MINGGU 24 NOVEMBER 2024, KHOTBAH PENGKHOTBAH 7:1-8
Incovation :
Jikalau hari-harinya sudah pasti, dan jumlah bulannya sudah tentu pada Mu, dan batas-batasnya sudah Kautetapkan, sehingga tidak dapat dilangkahinya, (Ayub 14 : 5)
Ogen :
Yohanes 14 : 27-31
Tema :
Tetap Mehuli Seh Pendungi/Tetap melakukan kebaikan Sampai Akhir
Pendahuluan
Bayangkan hidup kita sebagai sebuah buku yang setiap halamannya menggambarkan perjalanan hidup kita. Setiap babnya mewakili fase-fase yang kita lalui—masa muda yang penuh semangat, masa dewasa yang penuh tantangan, dan akhirnya, masa tua yang penuh refleksi. Di setiap halaman, kita dihadapkan pada pilihan: menulis kisah yang penuh dengan kebaikan dan kasih, atau sebaliknya. Namun, yang terpenting bukanlah bagaimana kita memulai cerita ini, tetapi bagaimana kita mengakhirinya. Akhir dari buku kehidupan kita akan menentukan bagaimana kita dikenang oleh sesama dan, lebih dari itu, bagaimana kita dinilai oleh Tuhan.
Isi
Invocatio yang diambil dari kitab Ayub 14:5 mengingatkan kita bahwa waktu kita di dunia ini sangat terbatas: "Jikalau hari-harinya sudah pasti, jumlah bulan-bulannya sudah diketahui oleh-Mu, dan batas-batasnya sudah Kautentukan, sehingga ia tidak dapat melampauinya." Ini adalah pengingat yang kuat bahwa setiap hari yang kita miliki adalah anugerah dari Tuhan. Seperti sebuah jam pasir, waktu kita terus mengalir, tidak bisa dihentikan atau diulang. Kesadaran akan keterbatasan waktu ini seharusnya mendorong kita untuk hidup dengan tujuan yang jelas dan memanfaatkan setiap momen untuk melakukan kebaikan. Teks ini secara eksplisit menyebutkan bahwa hari-hari manusia telah "pasti," bulan-bulannya telah "diketahui" oleh Tuhan, dan "batas-batasnya sudah Kautentukan." Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan konsep kedaulatan Tuhan atas kehidupan manusia, yang dalam konteks kitab Ayub, mempertegas keyakinan akan kedaulatan dan pengetahuan Tuhan yang melampaui pemahaman manusia. Ayub, yang mengalami penderitaan yang mendalam, menyadari bahwa hidupnya berada sepenuhnya dalam kendali Tuhan, termasuk panjang dan kualitas hidupnya. Ayat ini juga mengandung unsur teologis penting tentang ketidakterbatasan pengetahuan Tuhan, yang mengetahui "jumlah bulan-bulan" manusia dan telah menetapkan batas-batasnya, sebuah konsep yang mencerminkan atribut Allah yang mahatahu dan mahakuasa.
Dari segi tekstual, ayat ini merupakan bagian dari dialog Ayub dalam upayanya memahami penderitaan dan realitas kehidupan manusia yang fana. Ayub mengekspresikan ketidakberdayaan manusia di hadapan kebesaran dan ketetapan Tuhan. Dalam konteks sastra hikmat, teks ini menekankan aspek temporer kehidupan manusia dan kerapuhan eksistensi manusiawi. Ayat ini secara simbolis menyuarakan realitas kematian dan keterbatasan hidup manusia yang tak dapat dihindari, sebuah tema yang konsisten dalam kitab Ayub dan dalam literatur hikmat lainnya seperti Pengkhotbah. Selain itu, penggambaran ini berfungsi untuk menempatkan manusia pada posisi kerendahan hati di hadapan Tuhan. Dengan mengetahui bahwa Tuhan telah menetapkan batas waktu hidup kita, manusia diundang untuk menyerahkan diri kepada kehendak Tuhan, menerima kenyataan bahwa hidup dan mati adalah dalam kendali-Nya. Kesadaran ini seharusnya menuntun manusia untuk hidup dengan makna dan tujuan, tidak menyia-nyiakan waktu yang diberikan, dan berfokus pada hal-hal yang bernilai kekal, seperti kasih, keadilan, dan hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama.
Sering kali, kita jatuh ke dalam perangkap menunda-nunda perbuatan baik, berpikir bahwa masih ada banyak waktu di depan kita. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kita masih memiliki waktu itu? Seperti seorang pemuda yang baru menyadari bahwa baterai hidupnya hampir habis, kita juga harus menyadari bahwa kita tidak bisa terus menunda. Waktu kita terbatas, dan setiap hari adalah kesempatan baru untuk menulis bab yang lebih baik dalam buku kehidupan kita.
Dalam bacaan Yohanes 14:27-31, Yesus memberikan janji damai sejahtera-Nya kepada para murid sebelum Dia pergi untuk disalibkan: "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu." Damai sejahtera ini adalah sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh dunia, sebuah kedamaian yang melampaui keadaan duniawi. Yesus tahu bahwa para murid-Nya akan menghadapi banyak tantangan setelah kepergian-Nya, namun Dia ingin mereka tahu bahwa mereka tidak perlu takut. Damai sejahtera dari Kristus adalah fondasi yang kokoh, yang memungkinkan kita untuk tetap melakukan kebaikan meskipun dunia di sekitar kita penuh dengan kekacauan dan ketidakpastian.
Teks khotbah diambil dari kitab Pengkhotbah 7:1-8. Kitab Pengkhotbah dikenal sebagai salah satu kitab kebijaksanaan dalam Perjanjian Lama yang sering kali mencerminkan pandangan pesimistis terhadap kehidupan, namun juga menawarkan hikmat praktis untuk hidup yang bermakna. Penulisnya, yang sering disebut sebagai "Pengkhotbah" atau "Qohelet," dianggap sebagai figur bijak yang merenungkan arti kehidupan, keberadaan manusia, dan kekuatan kebijaksanaan dibandingkan dengan kesia-siaan duniawi. Ayat-ayat dalam Pengkhotbah 7:1-8 merupakan bagian dari nasihat hikmat yang kontras dengan nilai-nilai duniawi. Teks ini menggunakan struktur yang mengontraskan antara hal-hal yang terlihat baik di permukaan dengan hal-hal yang lebih baik dalam hikmat Tuhan. Misalnya, "nama yang baik" dibandingkan dengan "minyak yang mahal" (ay. 1) dan "hari kematian" dibandingkan dengan "hari kelahiran." Tema kematian dan penderitaan di dalam pasal ini menekankan keseriusan hidup dan mengarahkan pembaca untuk mencari kebijaksanaan yang melebihi kesenangan sementara. Dalam konteks budaya Israel kuno, nama baik (reputasi) sangat dihargai, lebih dari kekayaan material. Minyak mahal adalah simbol status, namun nama baik menunjukkan integritas moral yang lebih berharga. Pandangan tentang hari kematian yang lebih baik daripada hari kelahiran mungkin terkait dengan keyakinan tentang ketenangan setelah kehidupan yang penuh tantangan di dunia ini.
Ayat 1: "Nama yang baik lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran." Di sini, kita melihat kontras antara reputasi atau integritas moral (nama yang baik) dan kemewahan material (minyak yang mahal). Hari kematian dianggap lebih baik karena mengakhiri penderitaan dunia dan menuntun pada perenungan kehidupan dan maknanya.
Ayat 2-4: Menekankan nilai refleksi dan introspeksi yang seringkali diilhami oleh kesedihan dan dukacita. Rumah perkabungan lebih baik daripada rumah pesta karena itu memicu pemikiran serius tentang kehidupan. Kesedihan dianggap lebih baik daripada tawa karena menghasilkan hati yang murni.
Ayat 5-6: Hikmat lebih baik daripada kebodohan. Mendengar teguran orang bijak lebih baik daripada mendengar nyanyian orang bodoh. Ini menekankan bahwa pembelajaran dari kritik dan teguran bijak lebih bermanfaat daripada mencari hiburan tanpa arti.
Ayat 7-8: Ayat-ayat ini berbicara tentang dampak dari tekanan dan penyuapan yang dapat menghancurkan kebijaksanaan seseorang. Sabar lebih baik daripada sombong, dan akhir sesuatu lebih baik daripada permulaannya, menunjukkan pentingnya ketekunan dan ketahanan.
Bayangkan kita sedang mengalami hari yang sangat berat, di mana segala sesuatu tampak salah. Namun, di tengah kekacauan itu, kita merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Itulah damai sejahtera dari Kristus, yang memberi kita kekuatan untuk terus berbuat baik di tengah badai kehidupan. Damai ini bukan berarti kita bebas dari masalah, tetapi merupakan jaminan bahwa Tuhan bersama kita dalam menghadapi setiap tantangan. Dengan damai ini, kita dapat terus melakukan kebaikan, meski keadaan di sekitar kita tidak ideal.
Pengkhotbah 7:1-8 mengajarkan kita bahwa akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya: "Akhir suatu hal lebih baik daripada awalnya." Dalam hidup ini, kita sering kali terlalu fokus pada bagaimana kita memulai sesuatu, namun Firman Tuhan mengajarkan bahwa yang paling penting adalah bagaimana kita mengakhirinya. Hidup kita bagaikan sebuah film; yang diingat orang bukanlah bagaimana film itu dimulai, tetapi bagaimana ia berakhir. Kita ingin akhir hidup kita menjadi sesuatu yang dikenang dengan baik—sebuah akhir yang penuh kebaikan dan iman yang teguh.
Pernahkah Anda membeli sepatu baru? Hari pertama mengenakannya, rasanya luar biasa—nyaman, modis, dan membuat kita merasa percaya diri. Namun, setelah beberapa minggu, mungkin ada bagian yang mulai menggosok kulit kita, dan kita tergoda untuk kembali mengenakan sepatu lama yang lebih nyaman. Begitu juga dengan kebaikan. Pada awalnya, kita mungkin bersemangat untuk melakukan kebaikan, tetapi ketika tantangan datang, kita mudah tergoda untuk kembali ke cara hidup lama yang lebih nyaman. Sepatu lama mungkin nyaman, tetapi sepatu baru yang sedang kita sesuaikan adalah jalan menuju pertumbuhan dan kesempurnaan. Seiring waktu, sepatu baru itu akan semakin nyaman dan membawa kita ke tempat yang lebih baik. Demikian pula, kebaikan yang kita lakukan mungkin terasa sulit pada awalnya, tetapi dengan ketekunan, kebaikan itu akan menjadi bagian dari diri kita.
Sering kali, tantangan terbesar dalam menjaga konsistensi bukanlah godaan besar, tetapi rutinitas sehari-hari. Rutinitas bisa menjadi medan pertempuran yang sulit karena kita terbiasa dengan monoton dan kehilangan kesadaran akan tujuan kita. Kita menjadi seperti mesin yang hanya berjalan otomatis, tanpa benar-benar menyadari mengapa kita melakukan sesuatu. Di sinilah pentingnya untuk selalu mengingat tujuan kita—yakni untuk memuliakan Tuhan dan membawa berkat bagi orang lain. Seperti yang dikatakan oleh C.S. Lewis, "Hari-hari kita sering kali seperti roda gigi yang berputar-putar, kita harus mengingatkan diri sendiri untuk menjaga mesin tetap berjalan dengan baik, bukan hanya dengan melakukan tugas-tugas rutin, tetapi dengan mengingat mengapa kita melakukannya."
Godaan untuk menyerah biasanya muncul ketika kita merasa usaha kita tidak dihargai atau tidak membuahkan hasil yang kita harapkan. Saat inilah kita perlu mengingat bahwa hasil dari setiap perbuatan baik tidak selalu terlihat segera. Ada sebuah kisah tentang seorang tukang kebun yang dengan penuh dedikasi merawat kebunnya. Setiap hari dia menyirami tanaman, memberi pupuk, dan membersihkan gulma. Namun, bertahun-tahun berlalu tanpa ada bunga yang bermekaran. Suatu hari, saat dia hampir putus asa dan berpikir untuk berhenti, dia melihat tunas kecil muncul dari tanah. Seminggu kemudian, bunga-bunga indah mulai bermekaran di seluruh kebun. Kisah ini mengingatkan kita bahwa hasil dari kebaikan yang kita tanam mungkin tidak segera terlihat. Namun, dengan kesabaran dan konsistensi, kita akan melihat bahwa usaha kita tidak pernah sia-sia. Tuhan bekerja dengan cara yang tidak selalu kita pahami, dan tugas kita adalah tetap setia dalam melakukan bagian kita.
Penutup
Kehidupan ini adalah perjalanan yang harus kita selesaikan dengan baik. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk tetap setia dalam melakukan kebaikan hingga akhir hidup kita. Kesadaran akan keterbatasan waktu harus mendorong kita untuk hidup dengan tujuan yang jelas dan penuh makna. Damai sejahtera dari Kristus menjadi penghiburan dan kekuatan kita dalam menghadapi setiap tantangan, dan kita diingatkan bahwa akhir yang baik adalah yang paling penting. Mari kita terus berjalan dalam kebaikan, tidak hanya untuk dikenang oleh manusia, tetapi untuk menerima upah kekal dari Tuhan. Semoga hidup kita menjadi cerminan dari kasih Kristus, nama kita menjadi harum di hadapan Tuhan dan sesama, dan warisan kita adalah tindakan kebaikan yang membawa berkat bagi banyak orang. Tetaplah melakukan kebaikan sampai akhir, karena itulah yang Tuhan kehendaki dari hidup kita. Dalam setiap bab yang kita tulis dalam buku kehidupan kita, kiranya setiap halaman dipenuhi dengan kebaikan, kasih, dan iman yang teguh hingga akhir.