MINGGU 19 NOVEMBER 2023, KHOTBAH KEJADIAN 18:1-8

Invocatio         :

Akan tetapi, jika seseorang tidak memelihara sanak keluarganya sendiri, khususnya keluarga dekatnya, berarti ia telah menyangkali imannya dan ia lebih buruk daripada orang yang tidak percaya. (1 Tim.5:8)

Bacaan             :

Roma 12:9-16 (Tunggal)

Tema               :

Jabu si Metemue/keluarga yang bertamu

 

I. Pengantar

Minggu ini kita memasuki minggu keluarga, di dalam minggu ini kita hendak dibimbing dan diingatkan kembali bagaimana tujuan dan panggilan Allah sejak awal terbentuknya keluarga. Menurut Wikipedia Keluarga adalah sekelompok orang yang terikat dengan hubungan darah, ikatan kelahiran, hubungan khusus, pernikahan, atau yang lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan serta orang orang yang selalu menerima kekurangan dan kelebihan orang yang ada di sekitarnya baik buruk nya anggota keluarga, tetap tidak bisa merubah kodrat yang ada, garis besarnya yang baik diarahkan dan yang buruk diperbaiki tanpa harus menghakimi.

Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.

Berdasar Undang-Undang 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab I pasal 1 ayat 6 pengertian Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami (Kepala keluarga), istri dan anaknya yang di sebut dengan Rumah Tangga atau dengan sebutan lainnya ialah keluarga kecil; sedangkan yang disebut dengan keluarga besar selain suami, istri dan anak-anaknya dirumah tangga tersebut terdapat orang tua atau disebut ayah dan ibu dari pihak suami dan juga terdapat anak-anaknya orang tua yang lain termasuk orang tua dari ayah (Kakek dan nenek), Menurut Paul B. Horton bahwa Masyarakat adalah kumpulan manusia yang memiliki kemandirian dengan bersama-sama untuk jangka waktu yang lama dan juga mendiami suatu daerah atau wilayah tertentu. Di mana dalam wilayah tersebut memiliki kebudayaan yang tidak namun memiliki adat yang berbeda di dalam wilayah, daerah tersebut.. Di dalam Bahan sermon kali ini penulis hendak menggali teks khotbah dalam bentuk BGA.

II. Nats Alkitab (Khotbah) Genre narasi

18:1 Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik.

18:2 Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah,

18:3 serta berkata: "Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini.

18:4 Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini;

18:5 biarlah kuambil sepotong roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan meneruskan perjalanannya; sebab tuan-tuan telah datang ke tempat hambamu ini." Jawab mereka: "Perbuatlah seperti yang kaukatakan itu."

18:6 Lalu Abraham segera pergi ke kemah mendapatkan Sara serta berkata: "Segeralah! Ambil tiga sukat tepung yang terbaik! Remaslah itu dan buatlah roti bundar!"

18:7 Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, ia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan memberikannya kepada seorang bujangnya, lalu orang ini segera mengolahnya.

18:8 Kemudian diambilnya dadih dan susu serta anak lembu yang telah diolah itu, lalu dihidangkannya di depan orang-orang itu; dan ia berdiri di dekat mereka di bawah pohon itu, sedang mereka makan.

III. Apa yang kubaca?

Mengindentifikasi tokoh

  • Tuhan : - Kemudian TUHAN menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik. (1)
  • Abraham : - Ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat tiga orang berdiri di depannya. (2)
  • Sesudah dilihatnya mereka, ia berlari dari pintu kemahnya menyongsong mereka, lalu sujudlah ia sampai ke tanah,(2)
  • serta berkata: "Tuanku, jika aku telah mendapat kasih tuanku, janganlah kiranya lampaui hambamu ini. (3)
  • Biarlah diambil air sedikit, basuhlah kakimu dan duduklah beristirahat di bawah pohon ini;(4)
  • biarlah kuambil sepotong roti, supaya tuan-tuan segar kembali; kemudian bolehlah tuan-tuan meneruskan perjalanannya; sebab tuan-tuan telah datang ke tempat hambamu ini." (5)
  • Lalu Abraham segera pergi ke kemah mendapatkan Sara serta berkata: "Segeralah! Ambil tiga sukat tepung yang terbaik! Remaslah itu dan buatlah roti bundar!" (6)
  • Lalu berlarilah Abraham kepada lembu sapinya, ia mengambil seekor anak lembu yang empuk dan baik dagingnya dan memberikannya kepada seorang bujangnya, lalu orang ini segera mengolahnya.(7)
  • Kemudian diambilnya dadih dan susu serta anak lembu yang telah diolah itu, lalu dihidangkannya di depan orang-orang itu; dan ia berdiri di dekat mereka di bawah pohon itu, sedang mereka makan.(8)
  • Tiga orang tamu : - Jawab mereka: "Perbuatlah seperti yang kau katakan itu."(5)

 

Interaksi tokoh:

Tuhan/tiga orang tamu

Abraham

 

                                                            

                                                                        

 

 

 

Sara

seorang bujang

                                                                                                                                                                                                                                                               

IV. Apa pesan Allah Padaku? (P3JT)

  1. Pelajaran /Pengajaran: - Allah adalah tamu yang melayani artinya Allah lebih dahulu melayani kita, dan kita mencontoh menjadi keluarga yang melayani bagi sesama.
  • Apa yang kita perbuat untuk sesama kita itulah yang kjita perbuat kepada Tuhan.
  • Abraham adalah sosok tuan rumah yang terbuka dan melayani dengan rendah hati.
  • Abraham dan Sara beserta bujangnya memberikan pelayanan yang maksimal.
  • Tuhan selalu menepati janjiNya terhadap orang yang menaruh percaya padaNya.
  1. Perintah/nasehat: - melayani adalah sebuah panggilan dan tanggungjawab orang yang percaya.
  2. Peringatan/larangan: -
  3. Teladan : - meneladani perbuatan Abraham melayani dengan sepenuh hati.
  • Meneladani sikap keramahtamahan Abraham dalam menyambut tamu.
  1. Pesan fasilitator:

Siapa yang tidak mengenal tokoh Abraham, seorang yang memiliki integritas yang dapat kita teladani hingga saat ini. Mulai dari sikap dan keputusan yang sulit untuk meninggalkan sanak saudara dan semua yang seharusnya menjadi hak miliknya, semuanya dia tinggalkan untuk sebuah panggilan yang mulia dari Yahweh. Keputusan yang diambilnya, bukanlah keputusan yang mudah. Bukan hanya itu dia memilih jalan yang sulit di antara jalan yang mudah sebenarnya. Siapakah Abraham? Abraham adalah keturunan Shem, anaknya Nuh. Dia adalah keturunan generasi Shem yang ke-sepuluh. Shem masih hidup pada waktu Abaraham meninggal dunia. Abraham banyak mendengar tentang Yahweh dari Shem. Dia sudah mendengar tentang air bah. Dari waktu datangnya air bah sampai ke zamannya Abraham, manusia sudah beranak cucu selama empat abad, populasi penduduk semakin bertambah.

Tanah kelahiran Abraham adalah Ur-Kasdim yang berada dekat dengan Teluk Persia. Sungai Efrat mengalir tidak jauh dari kota itu. Pasokan air sangat melimpah, mengairi ladang-ladang di sekitarnya. Hal ini membuat tanah di situ subur dan rumput-rumputan hijau di mana-mana. Ur merupakan tempat yang paling bagus untuk hidup di tengah-tengah generasi yang mengandalkan pertanian dan peternakan untuk hidup. Banyak orang yang tertarik untuk tinggal di kota ini. Kota yang sangat makmur dan kaya, seperti kota-kota besar di dunia sekarang. Leluhur Abraham sudah tinggal di tempat itu selama beberapa generasi. Namun, suatu hari Yahweh malah berkata kepadanya,

“Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”

Allah meminta Abraham untuk meninggalkan negerinya sendiri. Lalu, apakah tempat tujuan yang dituju Abraham? Abraham sendiri tidak tahu. Tuhan belum menunjukkan langkah selanjutnya. Setelah dia maju selangkah, baru Tuhan akan menunjukkan apa yang harus dia lakukan seterusnya. Nama Abraham aslinya adalah Abram. Allah secara pribadi memberikannya nama lain, yaitu Abraham, yang artinya adalah “Bapa bagi Banyak (Orang)” (father of many). Allah mengaruniakan kepadanya berkat yang tak terkatakan. Dia adalah sahabat Allah, bapa orang Israel dan bapa iman kita. Alkitab sangat memuji iman Abraham, kenapa? Hal ini adalah karena Abraham selama hidupnya telah berjalan di dalam iman. Sangatlah banyak catatan peristiwa tentang Abraham. Namanya muncul sebanyak 285 kali di dalam Alkitab. Dia mendengarkan panggilan Allah dan meninggalkan kampung halamannya ke tempat yang Allah janjikan kepadanya. Namun, dia tidak mendapat sebidang tanah itu. Di Kisah Para Rasul 7:5 dikatakan,“Allah tidak memberikan milik pusaka kepadanya, bahkan setapak tanah pun tidak.”Abraham sepenuhnya merantau di negeri milik orang lain tanpa milik kepunyaan. Akan tetapi, iman Abraham melihat pada janji Allah, dia percaya dan mengikuti pimpinannya. Demi memperoleh janji Allah yang belum kelihatan, Abraham sama sekali tidak ragu untuk menggunakan seluruh hidupnya untuk mengembara mencarinya. Apa yang paling luar biasa adalah Abraham tidak mendapatkan janji Allah sampai ia meninggal.

Dalam nats khotbah minggu keluarga ini sebenarya kita sedang memperingati arti teologi keramahtamahan (hospitality). Dalam khotbah Kejadian 18:1-8, disebutkan bahwa saat Abraham sedang duduk-duduk di pintu kemahnya saat panas terik, tiga tamu asing datang dan Abraham bersujud pada mereka sebagai bentuk penghormatan. Abraham kemudian menghidangkan anak lembu, roti, dan susu, dan para tamu tersebut menyantapnya. Setelahnya, mereka mengabarkan bahwa pada tahun depan, Abraham dan Sarah akan memiliki anak laki-laki. Sara tertawa mendengar kabar tersebut, kemudian Tuhan menanyakan alasan Sara tertawa, padahal tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Sara kemudian menyangkal bila tadi tertawa karena takut. Tidak mudah untuk menerima dan melayani tamu yang tidak kita kenal. Sebab tamu yang masih asing bagi kita bukan tanpa resiko. Tamu yang sudah kita kenal, tidak begitu beresiko karena kita sudah tahu orangnya. Sedangkan tamu asing beresiko karena bukan saja ada kemungkinan bahwa ia adalah tamu yang baik tetapi bisa jadi ia adalah musuh yang berniat buruk. Oleh karena itu, terhadap tamu asing, kita biasanya berhati-hati, was-was dan penuh prasangka. Kewaspadaan seringkali membuat kita enggan untuk melayaninya dengan cepat dan sungguh-sungguh.

Tetapi tidak demikian bagi Abraham. Ketika dikunjungi tamu asing, Abraham memilih untuk menempatkan diri sebagai hamba dan memperlakukan tamu sebagai tuan yang dilayani dengan segenap hati dan pengorbanan tanpa takut disakiti. Tindakan Abraham adalah sebuah keramahtamahan, suatu hospitalitas yang luhur. Gereja mesti membudayakan sikap keramahtamahan itu agar kehadirannya di dunia benar-benar menjadi berkat.

Keramahtamahan merupakan tindakan luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan budaya mana pun. Namun keramahtamahan bukanlah tanpa risiko. Risiko itu melekat dalam arti kata keramahtamahan iu sendiri. Kata keramahtamahan dalam bahasa Inggerisnya adalah hospitality, yang diterjemahkan juga dengan istilah hospitalitas, atau kesanggrahan. Kata hospitality berasal dari bahasa Latin “hospes” yang berarti “tamu” dan sekaligus “tuan rumah”. Kata “hospes” sendiri adalah gabungan dua kata Latin lain, “hostis” dan “pets”. Kata pets berarti “memiliki kuasa”. Sedangkan kata hostis berarti “orang asing”, namun juga memiliki konotasi musuh. Dari kata hostis itu kita mengenal kata Inggris hostile (bermusuhan) dan hostility (permusuhan). Asosiasi makna “orang asing” dan musuh di dalam kata hostis mungkin muncul karena kemenduaan (ambiguitas) dari orang asing itu sendiri, di mana ia dapat menjadi musuh atau tamu. Jadi di dalam hospitalitas sekaligus terdapat risiko bahwa tamu menjadi musuh.     

Dalam bahasa Yunani, untuk kata hospitalitas/keramahtamahan dipakai philoxenia, yang terdiri dari dua kata, philos (kasih) dan xenos (orang asing, yang lain). Maka keramahamahan berarti mengasihi orang lain sebagai sahabat, atau menyahabati orang asing, atau menerima orang asing.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keramahtamaan (hospitalitas) adalah sebuah proses yang melaluinya status orang asing diubah menjadi tamu, bahkan menjadi sahabat. Hal itu terjadi karena dalam keramahtamahan, orang asing, orang lain itu diterima dengan tulus, apa pun suku, agama, atau etnis orang itu. Hospitalitas juga dapat berarti menciptakan ruang bebas di mana orang asing dapat masuk dan menjadi kawan dan bukan lawan.

Lebih  jauh, dalam hospitalitas, terjadi pertukaran posisi: tamu seolah tuan rumah, dan tuan rumah seolah tamu. Tamu diperlakukan layaknya tuan rumah, dan dilayani dengan sungguh-sungguh. Namun perlu diingat bahwa hospitalitas tidak mengubah orang, tetapi hanya menawarkan mereka suatu ruang di mana perubahan dapat terjadi. Hospitalitas menawarkan kebebasan kepada sesama. Secara praktis, hospitalitas berarti kesediaan kita untuk menerima orang lain apapun pun latar belakangnya, menghormatinya sebagai manusia utuh, memberi tumpangan kepadanya, menyediakan makanan untuknya, melayani kebutuhannya, dan menyelamatkannya dari bahaya yang mengancam hidupnya. 

Dalam arti itu, sikap Abraham dalam bacaan hari ini tidak lain adalah sebuah hospitalitas/keramahtamahan. Ada beberapa tindakan Abraham yang dapat diambil sebagai bentuk keramahtamahan.

Pertama, nampak terjadi pertukaran posisi antara tamu dan tuan rumah. Diceritakan bahwa ketika melihat tiga orang asing itu di depannya, Abraham menyongsong mereka, lalu sujud sampai ke tanah serta memohon agar mereka mau singgah (ay.2-3). Mestinya, sebagai tamu, tiga orang asing itu merendahkan diri, bersujud di hadapan Abraham, dan memohon belas kasihan agar bisa diterima dan dilayani kebutuhannya. Tetapi tindakan merendahkan diri itu dilakukan oleh tuan rumah (Abraham), kepada para tamunya, seolah mereka adalah tuan rumah. Tanpa sadar, tindakan keramahtamahan Abraham itu membuat tiga orang asing itu merasa diterima dan merasa at home. Mereka tidak diperlakukan sebagai orang asing atau musuh, melainkan sebagai sahabat oleh Abraham.

Kedua, keramahtamahan Abraham ditunjukan melalui peragaan adat penghormatan kepada tamu. Hal itu nampak dalam tindakan Abraham yang memberikan air kepada tamu untuk mencuci kaki yang panas dan berdebu karena perjalanan yang jauh. Itu adalah adat penghormatan yang pertama untuk seorang tamu.

Ketiga, keramahtamahan Abraham kepada orang asing nampak dalam tindakannya yang mau melayani kebutuhan pokok para tamu. Abraham menyuguhkan makanan kepada mereka. Abaham mengambil tiga sukat tepung untuk dibuatkan roti bagi tamu. Menurut perhitungan, itu sama dengan tiga puluh sembilan liter tepung. Itu adalah suatu jumlah atau ukuran yang luar biasa besarnya, jika hanya diberikan untuk tiga orang. Sesungguhnya tiga sukat tepung adalah ukuran untuk raja. Demikian pula Abraham mengambil seekor lembu tambun untuk dihidangkan pada ketiga tamu itu. Ini adalah ukuran yang sangat besar. Lalu mereka menerima makanan itu, dan itu berarti mereka menerima persahabatan yang ditawarkan Abraham.

Dengan demikian, pihak asing yang berpotensi sebagai lawan/musuh (hostis) telah diubah menjadi kawan (hospes), perseteruan menjadi persahabatan. Yahweh yang bersembunyi dibalik tiga orang itu menerima korban Abraham sambil memakan dan meminum apa yang dihidangkan. Abraham memberi secara total, utuh, tidak setengah-setengah, tanpa hitung-hitungan. Ia memberikan yang terbaik dari apa yang dimilikinya bagi orang asing. Ia membuat tamu merasa nyaman, merasa diterima, dan dijadikan sahabat. Hospitalitas yang dipraktikkan oleh Abraham tidak lepas dari pengalamannya sendiri. Sebagaimana Allah sudah memelihara Abraham, maka saatnya ia juga menunjukan sikap ini kepada sesama. Dengan kata lain, hosptalitas yang dialami Abraham bersama Allah, mau ia praktekan juga kepada orang lain.

V. Apa responku? SDDT (kongkreat,terukur,dan dapat dinikmati)

  • Syukur (mau melakukan sesuatu):
  • Doa (bagi teman, keluarga, gereja dan bangsa)
  • Dosa (sesuatu hal yang salah yang dilakukan)
  • Tekad (jamji untuk melakukan yang terbaik)

VI. Beberapa usul pointer khotbah:

  • Budaya individualisme dan primordialisme merongrong budaya keramahtamahan kita. Di satu sisi, masyarakat manusia saat ini terancam oleh individualisme di mana masing-masing orang hanya berfokus pada kepentingan dirinya, sehingga sulit baginya untuk peduli pada orang lain secara sungguh-sungguh. Di sisi lain, banyak warga pun terpenjara oleh fanatisme primordial suku, etnik, agama, golongan, ideologi, kelompok kepentingan, sehingga tak mampu menerima perbedaan dan tak mau hidup bersama orang lain. Kaum primordial cenderung memusuhi orang lain, misalnya para pendatang di satu daerah, atau mereka yang berbeda suku dan agama. Hal itu nampak misalnya dalam ungkapan yang cenderung memuji suku/agama/kelompoknya sendiri dan menjelekkan suku/agama/kelompok lain.
  • Seperti yang dikatakan Paulus kepada jemaat Roma (bacaan), 12:9 Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Apa yang dikatakan Paulus memberikan pengajaran bagi kita tenta melayani sesama dengan tidak melihat motivasi atau alasan mengapa mereka dekat dengan kita.
  • Belajar dari sikap Abraham, kita melihat benang merah antara khotbah, bacaan dan invocatio, pentingnya membudayakan keramahtamahan, yakni selalu bersedia menerima orang lain/orang asing, apapun identitasnya, mau menghormatinya, dan melayani kebutuhan-kebutuhannya dengan segenap hati. Kita juga belajar menerima perbedaan dan mau hidup bersama mereka yang berbeda dengan kita. Orang lain, agama lain, suku lain, etnis lain, bukanlah musuh kita, melainkan sahabat kita sesama manusia.
  • Hidup dalam keramahtamahan berarti mau mengubah orang asing menjadi sahabat, musuh menjadi kawan, perseteruan menjadi persahabatan, konflik menjadi perdamaian, kekerasan menjadi kelembutan, kebencian menjadi kasih, dendam menjadi pengampunan.
  • Mau tidak mau, tuntutan keramahtamahan seperti itu harus menjadi cara hidup kita. Sebab sesungguhnya hospitalitas adalah karakter Allah sendiri di dalam Yesus. Allah melalui Yesus Kristus menerima kita apa adanya, mengubah status kita dari musuh/seteru menjadi sahabat-Nya bahkan kita dijadikan sebagai anak-anak-Nya. Maka kita pun mesti belajar untuk menerima sesama dengan hati yang tulus dan gembira, mau bersahabat dengan mereka walaupun kita berbeda suku/agama. Allah telah mengampuni dosa kita dan mengasihi kita secara utuh, maka sudah semestinya kita pun belajar saling mengampuni dan mengasihi. Keramahtamahan Allah di dalam Kristus yang menerima kita dan mau hidup bersama kita, menjadi contoh bagi kita untuk mau menerima sesama dan mau hidup bersama orang lain. Kita terpanggil untuk membudayakan/membiasakan diri mau menerima sesama dan hidup bersama orang lain dengan saling mengasihi agar kehidupan ini menjadi indah.

Pdt. W.Mazmur Ginting-Runggun Karawang