Minggu 28 Januari 2019, Khotbah Yesaya 45:18-25

Invocatio :

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku (Keluaran 20:3)

Bacaan :

Kisah Para Rasul 15:1-11

Thema :

Allah Berkuasa Mengatur Semua Yang Ada

I. Pendahuluan
Keadaan krisis mungkin dialami oleh hampir semua orang termasuk kita semua. Masa krisis itu mungkin dalam hal kerohanian, mungkin dalam kehidupan sosial kita yang buruk, keuangan kita sulit. Dalam kondisi yang demikian apakah yang paling menolong kita dalam bertahan hingga keluar dari masa tersebut? Yesaya hidup pada saat bangsa Yehuda berada dalam berbagai krisis, baik religius (penyembahan berhala dan ibadah yang munafik), sosial (ketidakadilan), maupun politik (munculnya Asyur sebagai kekuatan tandingan bagi Mesir). Di tengah masa krisis seperti ini bangsa Yehuda diingatkan untuk kembali kepada Tuhan, meninggalkan dosa mereka dan tidak bersandar pada kekuatan bangsa lain. Keselamatan adalah dari Tuhan. Hanya saja mereka perlu bertobat dan bersandar pada Tuhan.

II. Isi
Bahan khotbah ini mau memberikan penegasan bahwa Allahlah yang berkuasa di atas segalanya di muka bumi ini. Dalam ayat 18 ini terlihat bahwa bangsa Yehuda mengikat diri selama-lamanya untuk melekat kepada Allah, dan tidak akan pernah meninggalkan Dia, tidak akan pernah menyangsikan Dia. Apa yang sudah ditanamkan sebelumnya dalam bahan khotbah ini (ay. 18) diulangi lagi di sini, untuk mendorong umat Allah supaya tetap setia kepada Allah, dan berharap bahwa Dia juga akan setia kepada bangsa Yehuda: Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain. Bahwa Tuhan yang kita layani dan kita percayai itu adalah satu-satunya Allah tampak melalui dua terang besar, yaitu terang alam dan terang wahyu. Terang alam itu tampak dalam ayat 18. Sebab Ia sudah menjadikan dunia, dan karena itu sudah sewajarnya Ia menuntut penyembahan dari bangsa Yehuda, “beginilah firman TUHAN, yang menciptakan langit, Akulah TUHAN”, TUHAN yang berdaulat atas semuanya, dan tidak ada yang lain. Ilah-ilah bangsa kafir tidak mencipta bahkan mereka tidak berlagak melakukannya. Di sini Allah menyebutkan penciptaan langit, tetapi berbicara lebih panjang lebar tentang penciptaan bumi, karena bumi adalah bagian dari ciptaan yang paling dekat dengan pandangan kita dan paling kita kenal.

Tuhan itu adalah satu-satunya Allah yang tampak melalui terang wahyu. Sebagaimana karya-karya Allah secara berlimpah membuktikan bahwa Dia saja Allah, dan penyingkapan yang telah dibuat-Nya tentang diri-Nya sendiri dan pikiran serta kehendak-Nya melalui firman itu. Sabda-sabda-Nya jauh melebihi sabda-sabda para dewa kafir, begitu pula dengan pekerjaan-pekerjaan-Nya (ay. 19). Dalam ayat 19 ini ada tiga hal keutamaan yang diletakkan mengenai semua yang telah dikatakan Allah adalah jelas, memuaskan, dan benar. Dalam cara penyampaiannya, apa yang dikatakan Allah itu jelas dan terang-terangan: Tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi atau di tempat bumi yang gelap. Dewa-dewa kafir menyampaikan sabda-sabda mereka dari dalam liang dan gua, dengan suara yang berat dan bergema, dan dalam ungkapan-ungkapan yang bermakna ganda. Tetapi Allah menyampaikan hukum-Nya dari puncuk Gunung Sinai di hadapan ribuan umat Israel, dalam suara yang jelas, terdengar, dan dimengerti (bnd. Kel. 20: 3 bahan Invocatio). Dalam penggunaan dan manfaatnya, apa yang dikatakan Allah itu sangat memuaskan: Tidak pernah Aku menyuruh keturunan Yakub, yang meminta petunjuk pada sabda-sabda ini dan yang mengatur diri mereka dengannya, untuk mencari Aku dengan sia-sia, seperti yang dilakukan ilah-ilah palsu kepada para penyembah mereka. Ini meliputi semua jawaban penuh anugerah yang diberikan Allah, baik kepada orang-orang yang meminta petunjuk dari-Nya (bagi mereka firman-Nya adalah pembimbing yang setia) maupun kepada orang-orang yang berdoa kepada-Nya. Keturunan Yakub adalah umat pendoa. Seperti halnya Dia dalam firman-Nya telah mengundang mereka untuk mencari Dia, demikian pula Ia tidak pernah menolak doa-doa mereka yang disertai rasa percaya, tidak pula mengecewakan harapan-harapan mereka yang didasarkan atas rasa percaya. Dalam hal isinya, apa yang dikatakan Allah itu benar dan tak terbantahkan, dan tidak ada kesalahan di dalamnya: Aku TUHAN, selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yang lurus, dan yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan alasan-alasan kekal tentang kebaikan dan kejahatan. Ilah-ilah bangsa kafir menuntut kepada para penyembah mereka apa yang merupakan cela bagi kodrat manusia dan yang cenderung membuat orang berbuat baik. Oleh karena itu Dia Allah, dan tidak ada yang lain.

Dalam ayat 20 ada penegasan kepada para penyembah berhala bahwa mereka bersalah, untuk menunjukkan kepada mereka kebodohan mereka dalam menyembah allah-allah yang tidak dapat menolong mereka dan malah mengabaikan Allah yang dapat menolong mereka. Hendaklah semua orang yang terluput di antara bangsa-bangsa, bukan hanya orang-orang Yahudi, melainkan juga mereka dari bangsa-bangsa lain yang oleh Koresh dibebaskan dari pembuangan di Babel, hendaklah mereka datang, dan mendengar apa yang akan dikatakan melawan para penyembah berhala, supaya mereka dan juga orang-orang Yahudi disembuhkan darinya, supaya Babel yang sudah sejak dulu kala merupakan induk penyembahan berhala, sekarang dapat menjadi kuburnya. Hendaklah mereka semua yang mencari perlindungan datang dan berkumpul bersama-sama. Allah memiliki sesuatu untuk dikatakan kepada mereka demi kebaikan mereka sendiri yaitu bahwa penyembahan berhala adalah hal yang bodoh dan dungu, karena beberapa alasan. Pertama, penyembahan berhala berarti menegakkan perlindungan bohong bagi diri mereka sendiri: Mereka mengarak patung dari kayu, sebab itulah patung pada dasarnya. Meskipun mereka membalutnya dengan emas, menghiasinya dengan hiasan-hiasan dan menjadikannya sebagai allah, namun tetap saja itu cuma kayu. Mereka berdoa kepada allah yang tidak dapat menyelamatkan sebab ia tidak dapat mendengar, ia tidak dapat menolong, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Alasan yang kedua, penyembahan berhala berarti menegakkan saingan melawan Allah, satu-satunya Allah yang hidup dan benar (ay. 21). Tak ada yang lain yang pantas memerintah. Dia adalah Allah yang adil dan memerintah dalam keadilan, dan akan melaksanakan keadilan bagi mereka yang tertindas. Tak ada yang lain yang mampu menolong. Sama seperti Dia adalah Allah yang adil, demikian pula Dia adalah sang Juruselamat yang dapat menyelamatkan tanpa bantuan siapapun, tetapi yang tanpa-Nya tak seorang pun dapat selamat.

Ayat 22 adalah penghiburan dan dorongan bagi semua penyembah Allah yang setia, siapapun mereka. Mereka yang menyembah berhala berdoa kepada allah yang tidak dapat menyelamatkan. Tetapi Allah Israel mengatakannya ke seluruh penjuru bumi, kepada umat-Nya, meskipun mereka tersebar sampai ke ujung bumi dan tampak terhilang dan terlupakan dalam penyebaran mereka, “hendaklah mereka berpaling kepada-Ku saja dengan iman dan doa mereka akan diselamatkan”. Sebab Dia adalah TUHAN, dan tidak ada yang lain. Dua hal dijanjikan di sini, bagi kepuasan berlimpah semua orang yang dengan iman memandang pada sang Juruselamat: pertama, bahwa kemuliaan Allah yang mereka layani akan sangat diagungkan. Ini akan menjadi kabar baik bagi semua umat Tuhan, bahwa, betapapun mereka dan nama mereka direndahkan, Allah akan ditinggikan (ay. 23). Hal ini diteguhkan dengan sumpah, supaya kita beroleh dorongan yang kuat. Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah (dan Allah tidak dapat bersumpah demi yang lain yang lebih besar, karena tidak ada yang lebih bear dari Dia Ibr. 6:13). Dari mulut-Ku telah keluar suatu firman, dan itu tidak akan ditarik atau kembali dengan hampa. Firman itu telah keluar dalam kebenaran, sebab sangatlah masuk akal dan wajar saja di dunia bahwa Dia yang menjadikan segalanya layak pula menjadi Tuhan atas semuanya, bahwa, karena semua makhluk berasal dari Dia, maka mereka semua harus berbakti kepada-Nya. Kedua, bahwa kesejahteraan jiwa-jiwa yang mereka pedulikan akan dijamin dengan berhasil.

III. Refleksi
Pada hari ini Tuhan menyapa kita dengan firman-Nya disaat kita merenungkan dan mengucap syukur atas semua pengalaman yang telah kita jalani, dan yang akan kita jalani ke depan yang akan dianugerahkan Tuhan. Mungkin semua kita merasa kagum dengan kemajuan luar biasa yang dicapai oleh manusia dewasa ini dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan-kemajuan itu telah membuat kehidupan kita tertolong dalam banyak hal, seperti peralatan pertanian, pengobatan, terlebih dalam hal transportasi dan komunikasi. Kita membayangkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu akan membuat kehidupan manusia di seluruh dunia lebih sejahtera, lebih damai dan bersukacita. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Ada sedikit orang hidup dalam kekayaan dan kemegahan, namun banyak orang lainnya hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Ada sedikit orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, tetapi sangat banyak orang yang tersisih, tertindas, dan menderita oleh mereka. Mengapa hal demikian yang terjadi? Dengan sederhana dapat diterangkan bahwa manusia tidak menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih itu menolong. Tetapi semua itu telah dipergunakan untuk bersaing merebut dan menguasai sumber-sumber daya kehidupan yang terbatas itu. Di samping ancaman kemiskinan dan penderitaan fisik lahiriah, kita juga mengalami penderitaan dalam kehidupan jiwa dan rohani, terlebih relasi dengan sesama, dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Hubungan kita dengan sesama, dalam keluarga dan masyarakat, tidak lagi menikmati kedamaian dan kasih. Firman Tuhan hari ini menyebutkan, semua dijelaskan tadi adalah perilaku manusia penyembah berhala, sehingga tidak lagi mengenal keadilan dan kasih. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta semua produknya tidak lagi dipergunakan sebagai alat untuk saling menolong, tetapi menjadi tujuan dan nilai yang dikejar dan disembah. Inilah yang disebut dengan penyembahan berhala.

Apa yang kita alami sekarang ini bukanlah persoalan yang baru. Keadaan seperti ini telah terjadi di sepanjang sejarah manusia berdosa, masyarakat dan bangsa-bangsa. Hal seperti itulah yang terjadi ketika umat Israel diperbudak di Mesir dalam penyembahan berhala. Firaun memperbudak orang Israel demi memperoleh kekuasaan, kemewahan dan kemegahan dirinya dan kaumnya. Orang Israel dipaksa dan diperbudak untuk hidup mengabdikan segenap waktu dan tenaga hanya untuk memperoleh roti dan daging. Baik Firaun dan bangsa Mesir maupun bangsa Israel semua telah terbelenggu penyembahan berhala. Tidak ada waktu istirahat. Tidak dapat menikmati persekutuan persaudaraan. Tidak ada damai. Tidak ada sukacita. Dari penyembahan berhala itulah mereka dipanggil untuk hidup menyembah Tuhan dan untuk dapat mengalami dan menikmati keadilan-Nya (ay. 24). Tuhan menyatakan keadilan-Nya: Ia menuntun dan memberi kebutuhan jasmani mereka. Tetapi Tuhan juga memberi yang lebih utama, yaitu kehidupan rohani mereka: waktu istirahat (sabat) untuk dapat bersekutu dengan Tuhan dan dengan sesama, dalam damai dan sukacita, menerima dan berbagi atas anugerah pemberian Tuhan.

Dalam memasuki tahun yang baru tahun 2019, tahun pelayanan yang baru. Kita akan diminta untuk lebih giat lagi melayani Tuhan dan mengandalkan Tuhan dalam semua ritme pelayanan kita karena Dialah pengatur semua yang ada. Bukan kita yang harus dielu-elukan tapi Tuhanlah yang harus ditinggikan dalam setiap pelayanan kita. Sehingga kita tidak memberhalakan diri kita sebagai pimpinan jemaat. Tidak memberhalakan kekuatan kita. Tidak memberhalakan kehebatan gereja kita. Untuk memasuki kegiatan pelayanan ditahun yang baru ini kita akan diberi kekuatan oleh Tuhan. Di dalam khotbahnya tentang Doa Bapa Kami, Augustinus menyamakan Ekaristi atau Perjamuan Kudus dengan “makanan sehari-hari” (daily food) atau “roti sehari-hari” (daily bread). Gagasan ini, termasuk Cyprianus, yang menyebut Ekaristi atau Perjamuan Kudus sebagai “makanan bagi keselamatan” dan mengaitkannya dengan Doa Bapa Kami, yang mengajarkan kita untuk meminta makanan setiap hari. Jadi, memang sudah sangat jamak dipahami bahwa roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus terhubung secara spiritual dengan pemeliharaan Allah dalam hidup sehari-hari kita. Sama seperti Allah memelihara tubuh kita lewat makanan sehari-hari, demikianlah Ia memelihara spiritualitas kita melalui roti dan anggur perjamuan. Keseharian tampaknya menjadi titik temu kedua jenis makanan ini. Roti dan anggur memang dipakai Yesus untuk merepresentasikan tubuh dan darah-Nya sebab keduanya adalah makanan dan minuman sehari-hari. Maka, para murid diharapkan dapat terus mengenang Yesus saat mereka makan secara rutin setiap hari. Itulah juga sebabnya dalam beberapa gereja, tradisi merayakan Ekaristi setiap hari tetap dijaga. Paulus menegaskan hal ini dengan berkata, “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang” (1 Kor. 11:26). Kata setiap kali di sini sebenarnya merupakan terjemahan dari hosakis an yang lebih berarti ‘sesering’. Di sini titik persoalannya. Sementara beberapa gereja memakai ayat ini untuk memelihara tradisi Ekaristi atau Perjamuan Kudus sesering mungkin, bahkan setiap hari, beberapa kalangan gereja-gereja Protestan justru banyak yang menafsirkan setiap kali dalam pengertian ‘pada waktu-waktu yang ditetapkan’. Penulis secara pribadi memahaminya secara berbeda. Kata hosakis an yang Yesus ucapkan sangat mungkin menunjuk pada makanan sehari-hari yang lazim disantap orang-orang Yahudi, yaitu roti dan anggur. Artinya, setiap kali mereka makan setiap hari, mereka diingatkan pada Kristus yang telah memberikan tubuh dan darah-Nya. Maka, makanan sehari-hari segera memiliki makna spiritual yang mendalam. Tak ada lagi pemisahan antara makanan jasmaniah dan makanan rohaniah. Sebuah catatan kecil: mungkin kita harus menghentikan doa yang secara populer kerap dipanjatkan setelah acara kebaktian dan sebelum acara makan bersama. Doa-doa itu berbunyi kurang lebih, “Tuhan, kami telah menikmati makanan rohani dan kini kami akan menikmati makanan jasmani”. Doa-doa semacam ini sangat memisahkan yang rohani dan yang jasmani. Keduanya berbeda, namun tak terpisahkan. Yang satu memaknai yang lain. Makanan jasmani yang kita santap sungguh bermakna rohani, sebab Allahlah yang memberikan dan menyelenggarakannya bagi kita. Sebaliknya, setiap firman yang kita terima sebagai makanan rohani sesungguhnya harus mewujud ke dalam seluruh aktivitas tubuh yang jasmani sifatnya.


Pdt. Andreas Pranata S. Meliala, S.Th
GBKP Rg. Cibinong