MINGGU 27 NOVEMBER 2022, KHOTBAH YESAYA 11:1-10
Invocatio : Matius 1:23
Bacaan : Matius 3:1-12
Thema : Raja Damai Yang Akan Datang
I. Pendahuluan
Gereja mengawali kalender gerejawi pada hari Minggu Adven I, bukan pada tanggal 1 Januari (Tahun Baru). Dari perspektif Tahun Liturgi, perayaan tanggal 1 Januari dihayati sebagai perayaan Yesus diberi nama. Menurut Hukum Taurat, setiap anak laki-laki Israel harus disunat dalam usia 8 hari setelah lahir. Di saat itulah anak-anak Israel diberi nama (bnd. Kej. 17:2; Im. 12:3; Luk. 2:22-23). Jadi, perayaan Tahun Baru 1 Januari didasarkan pada perayaan Yesus diberi nama. Tahun liturgi justru dimulai pada minggu Adven yang menunjuk pada kedatangan Kristus yang kedua kali dalam kemuliaanNya. Oleh karena itu, istilah Adven berkaitan dengan Parousia, yaitu kedatangan Kristus sebagai Hakim dan Raja pada akhir zaman. Gereja dengan sengaja menempatkan awal tahun Liturgi dalam perspektif Parousia (kedatangan Kristus yang kedua) agar iman umat bergerak secara eskatologis. Dengan iman yang eskatologis, selaku umat percaya, kita mengarahkan seluruh pandangan dan mata rohani yang tertuju kepada Yesus (bnd. Ibr. 12:2). Iman kepada Allah di dalam Kristus tertuju secara progresif kepada Yesus yang akan datang dalam kemuliaanNya setelah kita diselamatkan dan diperdamaikan dengan karya penebusanNya di kayu salib.
Dalam kalender Tahun Liturgi, Adven merupakan “tahun baru” (new year), “waktu baru” (new time), dan “kehidupan baru” (new life). Perayaan Adven mengundang umat untuk bangun dari berbagai pergumulan dan harapan semu, sehingga dapat disegarkan dalam anugerah dan pengharapan yang baru dari Allah. Umat perjanjian baru merupakan kelanjutan dari umat perjanjian lama. Umat Kristen dan Israel memiliki pengharapan yang sama, yaitu dunia yang baru karena dipulihkan, diberkati, dan dipedulikan Allah. Melalui diri Kristus, setiap umat ditawari suatu keberadaan hidup yang baru.
II. Isi
Keyakinan iman Kristen terhadap Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan bukanlah tanpa dasar teologis. Bahan bacaan Matius 3:1-12 menyaksikan bagaimana Yohanes Pembaptis menyampaikan firman Tuhan agar umat Israel bertobat. Teguran Yohanes Pembaptis tersebut juga ditujukan kepada orang Farisi dan Saduki yang menganggap dirinya sebagai pelayan-pelayan Allah yang telah memperoleh keselamatan. Inti dari seruan dan tegurannya adalah agar mereka membuktikan buah pertobatan daripada sekadar giat dalam ritual ibadah; juga agar mereka tidak menganggap keselamatan dari Allah diterima secara otomatis hanya karena mereka berasal dari keturunan Abraham. Karena siapa pun yang tidak menghasilkan buah pertobatan akan binasa (bnd. Mat. 3:10). Dalam konteks itulah, Yohanes membaptis mereka dengan air, yaitu agar mereka mengakui dosa dan bertobat, memperoleh pengampunan Allah. Namun yang sangat menarik, ia kemudian di hadapan orang banyak membuat suatu pernyataan “Aku membaptis kamu dengan air sebagai tanda pertobatan, tetapi Ia yang datang kemudian dari padaku lebih berkuasa dari padaku dan aku tidak layak melepaskan kasut-Nya. Ia akan membaptiskan kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” (Mat. 3:11). Yohanes Pembaptis menyatakan bahwa akan segera muncul seorang yang lebih berkuasa daripadanya. Orang yang dimaksudkan oleh Yohanes Pembaptis sangatlah jelas, yaitu Yesus dari Nazaret, di Galilea.
Padahal tentang diri Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus menyebutnya sebagai seorang yang “lebih daripada nabi” (Mat. 11:9). Namun, di tepi Sungai Yordan, Yohanes Pembaptis malah menyebut Yesus sebagai “yang lebih berkuasa daripadaku” (Mat. 3:11). Perkataan Yohanes Pembaptis tentang Yesus ini menunjukkan kedudukan Tuhan Yesus yang jauh lebih tinggi daripada nabi, bahkan melebihi dirinya sendiri. Dia lebih berkuasa dari segala yang ada, sehingga Yohanes Pembaptis pun menyatakan bahwa ia tidak layak melepaskan kasut-Nya. Alasan teologis tentang sikapnya yang memuliakan Kristus, yaitu, “Ia (Yesus) akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api” sedangkan Yohanes Pembaptis sendiri hanya dapat membaptis mereka dengan air sebagai tanda pertobatan. Selain itu, hanya Kristus saja yang mampu menjadi Hakim yang ditentukan Allah untuk mengadili umat manusia. Itu sebabnya Yohanes Pembaptis berkata, “Alat penampi sudah di tangan-Nya. Ia akan membersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami itu akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan” (Mat. 3:12). Peran Kristus sebagai Hakim Allah di akhir zaman disaksikan secara figuratif, yaitu seperti seorang yang menampi bulir-bulir gandum dengan alat penampi agar Dia dapat memisahkan dan membuang kulit-kulit gandum. Lalu Dia akan mengumpulkan bulir-bulir gandum ke tempatnya, sedangkan sekam gandun itu akan dibakar-Nya. Demikian pula wewenang dan kuasa Kristus. Dia ditentukan oleh Allah sebagai penampi untuk memisahkan “yang benar” dengan “yang tidak benar”, “yang kudus” dengan “yang fasik”. Mereka yang benar di hadapan Allah akan dikaruniai keselamatan, sedangkan yang jahat dan fasik akan dibinasakan.
Pemberitaan Yohanes Pembaptis tentang Kristus yang memiliki segala kuasa dan memiliki wewenang untuk membaptis umat percaya dengan Roh Kudus dan api didasarkan pada nubuat Nabi Yesaya (bahan khotbah). Dalam Yesaya 11:1 ditegaskan bahwa identitas Mesias, orang yang diurapi Allah berasal dari keturunan Isai, ayah Raja Daud. Itulah sebabnya nubuat Nabi Yesaya tentang Mesias dimulai dengan pernyataan, “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah” (Yes. 11:1). Barulah setelah itu, Nabi Yesaya menguraikan karakter utama yang dimiliki Sang Mesias pada ayat berikutnya, yaitu: seluruh hidup-Nya dikuasai oleh Roh Tuhan, memiliki roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan, dan roh takut akan Tuhan. Dengan karakter tersebut, Dia akan mampu menghakimi seluruh umat manusia dengan penuh keadilan. Dia menjadi pembela orang lemah dan tertindas. Di sisi lain, Sang Mesias akan bersikap tegas kepada orang fasik, sehingga dengan kuasa firman-Nya, “ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik” (Yes. 11:4).
Gambaran karakter Sang Mesias yang bernada “keras” tersebut perlu dipahami dalam peran utama-Nya sebagai Hakim Allah. Nubuat Nabi Yesaya tersebut tidak dimaksudkan bahwa Sang Mesias gemar menggunakan kekerasan sebagai pola kerja dan strategi pelayanan-Nya. Pemerintahan Sang Mesias sendiri pada akhirnya bermuara pada suatu kehidupan yang penuh syalom. Dalam Yesaya 11:6-9, digambarkan suatu keadaan yang tanpa permusuhan, dengan gambaran figuratif, “Serigala akan tinggal bersama domba, macan tutul akan berbaring di samping kambing, anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama, lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput, sunga akan makan jerami seperti lembu, anak yang menyusu bermain dekat liang ular tedung”. Pada intinya, pemerintahan Kerajaan Sang Mesias bertujuan agar, “Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan Tuhan seperti air laut yang menutupi dasarnya” (Yes. 11:9).
III. Refleksi
Nubuat Nabi Yesaya tersebut secara khusus menunjuk kepada diri Tuhan Yesus. Dalam hal ini, Yohanes Pembaptis juga menegaskan bahwa hanya Mesias saja yang berhak dan memiliki wewenang untuk membaptis dengan Roh Kudus dan api. Ketika Yesus meminta Yohanes untuk membaptis-Nya, Yohanes Pembaptis menyatakan, “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu” (Mat. 3:14). Jadi, Kristuslah yang telah ditentukan Allah menjadi Juruselamat, sekaligus Hakim-Nya yang akan mengadili umat manusia pada akhir zaman. Dalam khotbahnya, Yohanes Pembaptis berseru, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat” (Mat. 3:12). Kedatangan Kerajaan surga berarti suatu peristiwa erkatologis saat Kristus akan menghakimi umat manusia. Sebelum Kerajaan Surga tersebut datang, manusia harus segera bertobat dengan menanggalkan kehidupan lamanya.
Percaya kepada Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan dan Hakim justru membuka ruang serta dimensi spiritualitas yang lebih luas bagi pemerintahan-Nya untuk menguasai kehidupan kita, sehingga sepenuhnya dikuasai oleh kasih dan keadilan-Nya. Makna iman kepada Kristus justru menjadi manifestasi dari spiritualitas umat percaya yang ditandai oleh sikap pertobatan, yaitu kesediaan untuk membuang segala bentuk superioritas diri, kesombongan rohani dan segala hawa nafsu duniawi. Dengan spiritualitas iman yang demikian kita dimampukan untuk berlaku adil terhadap kehadiran orang yang berbeda dengan kita.
Dalam masa Adven ini, kita dipanggil untuk makin membuka diri terhadap karya Kristus sehingga pemerintahan-Nya semakin menguasai dan mengendalikan seluruh kehidupan kita secara efektif. Melalui karya dan pemerintahan Kristus, kita dimampukan untuk menghadirkan syalom dalam setiap ruang kehidupan ini. Syalom Kristus tersebut akan menciptakan karya Allah yang membebaskan setiap tirani, belenggu dan kejahatan di atas muka bumi ini. Kita dipanggil untuk makin percaya bahwa Kristus adalah satu-satunya jalan keselamatan dan Hakim Allah yang akan mengadili setiap umat manusia. Selain itu, dengan sikap iman yang personal dan khusus kepada-Nya, kita juga dipanggil untuk menciptakan kerukunan dengan semua pihak tanpa pernah membedakan latar belakang budaya, agama, dan etnis. Melalui kehidupan kita, orang di sekitar kita, yaitu para anggota keluarga, sesama dalam pekerjaan dan pergaulan, anggota jemaat, dan masyarakat dapat melihat kehidupan kita sebagai cermin kehidupan Kristus. Kristus yang hadir bukan untuk menciptakan ancaman terhadap yang berbeda dengan diri-Nya sendiri, melainkan mendamaikan setiap sikap permusuhan dan menghadirkan jembatan kehidupan melalui pengurbanan nyawa-Nya di atas kayu salib.
Di sini, kita dapat melihat perbedaan Kristus dengan agama yang dilembagakan melalui agama Kristen. Hakikat Kristus selalu melampaui gereja-Nya. Tidak setiap gereja mengekspresikan kedirian Kristus secara tepat, karena itu mereka dipanggil untuk selalu berubah dan diubah oleh Kristus. Semakin kita berubah dan diubah oleh Kristus, semakin kita mampu bertindak penuh kasih dan adil. Kepastian keselamatan di dalam Kristus memastikan langkah hidup kita untuk menghadirkan keadilan dan damai sejahtera tanpa syarat. Jika demikian, apakah kita kini bersedia menjadi tangan Kristus untuk mengkomunikasikan kasih-Nya? Apakah kita bersedia menjadi mulut Kristus untuk memberitakan firman Allah dan membela keadilan bagi sesama yang tertindas? Apakah seluruh kehidupan kita tertuju hanya kepada-Nya? Di dalam Kristus, Allah telah menghadirkan Kerajaan-Nya yang adil dan penuh keselamatan. Kini melalui hidup kita, Allah memanggil kita untuk menghadirkan Kerajaan Kristus di tengah zaman yang merelatifkan kebenaran dan keadilan.
Pdt. Andreas Pranata Meliala-GBKP Rg. Cibinong