MINGGU 18 SEPTEMBER 2022, KHOTBAH FILEMON 1:8-18
Invocatio :
Mazmur 29:11
Bacaan :
Amsal 16:5-7
Thema :
Saudara Yang Berharga Di Dalam Kristus
I. Pendahuluan
Model pendidikan kedamaian bagi kita adalah Yesus sendiri. Ia hidup dalam masyarakat yang memendam kebencian karena prasangka begitu juga konflik laten. Yesus tidak pernah memanaskan dan menghasut suasana permusuhan. Ia malah mendamaikan. Ia tidak ikut-ikutan menyingkirkan, melainkan justru menerima dan merangkul orang yang tersingkir. Ia membawa damai. Kristus datang untuk mendamaikan surga dan dunia. Tugas membawa damai itu diserahkan kepada gereja. Di dalam minggu perdamaian kali ini kita akan belajar kembali bagaimana makna pendamaian itu berguna di dalam kehidupan kita sebagai orang percaya. Merekatkan kembali relasi yang sempat terputus dengan mengakui bahwa kita semua saudara di dalam Kristus.
II. Isi
Bahan invocatio kali ini Mazmur 29:11 memberi pesan kepada kita bahwa Tuhan yang mahakuasa itu bisa menghancurkan segalanya dengan kuasaNya, tetapi umatNya yakin dan percaya bahwa Tuhan akan menggunakan kuasaNya juga untuk memberkati umatNya dengan damai sejahtera (syaloom). Semua ini bisa diterima oleh umat Tuhan di dalam persekutuannya dengan Tuhan itu sendiri. Di dalam tekanan hidup, jika umat Tuhan itu tetap berserah kepada Tuhan tentu ada kedamaian dan berkat Tuhan tetap mengalir di dalam kehidupan.
Bahan bacaan kita yang diambil dari Amsal 16:5-7 yang dimulai dari ayat 5 memberi pesan kepada kita semua tentang peringatan yang diberikan bagi orang yang tinggi hati. Karena sifat tinggi hati adalah kekejian di mata Tuhan. Di dalam ayat ini sifat tinggi hati adalah sifat di dalam diri seseorang yang melupakan kelemahan dan keterbatasan dirinya sebagai manusia sehingga gampang sekali melakukan kesalahan, baik terhadap dirinya, sesama manusia, atau Tuhan. Orang seperti ini tidak akan luput dari hukuman. Kesombongan merupakan salah satu dari sekian banyak karakter orang bejat moral di tengah-tengah masyarakat Israel kuno, yang menjadi kekejian bagi Tuhan. Peringatan tentang hukuman bagi orang fasik pada ayat 5 dilengkapi dengan pengajaran tentang pengampunan dan perubahan hidup dalam ayat 6. Dengan kebaikan dan kebenaran, kesalahan diampuni. Allah tidak hanya mengatur penghukuman, tetapi juga menyediakan pengampunan bagi orang fasik. Pengampunan diberikan bagi orang fasik yang memperlihatkan pertobatannya bukan saja melalui persembahan kurban, melainkan melalui pelaksanaan kebaikan dan kebenaran dalam hidupnya setiap hari. Kebaikan dan kebenaran yang dimaksud ayat ini memiliki konteks khusus yaitu hubungan dengan sesama manusia atau hubungan dekat dengan Tuhan. Kebaikan adalah sikap dan perilaku kasih terhadap sesama manusia, sementara itu kebenaran adalah sikap dan perilaku yang benar dan akurat berdasarkan norma-norman Tuhan. Dalam ayat ini, kebaikan dan kebenaran itu disejajarkan dengan perbuatan “menjauhi kejahatan”. Semua itu akan ada dalam diri orang yang takut akan Tuhan. Oleh karena orang yang takut akan Tuhan adalah karakter moral orang setia yang melakukan perintahNya dan menjauhi kejahatan. Tuhan berkenan akan sikap, kata-kata dan perilaku seseorang yang didasarkan kepada kebaikan dan kebenaran, dan takut akan Tuhan. Sikap, kata-kata dan perilaku ini harus terbukti lewat kesediaan berdamai dengan musuh. Dengan demikian, orang yang diperkenankan Tuhan tidak memiliki musuh. Tidak memiliki musuh adalah salah satu cara untuk menerima berkat Allah. Kalaupun ia memiliki musuh segera ia akan berdamai dengannya.
Paulus menulis surat kepada Filemon untuk memberikan berbagai penjelasan agar menerima kembali Onesimus, budak Filemon yang telah melarikan diri dari tuannya itu. Tujuan dari surat Filemon diungkapkan dalam ayat 16 dan 17. Filemon diminta untuk menerima kembali Onesimus bukan dengan cara penghukuman yang biasanya dipraktikkan dalam zaman kerajaan Romawi waktu itu, melainkan diminta untuk menerimanya sebagai saudaranya sendiri. Tujuan Paulus bukanlah terutama agar Onesimus dimerdekakan sebagai budak, melainkan penerimaan Onesimus sebagai Saudara Dalam Kristus. Walaupun demikian, “keinginan” Paulus untuk dapat mempertahankan Onesimus sebagai teman sekerja dalam pelayanannya tidaklah dapat dipungkiri. Hal ini tampak dalam ayat 8, 9, 12-14 begitu juga ayat 21. Dengan demikian, penerimaan kembali Onesimus sebagai saudara dan pelepasannya untuk menolong pelayanan Pekabaran Injil oleh Paulus, juga merupakan suatu alasan penting penulisan surat Paulus ini kepada Filemon.
Onesimus dikenal dalam pelayanannya bersama-sama dengan Tikhikus yang mengantar surat ke jemaat Efesus dan jemaat Kolose, yang tentunya juga Paulus membela Onesimus di hadapan Filemon, Paulus merasa perlu menyertakan sepucuk surat pribadi untuk menyelesaikan permasalahan Onesimus. Banyak orang menganggap surat Paulus kepada Filemon adalah surat pribadi. Tapi hal ini tidaklah tepat, karena jemaat rumah Filemon diharapkan ikut mendengar isi surat tersebut. Walaupun Filemon secara pribadi adalah penerima surat tersebut, tapi ia harus mempertanggungjawabkan keputusannya terhadap jemaat di rumahnya. Paulus tidak menulis surat ini halnya sebagai seorang pribadi biasa, tapi sebagai seorang rasul. Walau demikian, Paulus tidak menggunakan wibawa kerasulannya untuk memaksa Filemon taat kepadanya. Surat Filemon ini adalah sebuah surat kerasulan (apostolis) yang memiliki gaya bahasa pribadi.
Onesimus adalah seorang budak yang melarikan diri dari tuannya. Kemungkinan besar sebelumnya Onesimus telah mencuri milik Filemon. Menurut ayat 18 dikatakan bahwa Onesimus berutang kepada Filemon. Hal ini bisa juga merupakan petunjuk tentang waktu selama Onesimus tidak bekerja, yang dapat diperhitungkan sebagai utang. Mungkin juga bahwa, baik waktu kerja yang hilang maupun pencurian yang dilakukan Onesimus, mengakibatkan ia berutang kepada tuannya. Pencurian yang dilakukan oleh seseorang pada waktu melarikan diri dari tuannya adalah hal yang biasa dalam kerajaan Romawi waktu itu. Alasan mengapa Onesimus melarikan diri tidaklah diberitahukan. Sebuah alasan untuk melarikan diri yang sering diutarakan pada zaman itu adalah keinginan untuk bebas dan mendapatkan perlakuan yang manusiawi.
Onesimus bertemu dengan Paulus di penjara di Roma. Onesimus kemudian melayani Paulus di penjara. Dalam suratnya kepada Filemon, Paulus menekankan keuntungan yang ia peroleh melalaui pelayanan Onesimus (ayat 11 dan 13). Hal ini terlihat dalam penggunaan kata Yunani achreston (tak berguna) dan euchreston (berguna). Dengan permainan kata ini Paulus ingin menjelaskan kepada Filemon perubahan pribadi Onesimus yang sangat positif. Walaupun Onesimus sangat berguna bagi Paulus, tetapi Paulus tidak mau bertindak melawan hukum dan bertindak semena-mena. Oleh karena itu, Paulus mengirim Onesimus kembali kepada Filemon dan memberikan kepadanya sepucuk surat pengantar. Onesimus memang telah bertobat, tetapi penyelesaian persoalan dengan Filemon masih perlu dilakukan. Dengan mengirim Onesimus kembali kepada Filemon, Onesimus bergantung pada anugerah atau rahmat tuannya, karena seorang pencuri dan seorang budak pelarian tidak memiliki hak atas pengampunan. Paulus ingin agar Filemon secara sukarela mengambil keputusan untuk melakukan kebaikan. Di sini Paulus benar-benar tidak memberikan petunjuk/perintah dalam kapasitasnya sebagai rasul, melainkan memberikan motivasi untuk melakukan tindakan kasih.
Paulus mengakui bahwa Onesimus telah berbuat salah. Tapi, Paulus tidak berhenti pada masa lalu semata, karena masa lalu tersebut telah diampuni Tuhan. Paulus mengarahkan perhatian Filemon pada pembaharuan yang telah terjadi pada diri Onesimus pada masa kini melalui Yesus Kristus. Paulus bukan berarti menyepelekan kesalahan yang telah diperbuat Onesimus, melainkan menunjuk pada suatu kemungkinan campur tangan Allah dalam hal Onesimus. Paulus telah melihat pertobatan Onesimus. Paulus menunjuk pada hubungan yang baru antara Filemon dan Onesimus, yaitu suatu hubungan dalam Kristus yang memiliki dimensi kekekalan. Filemon dipersatukan dengan Onesimus sebagai saudara di dalam Kristus untuk selama-lamanya dalam perwujudan kekekalan kerajaan Allah. Diharapkan perhatian Filemon janganlah tertuju pada masa lalu Onesimus, tetapi haruslah tertuju pada masa sekarang, di mana Onesimus baginya telah menjadi saudara di dalam Kristus. Filemon dihimbau untuk menerima dan memberlakukan Onesimus sebagai seorang saudara yang kekasih. Termasuk dalam hal ini adalah tidak memberlakukan penghukuman terhadap Onesimus. Cara berpikir Paulus dalam hal ini adalah hubungan orang Kristen satu dengan yang lainnya memiliki dimensi yang melampaui hukum manusiawi dan segala posisi dan status secara individu. Persaudaraan ini bukanlah persaudaraan dalam pengertian karena berasal dari benih yang sama, melainkan suatu persaudaraan secara baru yang dilandaskan pada kepemilikan oleh Yesus Kristus.
III. Refleksi
Tentu kita mengingat apa yang Yesus katakan bagi kita semua “Aku tidak lagi menyebut engkau sebagai hamba tetapi sebagai sahabatKu”. Semua kita ini tidak layak dikatakan sebagai temannya Tuhan. Tapi karena pendamaian itu diberikan bagi kita akhirnya kita disebut sebagai temannya Tuhan. Maka marilah bersahabat dengan semua orang. Seorang sahabat adalah dia yang menerima kita sebagaimana adanya. Ia menyelami kelemahan kita dan rela menolong kelemahan itu; sekaligus mengagumi keunggulan kita dan mau mengambil pelajaran dari keunggulan itu. Hanya orang yang berjiwa besar bisa bersikap bersahabat. Ia bersih dari iri dan dengki. Merubah paradigma dari hamba ke saudara, Paulus mau merekatkan relasi antara Filemon dan Onesimus bukan dengan embel-embel status, termasuk juga dengan status sosial. Tapi yang mau dikatakan itu adalah ketika kita melihat status kita di hadapan Allah yang penuh kasih. Karena itu haruslah dilihat sebagai saudara yang berharga di dalam Kristus. Di dalam minggu perdamaian ini themanya Saudara yang berharga di dalam Kristus. Orang lain pun bisa menjadi saudara kita di dalam Kristus. Tapi kenyataan yang terjadi di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen ataupun sebagai orang yang bersaudara. Ternyata sekarang saudara kita pun tidak kita anggap berharga karena warisan mungkin. Saudara kita yang satu rahim, satu ibu tidak lagi berharga karena semuanya yang bersifat semu. Oleh karena itu, mari perbaiki relasi yang tidak terlalu baik di antara kita. Sebab kalau kita baik di luar sana sementara di dalam keluarga kita sendiri tidak ada relasi yang baik, jangan-jangan apa yang kita lakukan ini sia-sia adanya. Maka pesannya kali ini orang yang tinggi hati, orang yang tidak mau dan tidak bisa mengampuni adalah kekejian di mata Tuhan. Mari merendahkan hati karena orang yang rendah hati dia belajar menghidupi pengakuannya yaitu hidup ini ada karena Tuhan memperdamaikan diri kita melalui Yesus Kristus di hadapan Allah Bapa. Tapi kalau kita meninggikan hati kita, tidak mau dan tidak bisa mengampuni salah orang lain, tidak mampu kita meneriman permintaan maaf orang lain, tidak mampu membuka hati bagi orang lain, kata firman Tuhan itu adalah kekejian di mata Tuhan. Maka melalui minggu ini mari buka hati kita, semua bisa berubah menjadi lebih baik, selagi kita mau membuka hidup kita. Begitu pentingnya perdamaian itu agar kita bisa hidup damai, bisa hidup bersekutu dengan baik. Bukalah hati kita untuk sebuah pendamaian bahkan bagi orang yang pernah melukai ataupun yang merugikan diri kita. Kiranya kita terbuka bagi pendamaian itu sendiri. Dan Tuhan memberkati bagi setiap orang yang menerima saudaranya di dalam Kristus.
Pdt. Andreas Pranata Meliala-GBKP Rg. Cibinong