MINGGU 25 FEBRUARI 2024, KHOTBAH NEHEMIA 9:26-31 (PASSION III)

Invocatio :

Kejadian 28 : 15

Ogen/Bacaan :

Galatia 3 : 6 – 9

Thema  :

Erlebuh Man Tuhan Mindo Penampat (Berseru Memohon Pertolongan   Kepada Tuhan)

 

Pendahuluan

Ada sebuah khiasan dalam kehidupan masyarakat Karo yakni “bagi si mulahi  biang kicat” {sepperti melepaskan anjing terjepit); begitu terlepas dari jepitannya alih-alih berterimakasih, justru kita yang melepaskannya akan digigitnya. Khiasan ini mungkin tidak begitu tepat untuk menggambarkan relasi manusia dengan Tuhan. Namun, mungkin bisa mendekati, karena sifat manusia ketika berada dalam kesusahan maka seruannya untuk meminta atau memohon pertolongan kepada Tuhan menjadi lebih keras dan sepertinya sangatlah penting. Namun, kita sering melihat bahwa ketika manusia berada dalam zona nyaman atau jauh dari masalah, maka relasinya juga dengan Tuhan akan menjadi lebih renggang.Mungkin juga, khiasan Indonesia bisa lebih mendekati atau punya kesamaan yakni “ seperti kacang lupa kulitnya”.

Penjelasan Teks

Invocatio pada minggu ini sepertinya menekankan bahwa sejak awalnya (relasi manusia dengan Tuhan) yang senantiasa mempunya inisiatif untuk mendekatkan diri bukan berasal dari manusia, tapi justru berasal dari Tuhan . Manusia sepertinya senantiasa memanfaatkan “kelemahan” Tuhan yyakni senantiasa peduli terhadap manusia yang telah diciptakanNya. JIkalau menoleh dari sisi manusia, maka sebenarnya pada bagian cerita ini digambarkan bahwa Yakup sedang melakukan “pelarian” setelah dia melakukan “penipuan” terhadap orangtuanya (bapanya). Artinya, manusia Jakup telah melakukan pencurian hak yang bukan miliknya (menurut versi Tuhan). Namun, karena itu sedah menjadi skenarionyya Tuhan, maka orang yang telah melakukan kesalahan tadi justru mendapatkan perlindunganNya.

Selanjutnya, pada bagian bacaan Galatia 3 : 6 – 9 ditunjukkan bagaimana Allah mengasihi manusia (baca : Abraham); ini juga merupakan bagian dari skenario Tuhan untuk menunjukkan bagaimana Ia mengasihi serta melindunginya. Memang, pada kisah Abraham diceritakan bahwa dia merupakan hasil dari otoritas Tuhan untuk memilih siapa yang Dia kehendaki.Ini dilatarbelakangi oleh sikap hidup Abraham yang bagi Allah adalah orang yang terbaik dari sisi keimanan dan kehidupan baiknya pada jamannya.Sebagai penekanan pada bagian ini, Paulus hendak menyatakan bahwa untuk bisa berkenan kepada Tuhan haruslah mempunyai sikap hidup yang layak dan berkenan bagiNya. Manusia tidak bisa berharap akan perhatian Tuhan bila kehidupan manusia tidak menyerupai kehidupan Abraham.

 Yang menjadi bagian dari pemberitaan firman Tuhan dengan landasan kitab Nehemia 9 : 26 - 31, menunjukkan sikap hidup manusia yang kehidupannya telah berpaling dari jalan Tuhan. Tuhan yang awalnya sangat peduli dan memberikan begitu banyak kebaikan pada manusia, justru menjadikan manusia itu melupakan kebaikan Tuhan yang sudah memberikan perhatian yang begitu besar bagi mereka. Kata “mendurhaka dan memberontak” bisa menunjukkan sikap sombong dan egoisnya manusia. Bisa jadi, manusia beranggappan bahwa kebaikan dan ketersediaan segala sesuatu dalam kehidupan mereka bukanlah hasil dari kebaikan Tuhan, namun merupakan perolehan yang mereka dapatkan katena “kehebatannya”. Apakah Tuhan menykai ini; tentu saja TIDAK. Ketika manusia merasa mereka hebat, disanalah Tuhan justru menunjukkan kehebatannya dengan membuat kehidupan mereka menderita. Dan ketika mereka mengalami penderitaan, disanalah nyata bagi mereka bahwa mereka sebenarnya tidaklah sehebat yang mereka yakini sebelumnya.

Pada situasi seperti ini, apa yang terjadi…. Mereka kembali berseru dengan keras kepada Tuhan. Dan seperti yang sudah dituliskan pada bagian sebelumnya tentang “sepertinya menjadi kelemahan Tuhan”; Tuhan kembali memulihkan kehidupan mereka. Lalu, setelah mereka dipulihkan, mereka melakukan kejahatan kembali. Sungguh ironis hubungan Tuhan dengan manusia. Peristiwa mengasihi dibalas dengan pengkhianatan terus berlangsung dan berulang dalam sejarah relasi Tuhan dengan manusia.

Ketika Tuhan sepertinya membuat mereka menderita sengsara, sebenarnya Tuhan sama sekali tidak menunjukkan kemarahan yang sebenarnya, melainkan sebuah pengajaran untuk mengingatkan betapa dominannya peran Tuhan pada manusia. Inilah yang sangat sulit untuk diterima oleh manusia sehingga mereka tetap hidup dalam kebebalannyya.

Penutup

Thema khutbah minggu kita “berseru memohon pertolongan kepada Tuhan”. Sebuah thema yang sepertinya menggambarkan bahwa pada saat ini keberadaan manusia tidaklah jauh jika dibandingkan dengan situasi kehidupan pada jaman Nehemia. Ada begitu banyak manusia yang kita dapati sedang mengalami tekanan penderitaan dan kesusahan. Di banyak sisi contoh kehidupan manusia, kita bisa menemukan uarang-orang yang pernah mengalami hal-hal baik dalam hidupnya. Punya kekayaan yang melimpah, kesehatan jasmani yang sepertinya baik karena ditopang oleh ketersediaan materi yang bisa mencukupi kehidupan manusia. Manusia seperti ini mungkin merasa bahwa keduniawian yang mereka miliki bisa menjamin keberlangsungan hidupnya. “Hepeng do mangatur nagaraon” pada khiasan suku Toba menggambarkan bahwa seolah-olah dengan memiliki harta duniawi sudah bisa menjamin kehidupannya untuk hidup damai dan sejahtera.

Namun, ketika tidak didukung oleh semangat keimanan yang benar, bisa jadi kehidupan yang mereka miliki bisa berubah dalam sesaat. Dari sejahtera dan serba berkecukupan , bisa tiba-tiba mengalami keterpurukan karena tiba-tba mereka “ditinggalkan” semua yang mereka banggakan. Sebagai akibat dari situasi seperti ini, bisa muncul kejahatan dalam upaya mengembalikan “kebaikan” yang pernah mereka miliki. Bukannya mendekat dan kembali kepada Tuhan; tapi bisa semakin jauh dari Tuhan.

Untuk kembali merasakan kebaikan Tuhan ternyata tidaklah sulit. Paulus menyatakan bahea hidup berkenan pada Tuhan merupakan syara mutlak untuk mendapatkan belas kasih Tuhan. Ia menekankan bahwa Tuhan akan senantiasa peduli dan mengasihi serta memberkati manusia . Sebagai konsekuensi logisnya, merasakan “ketidakberadaan manusia”di hadapan Tuhan merupakan titik balik dan fokus dari sikap membangun relasi baik dengan Tuhan. Bagi Paulus, Tuhan tidak menghendaki keangkuhan dan kesombongan manusia, karena manusia tidak ada apa-apanya di hadapanNya. Nehemia juga menekankan bahwa sangatlah mudah bagi Tuhan untuk mengembalikan kebaikan pada manusia. Oleh sebab itu “berseru pada Tuhan” bukan untuk memohon pertolongan agar manusia mendapatkan kembali atau berubah menjadi lebih baik secara duniawi. Berseru memohon pertolongan pada Tuhan, adalah tindakan yang seharusnya terus dilakukan untuk membentengi kita agar tidak terperosok pada kenistaan. Kefanaan atau kekurangan menurut kacamata keduniawian justru merupakan perasaan damai sejahtera bagi orang yang senantiasa menjaga relasi baiknya dengan Tuhan.

                                                                                               

                                                                                    Pdt. Benhard RC Munthe