MINGGU 03 APRIL 2022, KHOTBAH FILIPI 3:4b-14
Invocatio: Yesaya 53:3
Bacaan: Yesaya 43:16-21
Thema: Ikut Merasakan Penderitaan Kristus
I. Pendahuluan
Masa Prapaskah disebut passio artinya “sengsara”. Dengan demikian, makna “Minggu Sengsara” harus terus kita rayakan demi menguatkan iman percaya kita dalam menapaki perjalanan hidup kita. Minggu ini umat diajak merenungkan makna sengsara dan penderitaan Yesus yang akan terjadi. Masa Minggu Sengsara bukan dimaksudkan agar umat menyukai penderitaan (masokhisme). Dalam sikap masokhisme seseorang menyukai dan menikmati rasa sakit fisik atau psikologis yang ditimbulkan pada diri sendiri atau orang lain. Perilaku masokhisme adalah kelainan psikis dan perlu diterapi secara medis dan spiritual. Sebaliknya, melalui Minggu Sengsara ini umat diajak merenungkan bahwa keselamatan mereka telah dibayar dengan harga yang sangat mahal, yaitu darah Putera Allah, Yesus Kristus (1 Ptr. 1:18-19). Respon umat pada Minggu Sengsara ini adalah kesediaan diri untuk menghayati keselamatannya sebagai rahmat Allah, sehingga mengalami proses pembaharuan hidup dalam karya penebusan Kristus melalui pola hidup menurut keinginan Roh. Dalam sudut pandang Minggu Sengsara, umat percaya bukan menyesali dosa dan kesalahannya dengan melukai diri sendiri, sebaliknya mengalami proses pemulihan dari luka-luka dosa, yaitu pembaharuan diri yang didasarkan pada anugerah Allah.
II. Isi
Dalam Filipi 3:4-6 Paulus menyaksikan bagaimana ia dahulu hidup tanpa cela menurut ukuran keagamaan, tunduk dan taat pada hukum Taurat, status dan kedudukannya terhormat sebagai orang Farisi, dan dari kelahirannya, ia adalah orang Ibrani asli. Selain itu, Paulus memiliki semangat militan untuk menegakkan kebenaran agamanya, sehingga menganiaya umat Kristen. Inilah keutamaan yang dianggap Paulus semula hebat dan benar ternyata setelah perjumpaannya dengan Kristus dipintu gerbang kota Damsyik, apa yang dianggapnya selama ini hebat dan benar ternyata salah besar. Nilai keutamaan sebagai nilai terbaik akan diperoleh ketika seseorang memperoleh pencerahan yang membebaskan. Sering, seseorang menganggap dirinya telah melakukan nilai keutamaan hanya karena telah melakukan kewajiban agama dan moral belaka. Seharusnya, kewajiban dan tanggung jawab moral kita didasari oleh pencerahan rohani, sehingga menghasilkan sudut pandang yang baru. Melalui pencerahan rohani, kita dimampukan melihat dan menilai tiap kewajiban dan tanggung jawab moral dari lingkup yang lebih luas dan kritis. Kita tidak sekadar melihat dan memaknainya sekadar sebagai sesuatu yang harus kita lakukan dengan setia. Tetapi, kewajiban dan tanggung jawab moral kita itu secara sengaja ditempatkan pada peristiwa penyataan Allah yang telah terjadi dalam sejarah hidup manusia.
Pencerahan dan pembebasan itu terjadi melalui perjumpaan kita dengan Tuhan Yesus. Pengalaman yang mencerahkan dan membebaskan tersebut juga disaksikan Paulus setelah ia berjumpa dengan Kristus (Flp. 3:4-5). Paulus melepaskan seluruh kebanggaan yang dimiliki, setelah ia menemukan yang lebih mulia, lebih kekal, dan keselamatan yang tiada taranya. Selama kita belum menemukan sesuatu yang lebih berharga dan mulia, kita sering menganggap apa yang kita banggakan sebagai milik kita itu lebih dari segala-galanya. Namun, pada saat seseorang berjumpa dan mengenal Kristus, barulah ia menyadari bahwa seluruh kebanggaan dan kemegahannya hanyala sia-sia belaka. Setelah berjumpa dan mengenal Kristus, yang dahulu dianggap sebagai suatu keuntungan ternyata kerugian semata.
Yesaya 43:16 menyaksikan bagaimana Allah berkarya dengan membuat jalan melalui laut yang hebat. Bagi umat Israel, lautan merupakan wilayah yang berbahaya dan tempat kuasa kegelapan tinggal. Itu sebabnya mereka menghayati peristiwa keluarnya bangsa itu dari Mesir sebagai tindakan pertolongan dan karya keselamatan Allah yang mampu membebaskan mereka dari kuasa Firaun, sekaligus dari cengkeraman kuasa kegelapan. Dalam Yesaya 43:18-19 Allah menghendaki agar kita memiliki sudut pandang luas ke depan, dan mampu secara kreatif mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi kenyataan, seperti seseorang yang mampu mengubah padang gurun menjadi jalan, dan padang gurun yang kering memiliki aliran sungai. Saat hidup kita dilandasi kasih yang murni, kita akan dimampukan Allah untuk melakukan hal-hal transformatif dan kreatif sehingga karya, serta pelayanan kita dapat menjadi berkat yang tidak pernah lekang oleh waktu dan perubahan zaman. Ingatlah bahwa tujuan utama seluruh pelayanan kita pada intinya adalah kemuliaan Kristus (Yes. 43:21). Nilai keutamaan hidup kita adalah memuliakan Allah dan Kristus yang dinyatakan melalui tindakan yang transformatif dan kreatif sesuai dengan karunia hikmatNya.
III. Refleksi
Paulus memperlihatkan sikap imanya yang kita ditafsirkan maknanya dalam sudut pandang baru dalam karya penebusan Kristus. Di Filipi 3:13-14 bisa kita lihat, dengan sudut pandang iman yang baru, Paulus mampu menghayati makna “pertobatan” secara eksistensial, sehingga ia tidak terjebak pada romantisme iman di masa lalu. Melalui Kristus, Paulus menemukan kekayaan iman, sehingga ia melupakan apa yang ada di belakangnya dan mendorong dia untuk secara progresif bertumbuh dan semakin serupa dengan Kristus. Hubungan antara bahan khotbah dan bahan bacaan kita ini menghasilkan sikap iman yang otentik. Paulus menghayati iman kepada Kristus sebagai panggilan yang mendorongnya melakukan dengan antusias. Iman yang otentik dilakukan oleh Paulus dengan penuh semangat, tidak sekadar meniru dengan ekspresi orang lain. Ia tidak sekadar mengungkapkan kasihnya kepada Kristus menurut pola hukum Taurat, tetapi utamanya ia mengungkapkan secara otentik, tidak terduga dan sangat menyentuh hati.
Pengenalan yang dalam akan Kristus membuat kita mau ikut dalam penderitaan yang pernah dijalan oleh Kristus. Berada dalam persekutuan dengan Kristus berarti mengalami kuasa perubahan: kuasa pengampunan dosa, kuasa penciptaan hidup yang baru. Kuasa ini telah dialami oleh Paulus. Oleh kuasa itu hidupnya berubah, hidupnya menjadi lain daripada hidupnya yang dahulu. Itu tidak berarti bahwa hidupnya yang sekarang lebih senang dan lebih indah daripada hidupnya yang dahulu. Persekutuan dengan Kristus bukan saja membawa pengampunan dosa dan hidup baru. Persekutuan itu juga berarti partisipasi dalam penderitaan Kristus. Sehingga orang yang berbuat demikian juga turut menderita dengan Dia, bukan karena kehendaknya sendiri, tetapi karena kehendak Dia. Bukan untuk memenuhi penderitaan penebusanNya, sebab hal itu tidak mungkin, tetapi untuk turut menanggung penderitaan yang Ia tanggung di dalam orang itu. Dengan penderitaan demikian ia menjadi serupa dengan Dia dalam kebangkitanNya.
Pdt Andreas P Milala
Rg Cibinong