SUPLEMEN PA MAMRE 24-30 AGUSTUS 2025, LUKAS 15:11-32

Teks :

Lukas 15:11-32

Tema :

Bapaku Si Melias

Pendahuluan

Gary Chapman, penulis buku terkenal “The 5 Love Languages”, menyatakan bahwa banyak ayah sebenarnya mengasihi anak-anaknya, tetapi tidak tahu cara mengekspresikannya dengan benar. Dalam budaya tradisional, ayah sering merasa bahwa dengan bekerja keras, memberi makan, membayar sekolah, dan menyediakan rumah, itu sudah cukup sebagai wujud kasih.

Namun, anak-anak tidak selalu memahami cinta dalam bentuk itu. Anak bisa merasa diabaikan walau semua kebutuhannya terpenuhi, karena yang mereka rindukan adalah perhatian, waktu, pelukan, atau kata-kata afirmasi.

Dalam dunia yang serba cepat ini, tidak sedikit orang merasa kehilangan sosok ayah—baik secara fisik maupun emosional. Banyak anak tumbuh tanpa pelukan kasih seorang bapa, dan tidak sedikit pula kaum bapa yang merasa gagal, lelah, bahkan ditinggalkan. Maka, ketika Yesus menceritakan perumpamaan tentang “Anak yang Hilang”, sesungguhnya Ia sedang membuka jendela untuk melihat seperti apa hati Allah Bapa itu.

Perumpamaan ini bukan hanya tentang anak yang pergi dan kembali. Fokus utama kisah ini adalah pada sosok bapak seorang yang luar biasa dalam kasih, sabar, pengampun, dan murah hati. Ia bukan hanya menanti, tetapi berlari menyambut, memeluk, dan memulihkan. Ini bukan bapa biasa. Ini adalah gambaran sempurna dari kasih Allah kepada kita, manusia berdosa.

Isi

Yesus membuka perumpamaan ini dengan tokoh seorang bapa yang memiliki dua anak (ayat 11). Anak bungsu datang meminta warisan sebelum waktunya (ayat 12). Dalam budaya Yahudi, ini adalah penghinaan besar. Meminta warisan sebelum sang ayah meninggal adalah sama saja dengan mengatakan: “Saya tidak peduli lagi padamu. Saya ingin hidup saya sendiri.”

Namun yang luar biasa, bapa ini tidak marah, tidak mengutuk. Ia memberi. Ini bukan karena ia lemah, tetapi karena ia menghargai pilihan anaknya, dan membiarkan kasih menunggu.

Anak itu pergi, hidup bebas, dan menghamburkan harta (ayat 13–14). Saat ia jatuh miskin dan kelaparan, ia akhirnya sadar dan berkata, “Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku.” (ayat 18). Ini adalah titik balik. Ia sadar bahwa rumah sang bapa lebih baik dari kebebasan semu di negeri jauh. Tapi ia tidak berani lagi menyebut dirinya anak, ia hanya ingin menjadi pekerja upahan. Namun di sinilah kita melihat inti kasih seorang bapa. Ketika anak itu masih jauh, bapa melihatnya lebih dulu. Artinya, bapa ini tiap hari menanti, mengawasi jalan itu, berharap anaknya pulang. Dan ketika ia melihat bayangan anaknya, ia berlari (ayat 20). Di budaya Timur Tengah, pria tua tidak berlari. Tapi bapa ini berlari mengalahkan rasa malu, demi menyambut anaknya kembali. Ia tidak menanyai, tidak menyalahkan. Ia memeluk, mencium, dan segera memulihkan status anak itudengan jubah, cincin, dan sepatu (ayat 22–24). Ia tidak menghukum, tapi mengadakan pesta. Karena bagi sang bapa, yang penting bukan apa yang anaknya lakukan, tapi bahwa ia pulang.

Lalu kisah beralih ke anak sulung (ayat 25–32). Ia merasa tidak adil. Ia iri. Ia menganggap dirinya lebih layak daripada adiknya. Tapi sekali lagi, sang bapa keluar dan membujuk dia dengan penuh kelembutan (ayat 28). Bapa ini bukan hanya baik kepada si bungsu yang memberontak, tapi juga kepada si sulung yang pahit dan merasa benar sendiri. Ia sabar kepada keduanya.

Dengan ini, Yesus menunjukkan bahwa Bapa Surgawi adalah kasih yang sempurna, yang menerima, memulihkan, dan bersukacita atas pertobatan. Dan kisah ini tidak hanya tentang Tuhan dan orang berdosa, tapi juga tentang kita baik yang merasa jauh, maupun yang merasa “sudah cukup baik”. Kedua anak itu sebenarnya sama-sama membutuhkan kasih seorang Bapa.

Penutup

Perumpamaan Yesus tentang Bapa yang Baik bukan sekadar cerita, tapi panggilan. Sebuah undangan bagi setiap pria, terutama sebagai bapa untuk menjadi lebih dari sekadar kepala rumah tangga. Kita dipanggil untuk mewakili kasih Bapa di bumi ini. Kasih yang tidak bersyarat, kasih yang menanti dengan sabar, kasih yang memulihkan, bukan menghukum.

Dan kita memperingati HUT Mamre GBKP yang ke-30, mari kita bertanya dalam hati: Apakah keberadaan kita sudah menjadi berkat? Apakah generasi setelah kita bisa melihat sosok Bapa yang baik melalui hidup kita? Karena ulang tahun bukan hanya soal bertambahnya waktu, tapi soal apa yang sedang kita tinggalkan sebagai warisan.

Mari kita jadikan pertambahan usia Mamre ini sebagai momen pembaharuan. Mari perkuat komitmen kita untuk menjadi ayah yang lebih lembut namun kuat, lebih mengampuni namun tetap membimbing, lebih rohani namun tetap membumi. Dunia butuh bapa seperti itu. Keluarga kita menantikan sosok seperti itu. Dan Tuhan mendambakan pria-pria yang bersedia menjadi cerminan kasih-Nya.

 

Info Kontak

GBKP Klasis Bekasi - Denpasar
Jl. Jatiwaringin raya No. 45/88
Pondok Gede - Bekasi
Indonesia

Phone:
(021-9898xxxxx)

Mediate

GBKP-KBD