Khotbah Minggu 02 Juli 2017

KHOTBAH MINGGU 02 Juli 2017 (MINGGU III SETELAH TRINITATIS/MINGGU PESTA PANEN) Invocatio : “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga” (2 Korintus 9:6) Bacaan : Ulangan 16:13-15 Khotbah : 2 Korintus 9:11-15 Tema : “Persembahkanlah Hasil Panenmu!” I. PENDAHULUAN Ada sebuah tradisi tidak tertulis bahwa ketika kita harus mentraktir orang yang dekat dengan kita ketika kita memperoleh gaji pertama. Banyak yang memberikannya kepada orang tua mereka sebagai tanda terima kasih atau kepada orang-orang yang dianggapnya ‘berjasa’ dalam hidupnya. Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, orang biasa mempersembahkan atau memberikan hasil pertama dari penghasilan mereka kepada orang-orang tertentu dan kepada yang dianggap sesuatu adikodrati/ilahi. Di jawa misalnya, orang yang bercocok tanam dengan menanam padi akan memberikan sebagian padinya kepada dewi sri atau dewi padi. Nelayan yang menangkap ikan misalnya akan membuang ke laut sebagian hasil tangkapannya sebagai tanda syukurnya kepada ‘laut’. Intinya orang memberikan kembali sebagian dari yang mereka terima sebagai ucapan syukur mereka. Tradisi ini juga berlaku bagi “umat Israel”, hanya saja mereka memberikannya sebagai persembahan kepada Allah yang hidup, bukan kepada dewa-dewa tanah atau laut. Dan persembahan itu juga sebagai lambang keadilan sosial bagi umat Allah, dalam mereka berbagi atas berkat-berkat Tuhan. II. PENDALAMAN NAS Dalam Ul. 16:13-15 dikatakan tentang Hari Raya Pondok Daun. Dalam bahasa Ibrani Khag hasukkot (Im. 23:24; Ul. 16:13) atau khag ha’asif (Kel. 23:16; 34:22). Salah satu dari tiga pesta besar Yahudi, yang dirayakan dari tanggal 15-22 bulan ke-7. Inilah akhir tahun ketika panen dituai, dan merupakan salah satu dari pesta ketika setiap laki-laki harus muncul di hadapan Tuhan (Kel. 23:14-17; 34:23; Ul. 26:16). Pesta itu sangat meriah (Ul. 16:14). Nama “hari raya Pondok Daun” berasal dari kebiasaan bahwa setiap orang Israel harus diam di pondok yang dibuat dari cabang dan daun selama 7 hari pesta itu (Im. 23:42). Selama 7 hari pesta itu korban-korban dipersembahkan. Pada hari pertama 13 lembu jantan dan binatang-binatang lain, setiap hari jumlahnya dikurangi sampai pada hari ke tujuh maka 7 ekor lembu jantan dikorbankan. Pada hari ke-8 diadakan perkumpulan khidmat, yang dipersembahkan seekor lembu jantan, seekor kambing jantan dan 7 ekor anak domba (Bil. 29:36). Yoh. 7:37 menyebut hari ini ‘puncak perayaan itu’. Pesta ini yang ditetapkan pleh Allah tidak pernah terlupakan. Diadakan pada waktu Salomo (2 Taw. 8:13), Hizkia (2 Taw. 31:3; bnd. Ul. 16:16) dan sesudah pembuangan (Ezr. 3:4; Zak. 14:5, 18-19). Pesta ini mengingatkan orang Israel akan keluaran dari Mesir dan pengembaraan Israel di padang gurun pada saat mereka tinggal di pondok (Im. 23:43). Tapi ini tidak merupakan bukti bahwa suatu pesta berlatar belakang agraris telah diubah menjadi pesta yang bersifat historis. Malah, pesta ini menunjukkan bahwa kehidupan Israel didasarkan pada penebusan yang pada akarnya berarti pengampunan dosa. 2 Korintus 9:11-15, dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus bagian kedua ini, khusus pasal 9 ditekankan mengenai pengumpulan uang untuk membantu jemaat Yerusalem. Paulus memakai ilustrasi menganai pertanian, dimana seorang petani yang menabur benih, akan kehilangan benih itu dari tangannya ketika dia menaburkannya. Namun benih itu tidak hilang begitu saja, karena ada harapan bahwa benih itu akan memberikan hasil yang berlipat ganda kemudian hari. Jika si petani ingin terus menggenggam benih itu maka ia hanya akan memanen sedikit hasil. Sementara petani yang melepaskan lebih banyak benih akan menghasilkan panen lebih banyak pula. Korintus adalah kota besar, titik temu jalan perdagangan darat utara selatan di propinsi Akhaya. Lagipula Korintus adalah kota pelabuhan dimana semua penduduknya dalam keadaan makmur. Di Korintus hanya ada 200.000 penduduk, tetapi disana juga ada 600.000 tenaga kerja (pembantu, buruh dan budak). Kalau dibandingkan rasionya yaitu 1:3, untuk satu orang Korintus tersedia tiga orang pelayan atau tenaga kerja. Orang Korintus memang makmur tetapi mereka kurang suka memberi bantuan mereka kepada gereja di Yerusalem dan mereka tidak perhatian tentang gereja lain. Mereka hanya sibuk dengan urusan sendiri atau gereja lokalnya saja, mereka sibuk tentang persoalan rebutan kedudukan pemimpin, apakah dari golongan Paulus, Apolos atau golongan Kefas. Yang mereka persoalkan lainnya adalah mengenai makanan sembahyang, persoalan tutup kepala perempuan dalam ibadah, persoalan bahasa lidah, dan lainnya. Kalau urusan ‘memberi’ atau menyokong gereja lainnya seolah-olah mereka tidak perduli dan acuh. Sudah sekian lama jemaat Korintus memberi bantuan kepada jemaat di Yerusalem, tapi upaya itu tetap tidak dirampungkan (bd. 2 Kor. 8:10-11), karena itu Paulus memberi pengandaian sekaligus penekanan lewat kalimat, “orang yang menabur banyak akan menuai banyak juga”. Bahwa apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituai (bd. Amsal 11:24-29; 19:17), bukan cuma persoalan menabur dan menuai secara materi/jasmani, tapi termasuk juga tuaian rohani (Gal. 6:7-10). Disini ditekankan tentang adanya sebab-akibat dari apa yang diperbuat umatNya. Dengan demikian setiap orang sepatutnya tetap mengawasi, mengontrol tingkah laku dan perbuatan diri sendiri. Mawas diri dan mewaspadai setiap apa yang diperbuat (yang ditabur), termasuk dalam praktek ‘memberi’. Selanjutnya Paulus menegaskan untuk “memberi dengan sukacita, bukan karena paksaan, bukan karena sebuah keharusan atau sebuah peraturan. Sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita serta mencukupkan, menyediakan, dan melipatgandakan apa yang perlu, baik materi maupun rohani dalam pelbagai kebajikan (bd. Filipi 4:19). Memberi adalah wujud pelayanan kasih dan itu bukan hanya mencukupi keperluan jasmani orang lain. Tapi juga sebagai wujud syukur kepada Allah yang adalah karunia ilahi yang mengilhami segala perbuatan. Dengan memberi orang lain pun akan merasa terberkati dan dengan perbuatan ‘memberi dengan sukacita’, maka orang lain pun semakin kuat dalam keyakinan-keyakinan pengakuan percaya kepada Yesus Kristus. Ini berarti bahwa perbuatan “memberi”, kita akan menjadi kesaksian yang hidup bagi orang lain (bd. 2 Kor. 9:13). Pemberian yang terbaik bagi pelayanan dan pembangunan jemaat adalah pemberian yang dilandasi keterbukaan dan tanpa paksaan. Tuhan tidak melihat besar kecilnya persembahan, melainkan motivasi dan ketulusan hati kita dalam memberi. Jangan pernah hitung-hitungan dengan Tuhan, apalagi menahan berkat yang seharusnya kita salurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkannya. Ketika kita memberi dengan kasih maka kita akan memperoleh kelimpahan anugerah dari Allah. III. APLIKASI Ada beberapa hal yang menjadi pusat perhatian kita dalam memberi persembahan dalam rangka ucapan syukur karena berkat Allah, baik oleh karena rejeki dalam pekerjaan, usaha, bisnis maupun dengan jalan lainnya yang kesemuanya itu kita katakan dengan “hasil panen”. Yang pertama adalah sikap kita dalam memberi. Dalam Ul. 16:14 dikatakan “haruslah engkau bersukacita pada hari rayamu itu”. Tuhan meminta kita untuk bersukacita dalam memberikan yang terbaik bagi Allah. Ini bukanlah kewajiban yang mendukakan, melainkan sebuah kesempatan untuk memberi dan bergembira. Bayangkan ketika kita baru saja menerima gaji (apalagi gaji pertama), maka kita pasti sangat berbahagia dan sukacita dan karena sukacitanya mentraktir ‘orang-orang terdekat’ juga kita sangat berbahagia. Perasaan ini jugalah yang harus ada pada kita ketika kita memberi persembahan kita kepada Tuhan. Yang kedua, hal penting yang harus kita perhatikan dalam hal memberi adalah kita diminta untuk memperhatikan yang lain. Kita juga harus membantu orang lain untuk bersukacita. Ada faktor kebersamaan, dalam hari raya pondok daun/pesta panen diingatkan kita harus bersukacita bersama dengan hamba laki-laki, hamba perempuan, orang Lewi, orang asing, anak yatim piatu dan janda yang ada di sekitar kita. Artinya, ketika kita bersukacita atas segala yang Tuhan berikan kepada kita, kita juga membagikannya kepada orang lain dan “Yerusalem-Yerusalem” yang membutuhkan dimanapun mereka berada. Irenaeus, seorang Bapa gereja berkata, “the jews were constrained to a regular payment of tithes; christians, who have liberty, assign all their possessions to the Lord, bestowing freely not the lesser portions of their property, since they have the hope of greater things”, yang berarti orang Yahudi diatur oleh Tuhan memberi pembayaran perpuluhan secara reguler; orang Kristen diberi kebebasan menyerahkan apa yang ada dari milik mereka kepada Tuhannya, tetapi memberi dengan kebebasan ini tidak berarti bahwa kita memberi kurang daripada apa yang diaturkan, sebab kita memiliki pengharapan yang lebih besar di sana. Untuk itu mari kita memberikan persembahan syukur kita bukan dengan terpaksa apalagi merasa rugi karena persembahan kita adalah buah dari berkat yang telah terlebih dulu kita terima dari Tuhan dan persembahan itu akan menjadi berkat yang melimpah apabila “ditaburkan” dengan cara yang baik. Pdt.Irwanta Brahmana,S.Th GBKP Surabaya