SUPLEMEN PEKAN PENATALAYANEN GBKP TAHUN 2025 WARI I, KHOTBAH 2 KORINTI 5:16-19

HARI KE 1

Invocatio : Joh. 3:16

Ogen : Jes. 54:9-10

Khotbah : 2 Kor. 5:16-19

Tema : Dibata Njadiken Manusia jadi TemanNa

 

Pendahuluan

Ada banyak orang yang menganggap sebuah perbedaan, sebagai jurang pemisah. Perbedaan itu meliputi banyak hal di dalam kehidupan kita. Akan tetapi salah satu yang paling sering diperdebatkan adalah tentang persepsi (sudut pandang) dan cara berpikir yang bervariasi. Sehingga tak jarang orang menganggap sebuah perbedaan itu sebagai sebuah ancaman. Sebagai penulis saya mencoba menggumuli hal tersebut. Hipotesanya adalah banyak orang yang menganggap sebuah “kesatuan” identik dengan sebuah “keseragaman”, entah itu keseragaman bentuk, kepercayaan, pendapat, dan hal-hal lain meliputi aspek-aspek kehidupan kita. Di ibaratkan sekelompok orang yang menggunakan pakaian yang seragam, bukan berarti menunjukkan bahwa mereka bersatu, secara tampak luar mungkin iya, tapi jika di gali lebih dalam belum tentu. Sejatinya perbedaan adalah sebuah kekayaan dari sumber daya yang diciptakan Allah. Persatuan yang sejati adalah tentang merangkul dan memanfaatkan perbedaan itu secara efektif. Seperti tema pelayanan GBKP tahun 2025 ini, adalah “Dewasa Menerima Perbedaan”. Persatuan sejati bukanlah tentang semua orang berpikir dengan cara yang sama tetapi tentang menghargai keunikan setiap insan dan menjadikannya sebuah kekayaan.

Isi

Alkitab sering sekali menggambarkan hubungan Allah dengan manusia sebagai sebuah persahabatan. Dalam sejarah pemikiran manusia, seorang filsuf “Aristoteles” pun menerima hal itu dengan pasrah, karena baginya terlalu besar perbedaan Tuhan dan manusia. Akan tetapi, jika kita melihat dalam Kej. 1:26 bahwa Allah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya (Imago Dei) yang biasanya di dalam kalangan Teologi, hal ini disebut sebagai “antropologinya orang Kristen”. Hal ini bukan tidak mungkin Tuhan menjadikan manusia sebagai sahabat-Nya, karena secara esensi bahwa Manusia adalah bagian dari Allah itu sendiri. Oleh karena itu di dalam Alkitab banyak sekali ayat-ayat yang menggambarkan kedekatan antara Tuhan dan Manusia. Misalnya di dalam Perjanjian Lama (PL) Kel. 33:11 “Dan Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang yang berbicara kepada temannya”. Termasuk di dalam Sejarah keselamatan hal itu terus bertumbuh (Yoh. 3:16) “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal”, Lebih dari itu, Ia menjadikan kita sebagai seorang sahabat; “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh. 15:15). Semua peristiwa itu muncul sebagai inisiatif Allah. Walaupun manusia telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaanNya, tetapi di dalam kasih karunia kita telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan Yesus Kristus (Rom. 3:23-24). Dia menjadi Pendamai bagi kita. Sebenarnya ini yang mendasari panggilan kita sebagai orang yang membawa damai. Karena sejatinya Allah adalah kasih dan damai, kemudian kita mendapatkan bagian itu dan Ia menjadikan kita teman, bahkan sahabatNya. Sehingga di dalam Mat. 5:9 Dia mengatakan “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”. Sejatinya ini adalah yang mendasari kita sebagai orang percaya untuk membawa perdamaian di tengah-tengah dunia ini. Kita sudah mendapatkan bagian itu, dan Allah melalui Yesus Kristus sebagai Raja Damai sudah menjadikan kita sebagai teman/sahabat-Nya. Demikian pula hal itu tidak berhenti di kita saja, maka kita akan meneruskannya kepada dunia dan sesama kita.

Dalam Yes. 54, Tuhan berbicara kepada Israel seperti istri-Nya. Israel akan dipulihkan seperti Wanita mandul yang banyak anak (ayat 1-3.). Sebab sebelumnya Israel seperti tertawan (masa babel), sama dengan perempuan mandul pada masa itu yang menanggung beban aib hina yang sangat besar. Oleh karena itu Allah menyerukan untuk bernyanyilah. Sebab Allah menjanjikan pembebasan yang mulia, bukan hanya dari pengasingan dan penawanan, tetapi juga dari rasa malu, aib, dan penghinaan. Israel akan di pulihkan seperti seorang janda yang diselamatkan dari celaannya (ayat 4-6). Sekalipun Israel di tinggal di dalam pembuangan seperti seorang Janda, Tuhan berjanji menggantikan kedudukan suaminya, yaitu suami yang Agung (Tuhan semesata alam nama-Nya). Allah menjelaskan pemulihan Israel (ayat 7-8), walaupun bangsa Israel merasa bahwa Allah benar-benar meninggalkan mereka, tapi sebenarnya tidak, hanya sesaat. Karena kasih sayang yang besar, Allah mengambil mereka kembali. Sebenarnya ini pun menjadi refleksi bagi kita, karena di saat kita menghadapi pergumulan dan persoalan kehidupan, terkadang kita merasa Tuhan meninggalkan kita. Sifat kekal dari kasih Allah akan datang bagi orang yang menantikan-Nya. Tuhan berjanji untuk tidak pernah lagi meninggalkan Israel (ayat 9-10). Seperti Allah pernah berjanji pada zaman Nuh tidak akan menutupi bumi untuk selama-lamanya, demikianlah murka Allah surut pada Israel. Sebab kasih Allah diibaratkan Ketika masa air bah pada zaman Nuh, gunung-gunung dan bukit-bukit tidak bergoyang. Bahkan Ketika harus beranjak dan bergoyang, Allah tidak akan pernah berhenti mengasihi. Bagi saya secara pribadi, ini adalah sebuah esensi yang sangat dalam dan luar biasa. Sebab kasih itu adalah Allah itu sendiri. Dan ini pun adalah dasar panggilan kita sebagai pembawa damai yang datang dari Allah.

Dalam 2 Kor. 5 :16 adalah sebuah hasil bagi orang yang sudah diselamatkan. Sebab pada ayat 15, dikatakan jika Yesus mati bagi kita, sudah sepantasnya kita hidup bagi Dia. Yesus memberi kita hidup baru. Sehingga Calvin membuat pertanyaan yang dalam tentang ini; “Pertanyaannya adalah apakah kita hidup bagi diri kita sendiri atau kita hidup bagi Yesus ?”. Dalam hal ini, penilaian yang kita pakai bukan lagi ukuran manusia. Hal ini dikarenkan Paulus pun pernah menilai Yesus dengan ukuran manusia. Lantas jika kita bertanya, ukuran manusia yng dimaksudkan Paulus yang seperti apa ? beberapa refrensi menulis demikian :

  • Karena kita tidak melihat pada yang kelihatan, melainkan pada yang tidak kelihatan (2 Kor. 4:18) • Karena kemah kita di bumi akan di hancurkan, tetapi tubuh kita akan memiliki tubuh yang baru, yang kekal di surga (2 Kor. 5:1)
  • Karena kita hidup karena percaya, bukan karena melihat (2 Kor. 5:7)
  • Karena kami tidak bermegah karena penampilan, tetapi kami bermegah karena hati (2 Kor. 5:12)

Semua alasan ini, kita tidak lagi melihat pada rupa dan penampilan jasmani, melainkan pada hakikat hati. Yang luar biasanya adalah adalah pada ayat 17, dimana di dalam ayat ini dikatakan bahwa kita bukan hanya sekedar diampuni, tapi kita dirubah menjadi ciptaan yang baru di dalam Kristus. Salah satu tokoh mengatakan “saya percaya tidak ada bahasa yang dapat mengungkapkan pembaruan yang lebih besar atau lebih menyeluruh atau lebih radikal dari pada ungkapan istilah lahir baru”. Oleh karena itu bagi kita yang percaya, kita bukan sekedar diubah menjadi ciptaan baru, tapi juga ditantang menjalani hidup baru di dalam aspek kehidupan kita. Karena semuanya itu berasal dari Allah melalui perantaraan Kristus yang telah mendamaikan kita dengan diri-Nya. Allah yang memulai pendamaian ini, meskipun Dia adalah pihak yang tidak bersalah, tapi Dia mendamaikan kita dengan diriNya. Kita tidak mendamaikan diri kita dengan-Nya. Tapi Dialah yang memulai. Ini pun menjadi dasar panggilan bagi kita yang sangat mendalam tentang bagaimana kita harus hidup membawa kedamaian. Bukan tentang kita lagi, tapi tentang kebaikan dan pendamaian.

Aplikasi

  1. Kenyataannya kedamaian bagi kita masih situasional. Masih sering terpengaruh oleh situasi dan keadaan. Masih dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Masih tergantung sikap dan perbuatan orang lain. Belum mengakar sebagai sebuah komitmen yang menjadi sebuah keputusan, masih perasaan. Satu sisi itu yang menjadi kelemahan kita, tapi kita diingatkan kembali pada akar kasih dan kedamaian yang ada pada Yesus Kristus sang Raja Damai yang begitu kokoh dan konsisten yang sudah mendamaikan kita terlebih dahulu dari dosa melalui penebusanNya. Semua Firman Allah yang disampaikan bagi kita pada bahan ini menyampaikan tentang damai yang mendalam: baik melalui kasih, pengorbanan, dan perjanjian Tuhan yang setia. Di dalam Yesus, Allah tidak hanya memberikan teladan cinta sejati tetapi juga menawarkan perdamaian kepada manusia, memanggil kita untuk menjalani hidup sebagai pembawa damai dan agen pendamaian di dunia yang membutuhkan kasih dan pengampunan.
  2. Perbedaan adalah hal yang alamiah dan itu menjadi bagian dari esensi hidup kita. Setiap insan mempunyai pengalaman yang unik dan khas yang membuat dunia ini beragam. Hal ini bukan saja tentang toleransi, lebih dari pada itu kita membuka diri untuk belajar, berkembang, dan membangun hubungan yang dalam terhadap orang lain.
  3. Banyak perpecahan karena tidak adanya kemampuan menerima perbedaan. Semua hal kita ukur dengan pola dan sudut pandang kita sendiri. Sedikit waktu kita memahami pola dan sudut pandang yang lain. Kita lebih senang dipahami dari pada memahami. Terkadang yang menjadi sebuah persoalan bukan lagi tentang kebenaran, tetapi tentang ego yang tidak mau kalah.

Penutup

Sejatinya kita yang percaya adalah orang-orang yang sudah ditebus di dalam Kristus yesus. Ia menjadikan kita teman dan sahabatNya. Dalam sejarah Alkitab, kasih, cinta, dan damai Allah itu terus bertumbuh sampai sekarang di dalam kehidupan kita. Kita terus berproses untuk menjadi pembawa damai (peacemaker), karena esensinya adalah Allah itu damai.

Vic. Aditrama Sinulingga, S.Th

(Sintang-Kalimantan Barat)