MINGGU 08 OKTOBER 2023, KHOTBAH EFESUS 2:11-18

Invocatio :

Kejadian. 1:26

Bacaan :

2 Raja-raja 17:33-41

Tema :

Kristus Kap Si Mpelimbarui Adat / Kristus yang Memperbaharui Adat.

 

 Pendahuluan.

Hidup bermasyarakat dan hidup bergereja, adalah dua hal yang sulit dipisahkan. Kebudayaan mempengaruhi hidup Kekristenan, sebab sebagai mahluk yang tinggal di dunia ini, manusia selalu berinteraksi dengan keluarga, orang-orang di lingkungan sekelilingnya, lingkungan pekerjaan, suku dan bangsa dengan kebiasaan dan tradisinya dimana ia dilahirkan. itu sebabnya budaya dan agama merupakan identitas yang sulit untuk dipisahkan, Kedua identitas ini diwariskan dari orang tua secara turun-temurun dan dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat.

Perjumpaan antara Injil dan budaya ini sering sekali menjadi polemik di dalam praksis kehidupan berjemaat, ada pro dan kontra terhadap budaya sendiri, misalnya ada yang menolak total semua simbol dan praktek adat budaya, ada yang menerimanya dan mendikotomikan antara iman dan adat budaya, artinya tetap melakukan semua praktek adat dan membedakannya dengan praktek hidup beriman, ada juga yang melakukan transformasi ada dan budaya tersebut. Bahagian yang ketiga inilah yang paling ideal karena Gereja lebih khususnya Kristus, datang ke dunia ini dan mati di Golgota untuk membaharui hidup dan kehidupan kita, baik itu sifat, kebiasaan (kebudayaan), jati diri dan bahkan keberadaan kita sebagai bangsa yang telah jatuh kedalam dosa. Adat istiadat nenek moyang adalah adat yang bertumbuh dengan hadirnya gereja atau Kristus, karena itu adat istiadat harus diterangi oleh injil, sehingga adat itu bisa dipakai oleh orang kristen dalam terang Kristus. Kehadiran gereja harus mencampuri adat istiadat manusia, sehingga adat istiadat tersebut sudah diterangi oleh Injil yaitu adat yang tidak terpisahkan dari Injil dan menjadikan masyarakat budaya menjadi masyarakat budaya yang kristiani.

Pembahasan Teks.

Kota Efesus yang terletak di pantai Laut Tengah, menjadi ibu kota propinsi Romawi yang disebut “Asia”. Kota metropolitan ini bergaya Yunani dan menjadi pusat kebudayaan Yunani serta pusat pemujaan dewi Artemis, selain dewa-dewi yang lain, termasuk penyembahan kepada kaisar Agustus. Di kota Efesus ini bertemu berbagai aliran kepercayaan, agama, pemikiran, budaya, suku, bangsa, dan ras. Maka sebagai kota dengan berbagai bentuk keanekaragaman identitas, gesekan-gesekan sosial pun tak terhindarkan. Akibatnya masing-masing kelompok cenderung kembali kepada identitasnya, membanggakan diri dan menutup relasi dengan yang lain.

Kecenderungan tersebut merasuk masuk dalam kehidupan jemaat di Efesus pula. Maka surat ini bertujuan menanggapi suatu kecenderungan umum di dunia Yunani saat itu, tidak terkecuali orang Kristen, yaitu tendensi kepada individualisme rohani, pembentukan kelompok-kelompok kecil yang hanya terbuka bagi orang-orang yang sehaluan. Orang Yahudi hanya mau terbuka dengan sesama orang Yahudi. Begitu pula dengan etnis dan bangsa yang lain. Bahkan dalam jemaat Kristen pun, orang-orang Kristen berlatar belakang Yahudi masih membuat diferensiasi (pembedaan) diri dengan mereka yang berlatar belakang non-Yahudi.

Bagi orang-orang Yahudi, ada dinding pemisah yang tebal antara mereka dengan bangsa-bangsa lain yang dianggap kafir. Bangsa Yahudi menjadikan sunat sebagai penanda keistimewaan mereka, yang membatasi mereka dengan bangsa yang tak bersunat. Bangsa yang tidak disunat, dianggap jauh dari Allah, dan tidak mendapat bagian dari janji-janji Allah. Sedangkan orang-orang Yahudi merasa diri paling dekat dengan Allah dan mendapat bagian dalam janji-janji Allah. Orang-orang tak bersunat disebut kafir. Orang-orang kafir direndahkan, bahkan dianggap anjing (band. Matius 15:26). Orang-orang Yahudi punya kejijikan yang sangat besar terhadap mereka yang dianggap kafir.

Bahkan orang kafir dipandang hanya sebagai ciptaan yang berguna sebagai bahan bakar neraka. Orang Yahudi tidak diperbolehkan membantu seorang ibu kafir yang akan melahirkan, atau menikah dengan orang kafir, atau masuk ke rumah orang kafir, karena dianggap akan membawa kenajisan. Situasi ini menggambarkan Adanya ketidakharmonisan diantara orang Kristen Yahudi dan Non Yahudi, membuat rasul Paulus menuliskan suratnya ini pada jemaat di Efesus. Dimana orang Kristen Yahudi merasa sombong karena mereka adalah umat pilihan Allah dan mereka sangat berpegang pada Taurat dengan segala ketentuannya. Sebaliknya orang Kristen Non Yahudi yang hanyalah hasil cangkokan dan bukan umat pilihan, mereka merasa minder.

Oleh karenanya Rasul Paulus menekankan kepada jemaat : Tetapi sekarang didalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu “jauh” sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus. Kematian Kristus telah membuat mereka yang “jauh” menjadi “dekat”. Apa yang dilakukan oleh Kristus lewat kematian-Nya?. Kristus telah merobohkan tembok pemisah diantara mereka, yaitu Hukum Taurat dan segala ketentuannya sudah dimusnahkan dalam diri Kristus, sehingga kedua belah pihak sama-sama didamaikan didalam Kristus, dan dipersatukan dalam satu tubuh. Kematian Kristus telah mempersatukan Etnis Yahudi maupun Etnis Non Yahudi. Mereka menjadi anggota-anggota keluarga Allah. Kematian Kristus telah mempersatukan orang percaya dalam Satu tubuh, Satu Keluarga dan Satu bangunan, yang berarti berkaitan erat satu sama lain.

Renungan dan Refleksi.

  1. Budaya adalah Karunia Allah, Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: Allah memberikan manusia ‘tugas kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar seorang pencipta’ (bdk. Invocario, Kej.1:26) dan manusia diberi TUGAS agar ‘menaklukkan dan memerintah bumi’ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah MANDAT kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kej.2:15); di dalam Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri’. Didalam adat dan budaya banyak sekali nilai-nilai yang sejalan dengan kehendak Allah yang tetap perlu dijaga dan dipertahankan, namun banyak juga Penyimpangan-penyimpangan didalam praktek adat dan budayai misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’ dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin  menjadi seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan kebudayaan sehingga berpotensi  bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah. Oleh karenanya tugas Gereja dan setiap orang percaya adalah menjadi terang dan menerangi praktek-praktek adat dan budaya.
  1. Kita harus Berpikir Kritis dan santun yaitu, kita akan menguji segala sesuatu dengan tujuan  supaya kita memegang yang baik, melakukannya dalam tindakan-tindakan konkrit dalam pelayanan di gereja. menerima adat dan budaya tanpa  bersifat kritis bisa menjadi penyembahan berhala. Ada kebudayaan yang harus ditolak, tetapi ada juga yang dapat diterima karena tidak bertentangan dengan Alkitab, perlu di ingat apa yang ada di dalam Alkitab juga tidak terlepas dari tradisi di zaman Alkitab tersebut. Beriman bukan dengan mengharuskan kita tinggalkan apa yang ada di dunia tetapi pakailah itu semua menjadi alat untuk memuji Tuhan sebab semua berasal dariNya. Berbudaya bukan menjadikan kita meninggalkan Tuhan dan sebaliknya tetapi segala budaya yang kurang baik  perlu ditinggalkan karena salah dan banyak hal baik perlu dilestarikan. Kemudian jangan membuat kesimpulan kalau kita belum mengerti sebenarnya dua sisi yang dipermasalahkan dan hanya memandang satu sisi saja. Dengan adanya sikap pro dan kontra terhadap adat dan budaya ini menunjukkan bahwa adat dan budaya tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak semuanya salah. Karena itulah dianjurkan untuk bersikap selektif dan tetap waspada dalam melakukan acara adat tersebut.

Tetap memupuk kesatuan, kesatuan di dalam gereja, diantara warga jemaat harus lebih kuat dari jenis-jenis persatuan lain di luar, karena di dalam gereja, yang mengikat mereka adalah Kristus. Kehidupan jemaat mesti terus membuktikan bahwa diri mereka adalah bait Allah, tempat Allah berdiam. Artinya, gereja mesti terus-menerus menghadirkan diri sebagai komunitas yang bisa bersatu, saling menerima, membawa damai sejahtera, mengasihi. Sehingga melalui kehidupan dan kesaksian mereka, Kristus diterima dan dipercaya sebagai Tuhan dan Juruselamat. Gereja harus mewaspadai bentuk-bentuk perusak kesatuan Sadar atau tidak, tembok pemisah antara kita dengan sesama utamanya adalah ego. Ego diri yang terwujud dalam sikap merasa diri lebih baik, lebih benar, lebih suci, lebih hebat, lebih berguna dan memandang sesama lebih buruk, lebih rendah, lebih berdosa, lebih lemah, menjadi pemicu tidak adanya harmoni dan kedamaian dengan sesama. Ego etnosentris (kesukuan), yang terwujud dalam sikap fanatisme berlebihan atas suku dan budaya sendiri dan cenderung merendahkan suku dan budaya yang lain menjadi penyebab tidak adanya persatuan dalam masyarakat dan bangsa. Ego keagamaan yang yang nyata melalui sikap permusuhan terhadap agama lain. Daftar ego identitas yang lain dapat ditambahkan. Tetapi itu berarti perlu kerendahan hati untuk mengakui kekurangan diri dan segala kelemahan kita, sehingga kita tidak selalu merasa lebih dan meremehkan sesama, karena hanya akan menjadi tembok pemisah dalam hubungan sosial. Sebagaimana Allah menerima kita, kita pun mesti menerima sesama dengan segala identitasnya. Justru, semakin kita mengasihi Allah, maka semakin kita menerima sesama. Allah menerima kita tanpa membeda-bedakan, maka kita pun mesti menerima sesama tanpa pandang bulu. Kalau kita tidak mampu menerima sesama yang berbeda, itu menjadi bukti bahwa kita bukan warga gereja. Gereja yang sejati mesti inklusif (terbuka)  menerima siapa pun.

Pdt Togu Persadan Munthe