaksudkan bahwa manusia adalah objek yang pasif-reseptif dalam menerima karunia Roh).