MINGGU 25 MEI 2025 KHOTBAH KELUARAN 15:22-27 (MINGGU ROGATE)

Invocatio :

Masmur 4:2

Ogen :

Matius 6:5-13 (Tunggal)

Kotbah :

Keluaren 15:22-27 (Tunggal)

Tema :

Berdoa dengan Sungguh-Sungguh

 

 

KATA PEMBUKA

Di tengah dunia yang penuh kebisingan, manusia merindukan ruang untuk diam, mendengar, dan didengar. Doa hadir sebagai jawaban atas kerinduan tersebut. Namun, sebuah pertanyaan klasik kerap muncul di benak banyak orang Kristen: Jika Allah Maha Mengetahui, mengapa kita masih perlu berdoa? Bukankah sebelum kita membuka mulut pun, Tuhan sudah tahu isi hati kita?

Pertanyaan ini tampaknya logis, tetapi sesungguhnya justru mengantar kita kepada inti terdalam dari doa itu sendiri. Doa bukanlah sekadar daftar permintaan yang disampaikan kepada Allah, melainkan ungkapan relasi antara manusia dan Penciptanya. Dalam doa, manusia tidak sedang menginformasikan sesuatu kepada Tuhan, tetapi menata kembali orientasi hidupnya kepada Sang Sumber Kehidupan.

Secara teologis, doa merupakan tindakan iman. Ia merupakan bentuk pengakuan akan keterbatasan dan ketergantungan manusia kepada Allah yang tidak terbatas. Melalui doa, orang percaya menyatakan kepercayaannya, penyerahannya, serta kerinduannya untuk hidup dalam kehendak Tuhan.

Dari sudut pandang psikologis, khususnya dalam psikologi relasi dan eksistensial, doa dapat dipahami sebagai ruang batiniah di mana manusia yang rapuh, lemah, dan terbatas menjumpai sumber kekuatan yang tak terbatas. Relasi antara yang membutuhkan dan Yang Dibutuhkan menjadi inti dinamika doa. Di satu sisi, manusia menyampaikan keinginannya, ketakutannya, bahkan kemarahannya; di sisi lain, Tuhan menyatakan diri-Nya sebagai Pribadi yang hadir, yang mendengar, dan yang membentuk. Di sinilah doa menjadi sebuah perjumpaan, bukan sekadar transmisi pesan.

ISI

Keluaran 15:22–27 (Kotbah)

Perikop ini menggambarkan sebuah fase penting dalam perjalanan iman bangsa Israel setelah peristiwa besar penyeberangan Laut Teberau. Mereka baru saja menyaksikan kuasa Allah yang dahsyat: bagaimana laut terbelah, bagaimana mereka melangkah di tanah kering, dan bagaimana musuh mereka ditenggelamkan. Mereka pun menyanyikan pujian kemenangan (Keluaran 15:1–21), menari, bersukacita, dan memuliakan Allah.

Namun hanya berselang tiga hari dari momen rohani yang agung itu, mereka masuk ke dalam padang gurun Syur—sebuah tempat yang sunyi, gersang, dan tanpa air. Harapan besar yang sebelumnya mereka miliki kini mulai mengering bersama panasnya gurun. Fisik mereka lelah, emosi mereka terkuras, dan secara spiritual mereka mulai goyah. Mereka haus, dan ketika akhirnya menemukan sumber air di Mara, air itu ternyata pahit dan tak dapat diminum. Dalam bahasa Ibrani, “Mara” memang berarti “pahit.”

Kekecewaan itu meledak dalam bentuk sungut-sungut. Bangsa Israel bersungut-sungut kepada Musa: “Apakah yang akan kami minum?” (ay. 24). Ini bukan hanya soal kehausan fisik, tapi mencerminkan kegagalan mereka dalam mempercayakan hidup kepada Tuhan. Mereka yang telah mengalami penyertaan Tuhan secara nyata, justru cepat lupa dan kembali mempertanyakan kasih dan kuasa-Nya. Di sinilah kita melihat ironi iman manusia—betapa mudahnya kita bersorak di hari kemenangan, namun seketika meragukan Tuhan di hari pencobaan.

Namun reaksi Musa sangat menarik untuk diperhatikan. Alih-alih membalas keluhan dengan kemarahan, atau mencari jalan keluar dengan kekuatan sendiri, Musa memilih untuk berseru kepada Tuhan. Inilah respons seorang pemimpin yang rohani—ia menjadikan doa sebagai langkah pertama, bukan pilihan terakhir. Musa tidak hanya menjadi juru bicara umat kepada Tuhan, tetapi juga menjadi teladan bagaimana iman sejati menanggapi krisis.

Tuhan merespons seruan Musa dengan cara yang tampak sederhana, namun sarat makna: Ia menunjukkan sepotong kayu, yang ketika dilemparkan ke dalam air, membuat air itu menjadi manis. Secara simbolis, tindakan ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya mendengar, tetapi juga bertindak dengan cara-Nya sendiri. Ia tidak serta-merta menghilangkan tantangan, namun Ia menunjukkan tindakan konkret yang membawa solusi. Tuhan mendidik umat-Nya untuk tidak hanya mengandalkan mata jasmani, tetapi juga belajar melihat dengan mata iman.

Potongan kayu yang dilemparkan ke dalam air itu dapat ditafsirkan secara simbolis sebagai bentuk intervensi ilahi. Sebagaimana kayu itu mengubah pahit menjadi manis, kehadiran Tuhan di tengah masalah mampu mengubah kesulitan menjadi pelajaran, penderitaan menjadi pemulihan. Tidak sedikit teolog melihat dalam tindakan ini bayangan dari salib Kristus—di mana penderitaan terbesar yang pernah terjadi diubah menjadi jalan keselamatan dan pengharapan.

Namun perikop ini tidak berhenti pada mukjizat air manis. Tuhan lalu berbicara kepada umat-Nya dan memberi mereka ketetapan serta peraturan. Firman-Nya dalam ayat 26 adalah kunci dari seluruh narasi ini:

“Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya… maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit yang Kutimpakan kepada orang Mesir…”

Pernyataan ini menjelaskan bahwa pemeliharaan Tuhan selalu terkait erat dengan ketaatan umat-Nya. Mukjizat bukan tujuan utama, melainkan sarana untuk membawa umat kembali kepada perintah-Nya. Tuhan sedang membentuk sebuah bangsa yang tidak hanya mengalami kuasa-Nya, tetapi juga hidup dalam relasi yang taat dan setia kepada-Nya.

Sebagai penutup perikop, Tuhan membawa mereka ke Elim, tempat yang sangat berbeda dari Mara. Di sana terdapat dua belas mata air dan tujuh puluh pohon kurma—suatu tempat yang melimpah dan sejuk. Perbedaan ini sangat kontras: dari pahitnya Mara ke kelimpahan Elim. Jumlah mata air dan pohon yang disebutkan bukan sekadar data geografis, melainkan lambang pemulihan dan komunitas: dua belas melambangkan suku-suku Israel, sedangkan tujuh puluh dapat menunjuk pada kepenuhan dan keseimbangan dalam komunitas.

Dengan demikian, kisah ini memperlihatkan perjalanan rohani dari keluhan menuju kelegaan, dari keputusasaan menuju pengharapan. Namun semuanya dimulai dari satu titik kunci: Musa berseru kepada Tuhan. Doa menjadi gerbang yang membuka jalan bagi perubahan.

Matius 6:5–13 (Ogen)

Yesus dalam bagian ini sedang mengajar murid-murid-Nya tentang bagaimana seharusnya mereka berdoa. Konteksnya adalah peringatan terhadap praktik keagamaan yang penuh kepura-puraan. Ia menyatakan bahwa orang-orang munafik senang berdoa di tempat-tempat yang mudah dilihat orang agar mendapat pujian. Doa seperti itu tidak berakar pada relasi dengan Tuhan, melainkan pada kebutuhan akan pengakuan sosial.

Yesus kemudian berkata, “Masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintumu, dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi.” Dalam budaya Yahudi, kamar tertutup adalah tempat paling privat dan jauh dari keramaian. Bukan berarti Yesus melarang doa di tempat umum, tetapi Ia menekankan pentingnya motivasi dan keintiman dalam doa.

Kata "kamar" (Yunani: tameion) dapat diartikan sebagai ruang penyimpanan atau gudang. Ini menunjukkan bahwa doa adalah harta tersembunyi yang sangat berharga. Berdoa di tempat tersembunyi berarti menghadirkan diri secara utuh di hadapan Tuhan, tanpa topeng dan tanpa ingin dilihat.

Yesus juga memperkenalkan Doa Bapa Kami, yang menjadi model doa Kristen sepanjang masa. Di dalamnya terdapat keseimbangan antara pengakuan akan kekudusan Tuhan (“dikuduskanlah nama-Mu”), kerinduan akan kerajaan-Nya (“datanglah kerajaan-Mu”), permintaan akan kebutuhan hidup (“berikanlah kami pada hari ini makanan kami”), dan kerendahan hati untuk memohon pengampunan serta perlindungan. Lewat ini, Yesus sedang meluruskan bahwa doa bukanlah monolog yang penuh repetisi tanpa makna, melainkan dialog relasional yang jujur, sederhana, dan penuh iman.

Mazmur 4:2 (Invocatio)

Ayat ini berbunyi: “Apabila aku berseru, jawablah aku, ya Allah yang membenarkan aku! Dalam kesesakan Engkau memberi kelegaan kepadaku; kasihanilah aku dan dengarkanlah doaku!”

Dalam bahasa Ibrani, bagian ini memuat kata kerja qará yang berarti “berseru,” menunjukkan intensitas dan urgensi dari permohonan Daud. Ini bukan doa yang formal atau kaku, melainkan jeritan hati yang sangat pribadi.

Mazmur ini lahir dari konteks penderitaan dan tekanan, namun di dalamnya terkandung keyakinan bahwa Tuhan adalah Allah yang mendengar, yang membenarkan, dan yang memberi kelegaan. Hal menarik lainnya adalah kata racham yang diterjemahkan sebagai “kasihanilah,” yang mengandung makna belas kasihan seperti kasih seorang ibu kepada anaknya. Ini menampilkan wajah Tuhan yang penuh kelembutan.

Mazmur 4:2 memperlihatkan bahwa doa bukan hanya ungkapan teologis, tetapi ekspresi emosional yang sangat manusiawi. Di dalamnya, kita tidak hanya berbicara tentang Tuhan, tetapi berjumpa dengan Tuhan—dalam kesesakan, dalam tangis, dalam pengharapan.

PENUTUP

Dari ketiga bagian firman Tuhan ini, kita melihat benang merah yang sama: doa yang sejati bukan sekadar rutinitas rohani, melainkan perjumpaan yang hidup antara manusia dan Allah. Dalam Keluaran, doa lahir dari kebutuhan dan dijawab dengan kasih. Dalam Matius, Yesus mengajarkan kemurnian hati dalam doa. Dalam Mazmur, doa muncul sebagai jeritan jiwa yang mencari kelegaan.

Tiga hal yang dapat kita pelajari:

  1. Doa adalah relasi, bukan sekadar rutinitas. Kita berdoa bukan untuk menyampaikan informasi kepada Tuhan, melainkan untuk menyatukan hati kita dengan-Nya.
  2. Doa membentuk hati kita, bukan hanya mengubah keadaan. Dalam proses doa, Tuhan seringkali tidak langsung mengubah situasi, tetapi Ia mengubah cara kita melihat dan menghadapi situasi itu.
  3. Doa mengundang kejujuran dan kesungguhan. Dalam doa yang tersembunyi, kita diajak untuk tampil apa adanya di hadapan Tuhan, tanpa kepura-puraan dan tanpa ingin dikagumi.

Sebab terkadang, doa bukan untuk mengubah ketetapan Tuhan,
tetapi doa adalah cara untuk menguatkan kita menerima ketetapan Tuhan dalam kehidupan kita. SELAMAT BERDOA.